Dua minggu ini mungkin adalah dua minggu terberat dalam hidupku. Bukannya aku yang manja, tapi perempuan yang menjalani kehamilan normal saja bisa merasakan kepayahan, apalagi aku?
Meskipun belum benar-benar dinyatakan hamil, karena harus menunggu embrio menempel terlebih dahulu. Syukurlah kesulitan itu tidak berlaku setiap saat, sehingga aku masih bisa melakukan kegiatan lain.
Pekerjaan yang kubawa ke rumah tak bisa diabaikan. Setiap kali ada kesempatan, selalu kugunakan untuk mencicilnya. Menjalani pekerjaan yang serupa, terkadang Farhan juga ikut membantu jika nyeri ini tiba-tiba datang dan menyita konsentrasi. Aku cukup berterima kasih pada hal itu.
Karena itulah Farhan dan Nayla begitu mengawasi setiap hal yang kukerjakan. Mereka khawatir aku terlalu larut hingga lupa dan membahayakan embrio dalam rahimku. Siang hari saat keduanya harus bekerja, ibu datang atas permintaan mereka untuk menjagaku.
Tak ada asisten rumah tangga yang bisa dipasrahi, karen
Hari terus berganti, tak terasa dua minggu telah berlalu. Kini saatnya kami kembali ke rumah sakit untuk memastikan keberhasilan program bayi tabung ini.Besar harapan kami supaya embrio ini berhasil menempel pada rahimku. Selain telah mengeluarkan biaya yang sangat besar, butuh waktu berbulan-bulan supaya bisa melakukan promil serupa seandainya yang pertama ini gagal. Semoga saja tidak.Kali ini kami bertiga masuk ke ruang periksa bersamaan. Asisten dokter Dion telah melakukan pemeriksaan dasar yang hasilnya cukup membuat kami lega.“Semuanya tanda vital tercatat normal,” lapor asisten itu. “Nyonya silakan berbaring untuk pemeriksaan selanjutnya!”Aku pun segera naik ke atas brankar. Pakaianku dibuka sebagian, sehingga bagian perut terekspos. Gel telah dioleskan dan tranduser mulai bergerak. Jemari dokter Dion bergerak aktif, mencari keberadaan embrio yang pernah ditanamnya.Keheningan ini menghadirkan keteganga
Kandunganku memang masih muda, sangat muda malah, harus dijaga dengan baik. Namun, bukan berarti aku harus selalu berdiam diri jika fisikku masih merasa kuat. Lagipula, masih ada tanggung jawab yang perlu kuselesaikan.Berbekal peringatan dokter yang berakhir pada bermacam resep vitamin, aku tetap berangkat ke Lombok bersama Farhan dan juga tim kami.Nayla jangankan ikut ke lokasi, mengantar masuk ke bandara yang berpotensi mempertemukan dirinya dengan kolega Farhan pun enggan. Ia hanya berhenti di tempatdropoff penumpang, menunggu kami menurunkan bagasi, lalu berpamitan.“Jangan macam-macam di sana, telepon aku tiap satu jam, gak peduli lagi sibuk atau enggak, dan mintatwin roomkalau terpaksa harus sekamar! Cukup dua minggu aku izinin kalian seranjang,” peringat wanita yang rambutnya dicatash brownitu.Mana mungkin kami macam-macam kalau kandunganku saja masih belum benar-benar st
“Kamu bahkan belum lihat bener-bener, sudah harus dibersihkan?” protes Farhan.Kakiku berhenti di depan pintu kamar mandi lalu berbalik dan menatap ke arah ranjang selama beberapa detik. Setelah itu kembali kuarahkan pandangan pada Farhan yang tampak mengernyit.“Aku sudah lihat, jadi sudah bisa dibersihkan ‘kan?” tanyaku.“Gitu doang?”“Terus?”Pria itu berdecak seraya berjalan ke arah ranjang dan duduk di pinggirnya tanpa menyentuh dekorasi yang pihakresortbuat.“Dasar gak romantis,” keluh Farhan terdengar kesal.“Kamu kira ini beneran bulan madu?” tanyaku tak percaya.“Iyalah, dari awal sudah aku kasih tahu ‘kan?” Farhan balik bertanya dan kini giliranku yang berdecak.“Nikah ada batas waktunya aja sok-sokan pakai bulan madu segala,” gerutuku tanpa menimpali seraya bergegas masuk ke
Debur ombak di luarresortyang menghadap pantai itu menjadi musik alam yang mengantarkan kami ke alam bawah sadar. Sepanjang malam pria itu memelukku dalam berbagai posisi. Kebiasaan inilah yang baru kutahu akhir-akhir ini, karena baru menyaksikannya.Tak terdengar azan Subuh dari tempat ini, tetapi alarm di ponsel mampu membangunkanku. Pinggangku terasa berat dan pelan-pelan kupindahkan lengan Farhan. Langit di luar masih gelap, sehingga kubiarkan saja pria itu melanjutkan tidurnya sebentar lagi.Ia baru kubangunkan setelah selesai membersihkan diri dan berwudu. Namun, bukannya bangun Farhan justru menarikku hingga kembali jatuh ke ke atas ranjang. Bibirku memekik, memberikan protes sembari memukul ringan bahunya.“Wuduku batal, Han! Ah, Kamu sembarangan aja narik-narik lengan orang!” protesku keras hingga benar-benar membangunkannya.Pria itu bergegas duduk sembari mengucek matanya. “Maaf, kukira kamu,-&
Pekerjaanku adalah membuat strategi iklan yang akan ditayangkan, khususnya di media sosial. Karena itulah saat proses pengambilan gambar aku lebih banyak hanya menonton saja. Namun, tetap harus memperhatikan detail segala sisi produk yang kami iklankan. Siapa tahu ada yang perlu di revisi dari rencana awal.Di bagian haluan kapal syuting sedang berlangsung. Dua model tengah berpose di depan kamera sesuai dengan skenario yang telah dibuat oleh tim. Matahari di laut Labuan Bajo tengah terik-teriknya, sangat mendukung untuk iklan produkbody serumyang mengandung tabir surya. Kulit para model yang telah diaplikasikan body serum terliharbersinar di bawah terik matahari dan tak tampak terbakar.Mataku secara jeli menyaksikan proses syuting dari bawah atap yang terlindungi panas secara langsung. Sesekali kuteguk es lemon yang asam sekaligus menyegarkan. Beberapa hari ini aku suka makanan asam. Apa karena efek kehamilan?“Nih, se
“Kenapa? Mau makan?” tanya pria itu terdengar perhatian.Namun, aku menggeleng. Baru satu jam lalu aku ngemil tumbek, jajanan khas Lombok yang terbuat dari ketan, sehingga masih belum terlalu lapar. Pandanganku kini terpaku pada para kru yang tengah beristirat sembari menikmati minuman serta makan siangnya.“Apa Kamu sudah tahu bagaimana waktu itu kita bisa mengonsumsi obat laknat itu?” tanyaku menerawang.Farhan bergeming tak segera menjawab. Jika dihitung, sudah kurang lebih tiga bulan pasca kecelakaan memalukan itu terjadi. Belum pernah kutahu alasan bagaimana obat itu bisa sampai ke meja kami. Apakah itu disengaja atau tidak, aku tidak tahu.Bukan tidak ingin menyelidiki, hanya saja aku tidak punya keberanian untuk melakukannya. Bayangan kegilaan kami pun terus berkelindan, hingga urung aku mencari jawaban.“Pramusaji salah memberikan pesanan,” jawab Farhan setelah beberapa saat terdiam.Jawaban
“Yakin cuma begitu doang bisa dingin dan lega?” Farhan memicingkan mata.“Mungkin Kamu saja yang sulit, karena sudah tahu rasanya. Aku ‘kan sebelumnya belum pernah, gak akan semenggebu itu,” gerutuku.“Gak sesimple itu, Zahira,” tegur pria itu sambil kembali menyentil dahiku. Kebiasaan. “Meskipun belum pernah, tapi Kamu punya naluri alamiah.”Sekali lagi aku mendengkus. Benar, aku tak memiliki pengalaman, sehingga tak memiliki referensi untuk mengukuhkan pendapatku. Lagipula aku juga tak bisa membantah mengenai naluri alamiah tersebut.Meski sampai saat ini belum pernah melakukannya lagi, tapi jujur rasa ingin itu terkadang juga hadir. Terlebih ketika disuguhi nyanyian merdu Nayla dari kamar sebelah yang seolah tak pernah berhenti. Bukan cemburu, tubuhku hanya membutuhkan. Untung saja aku masih bisa dengan mudah mengendalikan diri.“Gak mau nyobain lagi? Mumpung gak ada yang
Proses syuting pembuatan iklan sesungguhnya hanya berlangsung selama empat hari. Namun, kami baru pulang setelah satu minggu meninggalkan rumah.Farhan memaksaku untuk berlibur sebentar, mumpung kami sudah ada di luar, karena begitu kembali ke rumah kesempatan seperti ini akan sulit untuk didapatkan.Tentu saja aku menolak pada awalnya, karena ini sudah melanggar perjanjianku dengan Nayla yang melarangku dekat dengan suaminya. Namun, Farhan meyakinkan jika tak akan ada hal buruk yang mungkin terjadi.“Aku pergi karena pekerjaan dan dia gak mau tahu detail kerjaanku. Kalaupun kita nambah hari di sini, dia bakal ngira kita masih kerja.” Farhan beralasan.“Jadi, Kamu memanfaatkan kepercayaan yang dia berikan?” tanyaku agak tak percaya.“Apa salahnya, sih, aku ngajakin istri sendiri liburan sebentar?”“Salahnya adalah Kamu ngajakinnya diem-diem, gak izin dia, gak ngajakin dia juga,” jelasku.