Share

Melawan Restu

Bab.6 Melawan Restu

 

“Apa tidak ada jalan lain selain perceraian, Nis?” Pertanyaan itu lolos juga dari bibir Sari. Sudah lama dia menahan ini.

Usai menutup pintu kulkas, Nisa menuju wastafel. Telapak tangan lengket karena satu dari lima plastik berisi susu itu pecah. Bukan jatuh, dia yang terlalu erat mencengkeram saat mendengar pertanyaan dari Sari.

“Ibu sama Bapak mau berkunjung ke rumah orang tua kamu. Kami mau menanyakan apa orang tua kamu juga menginginkan perpisahan kamu dengan Ryan.”

Tak kuat lagi, batin Sari terasa terimpit dua balok kayu yang besar. Sesak. Jika bukan Ryan, maka dia yang akan berupaya semampu batas usaha. Mempertahankan Nisa sebagai menantu di rumah ini. Tidak akan wanita lain yang bisa menggantikan posisi Nisa.

“Iya. Mereka menginginkan itu.” Nisa menunduk. Kedua orang tuanya ingin Nisa menikah dengan Agung secepatnya. Tanpa bertanya apa keinginan Nisa saat ini.

“Dan kamu setuju?” Sari berharap Nisa tidak menjawab ‘iya’. Namun lagi dan lagi dia harus menelan pil pahit bernama kekecewaan. Melihat anggukan dari Nisa, hatinya mencelat.

Cinta memang tidak bisa dipaksa. Percuma dia berusaha mati-matian memperjuangkan hubungan anak dan menantunya. Cinta tidak pernah datang. Tidak juga menyapa. Apalagi menyambangi kedua hati yang sama keras itu. Sari menyerah. Pasrah pada permainan takdir.

“Maafkan Nisa, Bu.”

“Salah Ibu, yang memaksa kalian untuk terus bersama.” Sari meninggalkan Nisa. Dia berjalan ke kamar, memberikan susu untuk Zora.

Bukan maksud Nisa membuat ibu mertuanya bersedih. Namun bertahan dalam pernikahan tanpa cinta adalah hal yang sulit. Ryan hanya menginginkan tubuhnya. Ryan hanya terpesona oleh godaan dan bujuk rayu yang memabukkan. Sama seperti dirinya kala itu. Kala malam penyatuan yang membara.

Nisa mengembuskan nafas. Rasanya kepala seakan mau pecah. Jika saja bukan buatan Tuhan, mungkin sudah lebur. Dia bergegas menuju teras. Menemui tukang ojek yang akan mengantarnya ke rumah wanita itu.

Wanita itu, siapa namanya? Ryan bahkan tidak pernah memberi tahu nama dan alamat dia tinggal. Dasar playboy! Semua wanita diembat, geram Nisa membatin.

Tunggu,  apa ini artinya dia cemburu?

♧♧♧

Sebuah rumah kontrakan dua petak menjadi tujuan akhir tukang ojek. Motor matic itu berhenti tepat di depan teras. Terlalu sempit bila dikatakan sebagai teras. Entah kata apa yang pantas untuk menyebut emperan di depan rumah kontrakan itu.

Setelah menyerahkan selembar uang sebagai ongkos, Nisa mengetuk pintu berbahan kayu tipis berwarna merah yang telah memudar.

“Assalamualaikum...,” salam Nisa. Dia mengatur nafas. Mengusahakan diri agar bersikap setenang mungkin. Jangan tanya apakah hatinya sedang cemburu. Dia sendiri tidak tahu perasaan apa yang datang menyerang. Mengusik hati dan pikirannya.

Pintu terbuka. Seorang wanita muda bertubuh kurus keluar. Senyum yang melengkung mempertegas gurat kecantikan pada wajah sendu itu.

Nisa masuk setelah sang tuan rumah memberi izin. Kontrakan itu tak punya kursi, hanya sebuah tikar digelar sebagai tempat menerima tamu.

Kini mereka duduk berhadapan di atas tikar. Dan seorang bayi mungil yang tengah pulas di atas ayunan di salah satu sudut. Tak jauh dari mereka.

“Perkenalkan saya Nisa.” Nisa mengulurkan tangan.

“Jadi, ini Mbak Nisa? Nama saya Lisa,” sambut wanita muda itu sembari menjabat tangan Nisa.

Nisa mengangguk dan tersenyum.

“Mas Ryan bilang ASI Mbak Nisa enggak keluar.”

“Oh,” desis Nisa. Dalam rasa kecewa Ryan masih menceritakan hal yang baik tentang dirinya. Meskipun itu adalah dusta yang nyata.

“Sebentar, Mbak Nisa mau minum apa?” Lisa hendak beranjak, tapi Nisa mencegah.

“Enggak usah.” Nisa menggeleng. “Saya cuma ingin ketemu sama kamu.”

“Terima kasih Mbak Nisa mau ketemu sama saya.” Lisa terkesima. Tidak menyangka kalau ibu kandung anak susunya sudi berkunjung.

“Oh ya, apa Ryan sering datang?”

Menyadari pertanyaan yang terlontar, Nisa menutup mulut dengan kedua telapak tangan. Bodoh sekali dia bertanya hal itu kepada wanita lain. Namun jika terlalu lama dipendam, rasa penasaran itu semakin menjadi.

Dan yang lebih membuat semakin terlihat naif adalah wanita di depannya itu. Lisa tersenyum, sedangkan Nisa harus menerka sendiri arti senyuman itu.

“Iya. Mas Ryan sering datang.” jawab Lisa tanpa tedeng aling-aling.

“Ketemu kamu?” Antusias sekali Nisa bertanya. Pupil matanya melebar.

“Mengantar susu dan vitamin buat saya. Dia juga memberi saya makanan dan buah-buahan.”

Panas telinga Nisa mendengar jawaban Lisa. Dulu saat perhatian Ryan belum terbelah, dia sia-siakan lelaki itu. Kini saat Nisa ingin menjadi satu-satunya orang paling diperhatikan Ryan. Justru Lisa hadir di tengah kehidupan mereka.

“Tapi sebenarnya Mas Ryan cuma ingin ketemu Reyza.” Lisa memegang salah satu kaki ayunan.

“Oh, bayi kamu ini namanya Reyza?” Nisa menoleh ke ayunan. Dia berdiri lalu memandangi bayi laki-laki berpipi gembil itu. Lucu dan menggemaskan.

Ah, Lisa pandai merawat bayi. Tidak seperti dirinya. Nisa merasa rendah diri jika harus bersaing dengan wanita muda itu. Sudah pasti dia kalah telak.

Saat Zora pipis, bukan dia yang mengganti popok. Melainkan ibu mertuanya. Saat Zora menangis karena haus, dia malah kebingungan. Ibu macam apa yang tidak peka akan keinginan anak? Pantaslah jika Ryan tidak memberinya izin merawat Zora sendirian.

“Ayahnya kerja di mana?” tanya Nisa.

Muka Lisa memucat. Seakan darah tak lagi mengalir ke sana. Nisa membaca perubahan sikap wanita muda itu. Seperti menyimpan suatu kekecewaan yang mendalam. Nisa tidak ingin tahu banyak.

“Kerja di supermarket. Jadi satpam, Mbak.” Lisa terpaksa berbohong. Mana mungkin dia jujur pada orang yang baru dikenal.

“Oh,” sahut Nisa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi dari wanita muda itu. Masih bersuami, bukan janda muda seperti yang dipikirkan selama ini.

Tunggu! Apa yang salah dengan predikat janda? Sebentar lagi dia juga akan memakai gelar itu. Menjadi janda terhormat. Kalau akhirnya nanti mereka bercerai, Nisa ingin menyandang gelar itu. Janda terhormat.

“Kerja apa saja Lis, yang penting halal. Orang-orang selalu bilang begitu.”

Halal untuk Lisa dan Anjas mungkin berbeda dari definisi orang kebanyakan. Alih-alih bekerja, mereka lebih memilih mencopet untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tak jarang juga menipu orang. Dan terakhir, mereka menipu orang tua Lisa. Membawa kabur sejumlah uang dan surat-surat berharga.

Semua bermula karena cinta yang tak kunjung mendapat restu. Hingga pada akhirnya mereka memilih menikah di bawah tangan. Tanpa restu dari orang tua Lisa. Katakanlah mereka kawin lari.

Bahwa melawan restu tidaklah membuat hidup bahagia. Benar. Lisa merasakan itu. Hidupnya terlunta-lunta bersama Anjas, suami pilihan hatinya.

“Kenapa Lis, apa saya salah ucap?” tanya Nisa. Tidak enak hati dia melihat Lisa diam saja. “Maaf,” imbuhnya seraya mengusap bahu Lisa.

“Tidak Mbak,” jawab Lisa. “Saya kangen sama orang tua saya.”

“Jauh dari orang tua rasanya memang tidak enak.”

“Tapi Mbak Nisa masih ada orang tua Mas Ryan di sini.” Lisa menunduk. Rasa rindu menghantam hatinya. Namun apakah orang tuanya masih bersedia menerima dia kembali setelah apa yang dilakukan bersama suaminya?

Lisa merasa malu. Pada orang tuanya. Pada kakak laki-lakinya. Pada saudara ibu dan ayahnya. Malu pada tetangga juga. Dan malu pada Tuhan paling utama.

“Datanglah ke rumah kami,” saran Nisa.

“Apa boleh?” Mata Lisa berkaca-kaca.

“Boleh dong. Kamu ibunya Zora. Siapa yang akan melarang seorang ibu bertemu dengan anaknya?”

“Jadi, Mbak Nisa mengizinkan saya bertemu Zohrah?”

Nisa tersenyum. Tulus dari dasar hati. Terpancar jelas di raut muka yang ayu itu.

Pilihan Ryan tidaklah salah. Lisa wanita yang baik menurut penilaian Nisa. Meskipun hidup susah, Lisa tidak mengeluh. Meskipun suaminya hanya seorang satpam, dia tidak malu mengakui.

Zora akan tumbuh dengan baik dengan wanita muda ini, pikir Nisa.

♧♧♧

“Dari mana saja kamu?” Ryan bertanya dengan nada menggertak. Dia membawa Zora yang tengah menangis di gendongan.

Nisa baru saja turun dari ojek. Buru-buru dia berjalan mendekat. Dia ingin meminta Zora, tapi dengan cepat Ryan menangkis tangannya.

“Begini kelakuan kamu kalau aku enggak di rumah? Keluyuran ke mana saja?”

“Aku....”

“Kenapa enggak bawa hape?”

“Lupa, Yan.”

“Lupa atau sengaja?”

Nisa memilih masuk ke dalam rumah. Lebih baik menghindar daripada berdebat. Dia berjalan ke dapur, mengambil air dingin dari kulkas. Menuang ke dalam gelas lalu meneguknya hingga tandas.

Dua gelas air dingin tak mampu mendinginkan kepalanya. Ryan mengikuti di belakang. Masih membawa Zora yang menangis.

“Nisa!”

“Iya. Ada apa?”

“Ke mana saja kamu siang-siang begini baru pulang?”

Ryan sudah bisa mengontrol emosi. Marahnya mulai reda begitu melihat Nisa pulang. Dia tadi takut kalau Nisa kabur dari rumah.

Tidak seperti biasa yang lebih memilih berdiam diri di kamar. Siang ini, saat Ryan terpaksa pulang dia tak menjumpai istrinya di rumah. Kata si Mbok asisten rumah tangga, Nisa pergi pagi-pagi. Tapi hingga tengah hari belum tiba di rumah.

“Kamu peduli sama aku, Yan? Aku pikir kamu sudah mati rasa.”

♧♧♧

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status