Bab.5 Menunda Perpisahan
“Aku lapar.” Ryan membuka pembicaraan. Mereka sudah sampai di jalan gang perumahan.“Salah siapa tadi pagi enggak ikut sarapan?”“Males liat kamu.”“Kalau males ngapain dikejar?”“Sayang.”Merona pipi Nisa mendengar jawaban Ryan. Seirama dengan detak jantung yang semakin tak menentu. Bagai lagu alam menyanyikan keindahan dunia.“Karena Zohrah sayang sama kamu,” ralat Ryan cepat. “Ibu dan Bapak juga sayang banget sama kamu.”“Oh,” sahut Nisa kecewa. Seketika darah seakan berhenti mengalir. Setelah dibuat tak karuan, dijunjung setinggi cakrawala lalu detik berikutnya ditenggelamkan ke dasar palung segara terdalam.Dasar, perayu ulung!Di depan tukang bubur ayam Ryan berhenti. Setelah memarkir sepeda motor, dia memesan dua porsi bubur beserta teh tawar hangat. Duduk berhadapan di salah satu sudut.“Aku mau balikin ini,” ujar Ryan. Dia mengambil sesuatu dari saku celana. Lalu meletakkan kalung perak berbandul Sailor Venus di atas meja.“Buat apa dibalikin?”“Nanti kamu enggak bisa tidur kalau jauh-jauh dari Minako Aino.”“Itu buat Zohrah. Bilang saja itu kenang-kenangan dari ibunya.”Tukang bubur datang membawa pesanan mereka.“Terima kasih, Mas,” kata Nisa sopan pada penjual bubur itu.Ryan memandangi tukang bubur itu sampai di depan gerobak lagi. Pria muda berjambang tipis itu sibuk kembali melayani pembeli yang baru datang.“Sama tukang bubur sopan banget. Pakai senyum segala. Sama suami sendiri....”“Kita kan cuma pura-pura jadi suami istri,” protes Nisa sembari mengaduk bubur ayam.“Iya. Aku tau kamu terpaksa nikah.”“Gara-gara kamu!”“Salah siapa mau?”Nisa mengerutkan bibir. Salah siapa mau? Benar, salah siapa dia mau tergoda oleh Ryan? Andai mereka ikut main api unggun sepanjang malam bersama teman-teman yang lain. Andai dia tidak pusing karena masuk angin? Mungkin mereka tidak akan berduaan saja di kamar itu. Ah, andai saja.“Cepat makan. Setelah itu antar aku ke terminal.” Nisa mendorong mangkok ke tengah meja. Selera makannya lenyap.“Bisa enggak ditunda satu hari lagi?”Nisa menggeleng. Dia harus pulang ke Jogjakarta hari ini juga. Mumpung Agung sedang libur. Rindu dalam hatinya sudah memuncak. Ingin segera terobati. Dan obat itu adalah bertemu dengan Agung.“Karena Agung?”Belum sempat Nisa menjawab, Ryan sudah menyela.“Aku dengar pembicaraan kalian semalam. Pergi saja dari aku sama Zohrah. Jangan kembali lagi.”“Kamu usir aku dari Zohrah?”“Itu mau kamu. Bukan aku yang suruh. Oh yah, kapan kalian akan nikah?”Apa Ryan tahu pertanyaan itu telah merobek hati Nisa? Apa Ryan tahu alasan sebenarnya Nisa pulang ke Jogjakarta dan menemui Agung?Mata Nisa berkaca-kaca. Dia memang merindukan Agung. Tapi dia ingin bertemu Agung bukan membahas rencana pernikahan. Bukan itu, andai Ryan tahu.“Secepatnya. Setelah akta perceraian kita keluar.”“Hebat.” Ryan bertepuk tangan. “Semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah.”“Aamiin....”Tak berselera lagi. Ryan hanya mengaduk-aduk bubur hingga tercampur lebur. Hebat sekali calon mantan istrinya. Belum resmi bercerai sudah punya niat menikah lagi.Meminta Nisa pergi dari kehidupannya dan Zohrah adalah jurus jitu melupakan wanita itu. Percuma mempertahankan hubungan, bila kenyataannya Nisa tidak pernah mencinta. Untuk apa bertahan? Bukan hanya Ryan yang akan menderita dengan hubungan pernikahan ini. Tetapi juga Nisa dan Zohrah.“Maaf Ryan aku harus pergi. Toh, buat apa kita menikah tapi enggak ada cinta?”“Benar. Buat apa? Yang penting aku udah dapetin kamu. Terima kasih udah memberikan mahkotamu padaku.”Nisa mengguyur wajah Ryan dengan air teh yang belum disentuhnya sama sekali. Tega benar pria itu berkata demikian. Jadi, Ryan melakukannya bukan karena cinta?“Nyesel aku punya teman kamu,” murka Nisa.“Kamu enggak nyesel punya suami aku?” ejek Ryan. “Kalau aku sih nyesel nikah sama kamu. Buat apa nikah, kalau tidurnya terpisah?”“Apa cuma itu isi otak kamu?”“Aku laki-laki normal.”“Sudah Yan. Aku bosan berdebat sama kamu. Terima kasih sudah membuat hidupku berantakan.”“Terima kasih juga sudah memberikan masa depan yang indah.” Ryan mengeluarkan dompet. Menaruh selembar uang dua puluh ribuan di atas meja.Nisa melihat Ryan pergi. Tanpa berpamitan pria itu meninggalkan Nisa dan hatinya yang terluka. Sejak kapan Ryan berubah arogan? Itu, bukan Ryan yang Nisa kenal.Sekarang mau ke mana Nisa selanjutnya? Jalan kaki ke depan kompleks jauh. Kembali ke rumah Ryan, itu pun tidak mungkin. Menunggu taksi lewat? Lama. Ke pangkalan tukang ojek? Ya, ke sana kaki Nisa melangkah. Tak jauh dari tukang bubur, tepat di pertigaan sana. Terdapat sebuah pangkalan ojek.Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di sampingnya. Ryan. Mengejutkan saja!“Apalagi?” Nisa terus berjalan tanpa menghiraukan Ryan.“Pulang,” ajak Ryan. Nada bicaranya datar dan kaku.“Emang mau pulang.”“Pulang ke rumah.”“Yang namanya pulang pasti ke rumah, Ryan.”“Naik.” Ryan turun dari sepeda motor. Mengejar Nisa yang berjalan lebih cepat dari biasa. “Atau mau aku gendong?”Nisa menoleh. Apakah Ryan sedang menggodanya lagi? Tidak, ini kenapa pikirannya kembali terbang pada malam ulang tahun Ryan? Berbulan-bulan berlalu, tapi kenangan malam itu masih menari di pikiran. Nisa ingin membuangnya jauh-jauh.Sungguh, Nisa ingin melupakan hari itu. Sabtu, 24 Juli 2004. Hari di mana mereka melakukan dosa itu. Hari di mana dunianya terasa jungkir balik.“Aku mau pulang. Ke Jogja. Bukan ke rumah kamu.”“Tapi Zohrah kangen. Dia ingin ketemu Mamanya. Dia rewel. Dia ingin kamu ada di hidupnya. Dia butuh kamu.”“Dia sudah punya ibu susu. Panggil saja wanita itu ke rumah. Dan kamu, nikah saja sama dia.”“Gampang banget bilang nikah. Kamu pikir pernikahan itu main-main?”Jika pernikahan bukan hal yang main-main. Mengapa Ryan mempermainkan perasaan Nisa? Tidak, Ryan tidak pernah berniat mempermainkan hubungan mereka. Hanya saja, dia belum berani berkata jujur.Tiga kata yang sulit diucapkan secara langsung di depan Nisa. Aku, cinta dan kamu. Hanya tiga kata itu. Tidak kurang dan tidak lebih. Namun berada di dekat Nisa, lidahnya terasa kelu tiap kata itu melintas dan siap meluncur di bibir.“Pulang.” Ryan menarik tangan Nisa dengan kasar. Menuju sepeda motor sport yang terparkir di belakang. “Tunggu selesai masa nifas kamu. Nanti aku sendiri yang akan mengantar kamu ke rumah orang tua kamu.”Tak ingin mendebat, Nisa menurut saja ajakan Ryan. Sembari memandangi lekat wajah pria yang tengah menggandeng tangannya. Ada gurat kekecewaan di sana, Nisa tahu persis. Sama sepertinya yang juga kecewa dengan sikap arogan Ryan.Perjalanan pulang kali ini diiringi dengan kebisuan. Nisa tidak mau menjadi asing. Masih berharap hubungan mereka akan baik-baik saja setelah perpisahan yang tertunda ini.Betul, batin Nisa membenarkan. Mereka hanya sedang menunda perpisahan. Sebab, Nisa sudah memilih untuk mengambil beasiswa S2 di Singapura. Di kampus yang sama dengan Agung. Dia tidak akan menyiakan kesempatan yang mungkin tak akan datang untuk kali kedua.♧♧♧“Tunggu sebentar, bisa tolong antar saya ke rumah wanita yang menitipkan ini?” Nisa mencegah tukang ojek yang mengantar ASI untuk Zohrah pagi ini.Keinginannya untuk bertemu wanita itu semakin besar. Nisa harus memastikan bahwa ibu susu Zohrah adalah wanita yang baik.“Ibu, Nisa izin mau menemui ibu susu Zora.” Nisa berpapasan dengan Sari di dapur. Ibu mertuanya sedang menyiapkan susu untuk Zohrah.“Buat apa kamu ketemu dia?”“Hanya ingin memastikan dia wanita yang baik atau tidak. Air susu dia mengalir dalam tubuh Zora, Bu.”Nisa menyebut anak perempuannya dengan panggilan Zora. Dia suka dengan nama pemberian dari Ryan. Namun kata Zora lebih mudah diucapkan. Lebih mudah diingat. Dan lagi, semua orang di rumah ini pun ikut memanggil bayi itu dengan nama Zora.“Maaf, bukan maksud Nisa menyinggung ibu.” Nisa merasa salah dalam memilih kata-kata. “Nisa tahu, Ryan pasti memilih wanita yang baik.”“Tidak usah temui dia.” Sari berlalu, meninggalkan Nisa yang sedang menata plastik-plastik ASI ke dalam kulkas.“Bu, Nisa ingin ketemu dia sebelum Nisa pulang ke Jogja.”Di dekat meja makan Sari menoleh. Tatapannya terpaku pada Nisa yang tengah memohon. Keinginan Nisa untuk pulang tidak mungkin dicegah lagi. Sari paham akan hal itu.“Apa tidak ada jalan lain selain perceraian, Nis?”♧♧♧Bab.6 Melawan Restu“Apa tidak ada jalan lain selain perceraian, Nis?” Pertanyaan itu lolos juga dari bibir Sari. Sudah lama dia menahan ini. Usai menutup pintu kulkas, Nisa menuju wastafel. Telapak tangan lengket karena satu dari lima plastik berisi susu itu pecah. Bukan jatuh, dia yang terlalu erat mencengkeram saat mendengar pertanyaan dari Sari.“Ibu sama Bapak mau berkunjung ke rumah orang tua kamu. Kami mau menanyakan apa orang tua kamu juga menginginkan perpisahan kamu dengan Ryan.” Tak kuat lagi, batin Sari terasa terimpit dua balok kayu yang besar. Sesak. Jika bukan Ryan, maka dia yang akan berupaya semampu batas usaha. Mempertahankan Nisa sebagai menantu di rumah ini. Tidak akan wanita lain yang bisa menggantikan posisi Nisa. “Iya. Mereka menginginkan itu.” Nisa menunduk. Kedua orang tuanya ingin Nisa menikah dengan Agung secepatnya. Tanpa bertanya apa keinginan Nisa saat ini.“Dan kamu setuju?” Sari berharap Nisa tidak menjawab ‘iya’. Namun lagi dan lagi dia harus menela
Bab.7 Takut Berpisah “Kamu peduli sama aku, Yan? Aku pikir kamu sudah mati rasa.” Nisa mencebik. Lalu dia beranjak dari dapur. Meninggalkan Ryan dan Zora yang masih menangis.“Bukan aku, tapi kamu yang mati rasa!” Baru juga reda, Nisa berulah lagi. Ryan berjalan membuntuti. Emosi mulai naik ke ubun-ubun.Nisa berhenti di depan pintu kamar. Berbalik badan, dia mendapati Ryan dengan raut kemarahan yang menjadi. Dalam hati dia menangis, tapi satu sudut bibirnya terangkat. Tersenyum mengejek.Begini lebih baik. Bersikap tidak peduli menjadi senjata ampuh agar Ryan segera menceraikan dirinya. “Kamu enggak lihat Zora nangis?” tanya Ryan sambil mendekat. Dia menyerahkan bayi perempuan itu pada Nisa. Tak bergeming. Nisa melipat kedua tangan di depan dada. Senyum pongah terbit menghiasi wajah. “Ibu ke mana?” tanya Nisa. “Kasih Zora sama ibu.”“Ibu ke peternakan.”Keluarga Adji Anggoro memiliki sebuah peternakan sapi perah dan ayam broiler di Bogor. Sebelum Zora lahir, Sari lebih sering ber
Bab.8 Mencintai Dalam Diam“Apa? Apa yang kamu sembunyikan?”Nisa menggeleng. Tapi jika pergi tanpa seizin Ryan? Ah, ibu mertuanya pasti akan marah. Tidak boleh seorang istri keluar tanpa meminta izin lebih dulu pada suami. Begitu ibu mertuanya mewanti-wanti pada awal pernikahan mereka.“Katakan Nisa. Kamu mau ngapain ke tempat Raya?”“Itu....”“Apa yang kamu sembunyikan? Katakan saja.”Nisa mendongak pada Ryan yang tengah menatapnya lekat. Seakan meminta jawaban jujur darinya. Tak sampai hati Nisa mengatakan itu. Melalui sambungan telepon, Raya bilang kalau Agung berniat memberikan kejutan. Dan gadis itu terpaksa membocorkan rencana Agung. Tentu saja harus dibocorkan. Nanti kalau tiba-tiba Agung datang dan Nisa tidak ada di tempat kost? Apa yang akan dikatakan pada tunangan sahabatnya itu?Pandai benar Agung bersikap. Pria itu selalu menyenangkan hati Nisa. Pandai memperlakukan wanita. Tidak seperti Ryan. Eh, malah membandingkan Agung dengan pria menyebalkan yang tengah membeliak ta
Bab.9 Akan Kukembalikan Jodohmu♧♧♧Pintu terbuka. Wajah Ryan menyembul dari balik pintu. Matanya membeliak, menatap heran bercampur kaget pada tamu yang tak diundang itu. “Ryan,” sapa Agung sembari mengulurkan tangan. “Apa kabar?”Ryan memaksa senyum. Dia melebarkan daun pintu kemudian menjabat uluran tangan Agung. “Sakit apa? Kata Raya kamu sakit parah?” tanya Agung.Ryan menoleh pada Raya. Gadis itu memainkan mata. Berkedip hingga tiga kali disertai senyuman memelas.“Nisa mana, Yan?” Tanpa menunggu sang tuan rumah, Raya menyerobot masuk. Menabrak Ryan yang masih tertegun di depan pintu.“Ada di kamar.”“Di kamar?” tanya Agung. Dia berharap itu hanya salah dengar. “Di kamar, ngapain?”“Di kamar si Mbok, lagi nonton TV.” Ryan melengos. Sama sekali tak tertarik dengan pertanyaan Agung.Nisa muncul di tengah basa-basi yang membuat jengah. Disambut hangat oleh Agung. Direngkuh tubuh Nisa yang mematung tak berdaya.“Aku rindu kamu, Sayang.” Agung mencium kening dan pipi Nisa. “Happy A
Bab.10 Mundur Selamanya ♧♧♧“Oh, iya Lis...,” seru Sari ingat sesuatu. “Nisa bilang suami kamu kerja di supermarket. Di mana itu?”Lisa terdiam. Gugup. Suaminya sudah kabur. Belum kembali sampai sekarang. Dia memutar otak, mengingat salah satu nama supermarket yang pernah dikunjungi bersama Anjas sehari sebelum melahirkan Reyza.“Di Semarak Mart.”Ketiga orang dewasa itu menoleh pada Lisa. Sari menaruh sendok dan garpu di atas piring. Sepotong daging ayam di tangan Ryan terjatuh. Nisa duduk mendekat ke samping Lisa.“Oh, kebetulan sekali,” seru Sari antusias. “Nanti minta sama Ryan buat promosikan dia.”“Semarak Mart itu punya keluarga Ryan,” terang Nisa. Kalau tahu sejak awal, sudah pasti dia memintakan pada Ryan agar suami Lisa naik jabatan. Atau paling tidak naik honor.Senyum Lisa memudar. Kebohongan demi kebohongan membuat hidupnya tambah semrawut. Inikah balasan karena melawan restu orang tua?“Siapa namanya?” tanya Ryan serius. “Tidak usah. Kalian terlalu baik pada saya. Uang
Bab.11 Kamu Dimana, Nisa? Ryan menatap Agung penuh tanda tanya. Jika bukan Nisa, ibu dari anak perempuan ini. Lantas di mana Nisa saat ini? Bukankah seharusnya Nisa menikah dengan Agung?Apa itu artinya, Agung menelantarkan Nisa?“Di mana Nisa?”Agung tertawa. Tawa yang sulit dicerna oleh Ryan. Tawa kemenangan atau kepedihan? Entah, keduanya tak bisa dibedakan.9“Saya yang harusnya bertanya demikian. Di mana Nisa?” Agung berjalan mendekat. Dia mengeluarkan dompet dari dalam saku celana. Lalu mengambil sebuah kartu nama. Diberikan pada Ryan.“Hubungi saya besok,” bisik Agung seraya menepuk pundak Ryan. “Jangan ganggu quality time keluarga saya.”Terpaku Ryan di tempat. Menyaksikan Agung beserta anak dan istrinya menjauh. Dia membuka telapak tangan, di mana Agung menyelipkan sebuah kartu nama.“Agung Baskoro.” Ryan membaca nama beserta alamat kantor Agung. Jika ditelisik lebih, alamat itu tak terlalu ja
Bab.12 Keputusan yang Salah “Aku harus menemukan Nisa. Bagaimanapun caranya,” gumam Ryan memecah kebisuan.“Jangan. Saya takut istri kamu terluka, Yan.”Sungging yang terbit dari sudut bibir Ryan, membuat Yusuf menegakkan tubuh. Diamati lagi dengan penuh selidik wajah mantan adik iparnya. Banyak hal yang disembunyikan oleh pria itu, Yusuf sedikit mencerna dari gurat wajah letih itu.“Cukup Nisa saja. Jangan ada hati lain yang kamu lukai,” ulang Yusuf.“Saya cuma mencintai Nisa.”“Dan kamu menikah lagi tapi tanpa cinta?”“Saya tidak menikah lagi. Saya menikmati hari-hari bersama Zora,” sahut Ryan.Yusuf menggeleng. Dia kembali bersandar. Lalu menoleh pada Ryan yang duduk di sebarang meja. Bila ada dua insan manusia yang begitu tulus mencintai, mengapa suratan takdir tak lantas menyatukan mereka? Cinta terpendam yang tak pernah diungkapkan, membuat mereka berdua terpisah karena kesa
Bab.13 Terlambat Menyadari Cemberut, Zora menyerahkan helm pada Ryan. Pagi yang kurang bersahabat. Masa iya ke sekolah diantar pakai sepeda motor? Di mana harga diri Zora sebagai cewek populer, Papa?“Kenapa sih anak Papa ini?” Ryan memijat hidung Zora.Naik motor itu sama sekali tidak ada enak-enaknya. Zora heran sama mereka yang suka boncengan sama pacar atau gebetan. Padahal bikin punggung capek, belum lagi kalau panas kepanasan, kalau hujan jangan ditanya.“Udah rapi itu rambut,” kelakar Ryan kala melihat Zora berulang kali membenahi rambut panjangnya. Eh, Ryan malah makin gemas. Diacaknya kembali tatanan rambut berponi itu.Zora mengentak kaki. Dia berbalik badan lalu tanpa pamit pergi menjauh dari Ryan di depan pintu gerbang SMA Taruna Mulia.“Ra...,” panggil Ryan masih dari atas sepeda motor sport yang baru dibeli seminggu lalu.Zora berhenti lalu berjalan mundur. Begitu sampai di dekat Ryan dia berbalik badan.“Buka helm Papa,” sungut Zora.Ryan membuka helm full face yang di