“Nanti sore gak perlu jemput. Aku malas macet-macetan begini,” ujarku beberapa saat kemudian saat laju kendaraan tak sampai tiga puluh kilometer per jam.
“Kenapa sih kamu gak mau banget aku antar jemput, sampai harus mengarang alasan supaya bisa menghindar?” tanya Farhan tanpa menyetujui permintaanku.
“Males macet,” jawabku singkat dan konsisten.
“Pasti gak cuma itu,” tebak pria yang sesekali menengok dan menatapku. “Kamu takut sama Nayla?”
Tanpa perlu aku bersuara, harusnya dia sudah bisa memperkirakan jawaban yang akan terlontar dari bibirku.
“Sebentar lagi dia pasti bisa ikhlas, bagaimanapun Nayla sendiri yang membawamu dalam pernikahan kami. Terima ataupun tidak, kalian sama-sama istriku dan kewajibanku adalah adil pada kalian. Ya meskipun aku tahu yang namanya adil itu sulit,” ungkap Farhan diakhiri dengan senyuman lembut. “Aku sedang berusaha semampuku. Jadi, maaf kalau masih banyak kekurangan.”
“Tidak perlu berusaha terlalu kera
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi dan semua orang yang terlibat dalam proyek iklan kerjasama perusahaan kami telah berkumpul di ruang rapat. Meski pernah mundur, tapi anggota timku telah memberikanbriefingsupaya tak terlalu tertinggal. Lagi pula, sejak semalam Farhan juga sudah mengajakku berdiskusi saat di rumah, padahal sudah cukup larut saat aku pulang. Namun, aku juga cukup berterima kasih, karena setidaknya di rapat ini aku bisa mengikuti dengan baik. “Sesuai dengan produk yang akan dipasarkan, dari tim kami sepakat jika pengambilan gambar dilakukan di pantai. Ada beberapa pilihan lokasi yang masih belum bisa kami putuskan, yaitu antara Lombok, Belitung, dan Kepulauan Kei,” ujar Tara, anggota tim Farhan. Aku tersenyum kecil. Ketiga tempat itu sangat indah dan cocok untuk promosi produksunscreenyang akan mereka luncurkan. Namun, haruskah sejauh itu? Satu hal yang kupikirkan adalah kemungkinan aku d
Melihat kepalaku yang celingukan, Aldo melambaikan tangan, memanggilku mendekat. Kuulas senyum ramah saat menghampiri rombongan. Namun, senyum itu luntur saat kutemukan sosok Farhan ternyata masih ada di sana, di tengah-tengah tim kami. Dahiku mengernyit, mengisyaratkan tanya akan keberadaan pria itu. Hanya saja, Farhan malah mengedikkan bahu acuh tak acuh. Pria itu kemudian menggeser duduknya dan menepuk kursi kayu itu, memintaku duduk di sana. Keraguan segera menyergap. Aku tak ingin ada yang curiga mengenai hubungan kami. Sebelumnya aku memang tak memberitahu siapa pun mengenai pernikahan anehku dengan Farhan. Bahkan aku juga terkejut saat bu Shasa mengetahuinya. “Malu-malu banget sih, Mbak Za? Duduk saja, kami sudah tahu kok,” ujar Aldo terdengar menggoda. Dahiku semakin mengernyit tidak paham, sementara kakiku masih lurus menjulang di samping meja, belum juga duduk di kursi yang Farhan sediakan. “Kalau Pak Farhan gak bilang, k
"Hanya saja, aku masih tidak nyaman dengan status saat ini," tambahku kemudian."Kenapa? Karena kamu bukan satu-satunya?" Farhan memastikan.Meski tidak memberikan jawaban untuk memastikan, tapi hati kecil ini membenarkan. Seberapa keras pun aku mencoba, rasanya masih sulit sekali menerima status sebagai istri kedua. Memangnya ada perempuan yang ikhlas menjadi yang kedua dan berbagi suami, kecuali mereka yang ada maunya?“Tak perlu merisaukan hal itu, karena orang akan mengenalmu sebagai satu-satunya istriku,” ujar Farhan yang seketika memantik penasaran dalam benakku.“Apa maksudmu?”Farhan mengedikkan bahu seraya menghela napas panjang. “Meskipun kami sudah menikah selama empat tahun, tapi tidak ada yang benar-benar mengetahui wajah Nayla. Kami tidak pernah muncul berdua di depan rekan kerjaku, karena dia tidak suka. Risih katanya kalau harus berbasa-basi dengan orang yang tidak dikenal.”“Te
Farhan menghela napasnya kasar. Kepalanya menunduk dan aku tak mampu menangkap bagaimana ekspresinya saat ini. Sikapnya masih tenang, meski sebelah tangan kini memijit tengkuknya.“Maafkan aku,” ujar pria itu sesaat kemudian. “Seharusnya aku lebih gigih menolak permintaan Nayla untuk menikahimu. Seharusnya kamu bisa menikah dengan pria yang lebih baik dan menjadi satu-satunya. Maafkan aku.”Aku turut menghela napas panjang. Tak ada yang perlu disesali, jadikan masa lalu sebagai pelajaran agar hidup bisa lebih baik di kemudian hari. Itulah prinsipku dan sampai kapan pun tak akan berubah. Menyesal tak akan memperbaiki keadaan bukan?“Setidaknya aku tak akan dicap sebagai gadis rasa janda setelah berpisah darimu nanti,” balasku ringan.Statusku akan menjadi janda, jadi pria yang akan menjadi suamiku nanti tak akan merasa tertipu saat mendapati diri ini sudah tak lagi suci. Berbeda jika statusku masih gadis, tapi ternyata s
Setelah menyesuaikan semua jadwal, hari yang kutunggu-tunggu pun tiba. Sekitar pukul sepuluh pagi, kami bertiga telah sampai di sebuah rumah sakit ibu dan anak swasta bertaraf internasional.Melihat dari kelasnya, aku bisa memastikan jika tempat ini akan mengeruk kantong cukup dalam. Bahkan di tempat yang biasa-biasa saja, proses bayi tabung bisa memakan biaya dari delapan hingga sembilan digit angka dalam rupiah.Kukedikkan bahu tak acuh. Biaya bukanlah sebuah masalah, karena aku tak ikut membayar. Semua ditanggung oleh Farhan dan Nayla sebagai pemilik embrio, aku hanya penyedia tempat tumbuh kembang. Bahkan harusnya akulah yang dibayar. Setidaknya itulah yang kuketahui tentang skema ibu pengganti di luar negeri sana."Apakah Anda memiliki penyakit bawaan?" tanya dokter yang bertugas padaku setelah melalui serangkaian pemeriksaan dasar."Apa jantung lemah bisa menurun? Ayah saya menderita penyakit itu, tapi selama ini saya tidak pernah mengal
Sejak pemeriksaan pertama di obgyn waktu itu, aku sudah mengonsumsi vitamin yang katanya bisa menguatkan rahim. Ada juga suntikan khusus yang diinjeksikan beberapa kali pada bagian perutku. Istimewa sekali rasa nyerinya, apalagi aku sendiri yang menyuntikkan ke perutku.Awalnya dokter hendak mengajari Farhan sebagai suamiku, supaya dia yang melakukan injeksi. Namun, sudah pasti Nayla mencegah. Ia tak ingin melihat suaminya menyentuhku, meski itu untuk kepentingan mereka.Wanita itu pun menawarkan diri untuk menyuntikku. Kali ini akulah yang menolak. Bukan apa-apa, aku hanya takut dia sedang emosi, lalu sengaja menyuntik bagian yang salah. Jantung misalnya. Bisa-bisa sebelum menjadi janda, aku sudah lebih dulu jadi almarhum.“Sakit?” tanya Farhan sambil meringis, seolah ikut merasakan nyeri saat proses injeksi sedang kulakukan di kamar.Pria itu serta maduku datang. Katanya menemani dan memberikan dukungan, tapi mungkin juga hanya s
“Sudah lama Dokter menjalani pekerjaan ini?”“Tidak akan tertukar dengan ovum Saya ‘kan, Dok, yang dibuahi?”“Dokter Dion kenapa memilih spesialis obgyn dan secara spesifik mendalami ilmu kesuburan?”“Apa yang Dokter rasakan saat harus melihat organ pribadi pasien-pasien Dokter?”“Suami pasien ada yang pernah protes gak, Dok?”“Kalau pacar atau istri Dokter keberatan, gak, Dokter kerja begini?”Rentetan pertanyaan itu kulontarkan saat tubuh ini sudah berbaring di atas brankar. Obat bius diinjeksikan dalam dosis kecil, supaya aku tidak mengalami kesakitan, meski setiap sentuhan masih bisa kurasakan.Di bawah sana lututku ditekuk dengan posisi lebar, sehingga organ pribadiku terekspos sempurna untuk proses transfer embrio. Sebenarnya malu, tapi begitulah prosedurnya.Dokter Dion sibuk memindahkan embrio tersebut menggunakan kateter, sementara asistennya
Sepulang dari rumah sakit, pola hidupku benar-benar harus dijaga. Kuakui pasangan itu menunjukkan dedikasinya untuk merawatku, meski jelas terlihat Nayla melakukannya sembari menekuk wajah dan cemberut. Semua karena maduku itu tidak bisa melarang Farhan untuk ikut memperhatikan kondisiku. Apalagi selama dua minggu krusial ini Farhan menegaskan bahwa ia akan lebih banyak memberikan waktunya untuk menjagaku. “Kita ingin semua ini segera selesai ‘kan, Dek? Biarkan aku menjaga Ira,” ujar Farhan kala itu yang tak sengaja kudengar, karena ia mengucapkannya saat kami tengah makan malam bersama, sepulang dari rumah sakit kala itu. “Aku saja, Mas, aku juga bisa kalau sekedar menjaga Mbak Zahira,” sahut Nayla yang membuat senyum tipis di bibir ini terbit. “Yakin tidak akan saling sindir dan adu mulut?” tanya Farhan sangsi. “Sudahlah, Dek, hanya dua minggu, kok! Demi anak kita juga.” Tumben sekali Farhan mau membujuk istri kesayangannya itu. Bukann