Share

Bab 3. The Name I Hate

Tell your name if you want make my heart hurt again.

~

Senin

Hari yang paling dibenci beberapa orang, termasuk dirinya. Bukan karena hari ini penuh kesialan, bukan. Tapi karena hari liburnya sudah berakhir dan harus kembali bekerja bak orang kesetanan.

Bayangan tentang kejadian sabtu pagi membuat Naira meringis pelan. Bahkan rasanya ia tidak punya muka untuk bertemu dengan Bos beserta adiknya itu.

[Flashback on]

Karena masih terlalu nyaman, Naira pun semakin mengeratkan guling di tangan dan kakinya. Entah kenapa rasanya sangat hangat. Tapi sebentar, kenapa guling ini keras sekali?

Naira mengernyitkan dahi begitu membuka matanya. Ia mengucek mata beberapa kali kemudian terdiam sesaat. Apa ini yang ada didepannya. Sepertinya kulit manusia. 

Hah? Kulit manusia?

Tidak, tidak. Pasti ia sedang mimpi. Iya benar. Pasti otaknya masih konslet karena baru bangun tidur. Merasakan sesuatu yang keras dan menusuk bagian bawahnya membuat tubuh Naira tegang.

Shit

Sekarang ia yakin, bahwa sekarang yang berada di pelukannya benar-benar manusia. Dan lebih parahnya dia berspesies laki-laki. Dasar Naira bodoh, bodoh.

"Yan, berkas yang kema... APA-APAAN KALIAN INI?"

Dengan gesit, Naira langsung melepas pelukannya dan melompat dari kasur. Wajah garang yang ditampilkan Demi langsung membuat wajah Naira berubah pucat. Gawat.

Ia hampir tidak bisa bernafas melihat sosok pria yang ia jadikan guling tadi. Naira ingat betul bahwa pria itu adalah... Gila, bisa-bisanya ia tidur bersama adik sang bos.

"Bisa jelasin kenapa kalian bisa sekamar? Dan Bian, kemana perginya baju kamu itu?"

Naira meringis saat menyadari bahwa pria bernama Bian itu hanya memakai boxer abu-abu tanpa atasan. Dan parahnya, ia melihat jelas adanya sesuatu yang menggembung di balik boxer itu.

Heh Naira, apa yang kau pikirkan di saat genting seperti ini? 

"E-enggak gitu bang. Kita cuma tidur ngga lebih. Benar kan Nai?"

Eh

Apa? Nai? Pria itu tau namanya? Sebentar sebentar, sepertinya ada yang janggal. Ia ingat betul bahwa nama pria yang tidur dengannya tadi adalah Bian. Apa dia Bian yang itu? Ah tapi kan namanya pasaran.

"Kamu pulang aja Nai. Saya uda nyuruh pak Joko buat nganterin kamu. Beliau uda nunggu di lobi" ucap Demi datar dengan mata yang tetap menatap pada Bian.

"I-iya pak. Te-terima kasih. Saya permisi" ucap Naira kemudian langsung berlari keluar kamar hotel itu. Ia merutuki nasib sialnya yang begitu memalukan.

[Flashback off]

"Aaaaaah"

Naira mengacak-acak rambutnya kasar. Huwaaah Mama, bagaimana ini? Harus apa ia saat menghadapi Demi nanti?

Ngomong-ngomong soal Demi, bosnya itu sudah memberi pengumuman pada seluruh karyawan untuk datang ke kantor satu jam lebih awal. Dia ingin mengenalkan sang adik yang merupakan CEO baru perusahaan Nusa cabang Indonesia.

Adik? CEO?

Oh my god. Berarti saat itu, ia tidur dengan CEO perusahaan tempatnya bekerja? Seriously? Mati mati. Tamat sudah riwayatmu Nai.

Wait a minute. Sepertinya ada yang aneh. Kenapa ia bisa tidur dengan adiknya bos malam itu? Naira ingat betul bahwa ia masih ada di meeting room. Jadi...

Wah, tidak bisa dibiarkan. Ini pelecehan namanya. Bisa-bisanya pria itu menjebak Naira untuk tidur sekamar. Awas saja, ia akan balas dendam nanti.

Ah tidak jadi. Naira lupa bahwa Bian adalah bos barunya, hiks.

Entahlah, nanti saja ia memikirkan hal rumit itu. Sekarang ia harus segera mandi dan berangkat ke kantor. Naira lupa kalau hari ini ada meeting untuk membahas pembukaan resort.

Hari ini perusahaan sangat ramai. Bahkan di depan perusahaan banyak kiriman papan bunga yang mengucapkan selamat atas CEO baru yang bernama...

Ya ampun, bisa-bisanya ia lupa kalau sudah telat. Salahnya memang yang bodoh kuadrat. Ia lupa tidak memesan ojol padahal sudah membuka aplikasinya. 15 menit sudah ia tadi menunggu dan ojol tak kunjung datang.

Ya iyalah, kalo tidak pesan bagaimana ojol bisa tau kalo ia butuh tumpangan. Bego kan?

Setelah menggunakan seluruh tenaganya untuk sampai ke hall yang terletak di lantai 8, akhirnya Naira bisa duduk tenang. Huft. Untung saja tidak ada yang menyadari kedatangannya yang telat ini.

Ah Naira butuh air. Air dimana air? Duuuh kenapa ia seperti berada di gurun sih. Melihat jajaran botol air mineral di meja panjang tepat di samping pintu membuat mata Naira berbinar. Ia pun segara bangkit dan meneguk kesegaran itu.

"Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik. Saya Fabian Vero Dirgantara, terima kasih atas sambutannya"

Byuuur

Apa? Siapa? Ah Naira dimana? Ok cukup. Inhale, exhale, inhale, exhale, huuuuuh. Tenang Nai, mungkin telingamu tadi sedang error.

Ta-tapi, ia jelas mendengar bahwa pria yang sedang turun dari podium itu mengatakan nama kramat yang haram disebut. Ehm, tepatnya haram didengar oleh Naira. Ok mari kita positif thingking saja. Nama dia kan memang pasaran.

Setelah acara penyambutan CEO baru selesai, semuanya pun langsung bergegas untuk absen. Begitupun Naira. Ia berjalan cepat menyalip beberapa orang di depannya. Dan,

Tiit

Yes. Jika bukan karena ada penyambutan, pasti ia sudah telat. Syukurlah. Dengan langkah lemas, Naira duduk di kubikel yang terletak tepat di depan pintu CEO. Duh, kok ia jadi deg-degan begini.

"Gila sih, hot banget CEO baru kita"

"Iya mbak, duuh rahimku jadi basah"

Uhuk uhuk

Rahim basah? Oh my god. Kenapa frontal sekali ucapan Wilona itu. Kalau sampai terdengar oleh objek ghibah kan berabe. Duuuh, bisa tercemar otak polosnya gara-gara sering mendengar ucapan nyeleneh Wilona.

"Tapi gue denger dari anak keuangan, katanya CEO baru itu macem iblis. Cuma katanya sih"

"Iblis? Mana ada iblis ganteng"

"Serius ege. Weekend kemaren divisi keuangan kagak libur. Malah dapet amukan dari CEO baru"

Naira semakin menajamkan telinganya mendengar gosip yang tengah hangat diperbincangkan itu. Sebenenarnya ia sudah mendengar hal tersebut saat di hall tadi. Tapi karena suasana yang ramai, ia jadi tidak bisa mendengar dengan jelas.

Bunyi lift yang terdengar, membuat semua karyawan lari keteteran. Pasalnya bunyi itu berasal dari lift khusus untuk petinggi. Duh, kenapa Naira jadi mules begini.

"Ayo ayo kumpul dulu" ucap Demi dengan senyum cerah yang terlukis di wajahnya.

Mau tak mau semua karyawan pun menuju ke sumber suara, termasuk Naira. Melihat sosok pria yang menatap lekat ke arahnya, membuat nafas Naira sesak. Astaga, kemana perginya semua oksigen di bumi ini?

Demi mulai mengucapkan beberapa kalimat panjang yang entah ia tidak bisa mencernanya. Fokus Naira pecah karena pandangan pria itu yang seolah mengincar nyawanya.

"Terima kasih untuk semua kerja keras kalian. Saya pamit dulu dan selamat menjalankan tugas" tutup Demi kemudian menjabat tangan satu per satu karyawan yang bekerja satu lantai dengan CEO.

Jika ia bukan laki, pasti demi sudah menangis sejak tadi. Bukan, bukan karena cengeng. Tapi kebersamaan mereka dari awal perusahaan ini dibangun sangatlah berkesan. Rasanya ia tidak mau berpisah dengan mereka.

"Pak, jangan lupa sama kita ya. Hiks. Sering-sering maen kesini"

"Iya pak. Duh, ngga ada lagi dong yang suka ingetin makan siang"

Demi hanya tertawa mendengar ocehan para karyawannya. Setelah semuanya kondusif, ia pun segera pamit karena harus ke hotel dulu sebelum terbang ke London.

Naira sendiri masih sesenggukan. Ia tidak rela jika Demi harus pergi secepat ini. Beliau adalah sosok yang membuatnya bisa sampai di titik sekarang. Bahkan Demi selalu sabar dengan tingkahnya yang ceroboh dan teledor. Good bye my good boss.

"Sudah cukup drama nangis bombaynya. Silahkan kembali ke meja masing-masing dan mulai bekerja. Ingat, deadline laporan yang sudah ditetapkan oleh pak Demi tidak boleh di undur. Dan untuk kamu, ke ruangan saya sekarang juga"

Brak

"Anjir. Baru juga kenal uda maen banting pintu aja"

"Kayaknya bener kata anak keuangan, CEO baru kita emang iblis. Hiks"

Naira ingin menangis kencang rasanya. Apalagi saat pria itu dengan seenak jidat menyuruh dirinya untuk masuk ke kandang macan. Adakah yang bisa membawanya pergi dari sini?

"NAIRA, APA KAMU TIDAK DENGAR PERINTAH SAYA?"

"Buruan Nai, makin ngamuk ntar"

"Eh eh Nai, nitip berkas dari pak Wayan. Cukup lo yang kena sembur, gue ogah" ucap Wilona sambil menyodorkan map bewarna hitam.

Karena tidak ingin mendapat amukan di pagi hari senin yang cerah ini, Naira pun segera menuruti kemauan CEO baru itu. Ehm, apa kita ganti saja namanya dengan iblis? Ups.

Tok tok tok

"Masuk"

Setelah menghembuskan nafas pelan, Naira memutar gagang pintu dan masuk ke ruangan tersebut. Ok tenang Nai, ruangan ini tetap sama. Bahkan dekorasinya tidak berubah satupun. Tapi kenapa hawanya jadi negatif begini?

Deg

Mata Naira langsung melotot melihat ukiran nama kramat yang tidak pernah ingin ia baca selamanya. Dan apa sekarang? Pria pemilik nama itu kini malah menatapnya intens dengan tatapan yang sulit diartikan. Tubuh Naira terasa panas sekarang.

ā€Gimana? Sudah ingat siapa saya?"

Wajah itu, suara itu, dan tatapan itu. Iya, Naira ingat sekarang. Ia ingat siapa pria yang tengah menatapnya itu. Dan ia juga ingat bagaimana pria itu meninggalkannya dulu. Naira ingat semua tentangnya.

"Jawab Nai. Saya bukan cenayang yang bisa baca pikiran kamu"

"Maaf pak, kalau tidak ada hal penting saya permisi dulu" ucap Naira menghindar. Matanya sudah berkaca-kaca karena dadanya yang begitu sesak.

"Apa menurutmu saya tidak lagi penting?"

Naira menundukkan kepala dalam. Usahanya untuk menahan air mata ternyata sia-sia. Baru mendengar pertanyaan pria itu aja ia sudah tidak kuat.

"Ngga marah karena saya tinggal tiba-tiba? Atau kamu penasaran alasan saya pergi dari hidup kamu? Atau..."

"CUKUP PAK. SAYA DISINI UNTUK BEKERJA. TOLONG PROFESIONAL. KALO BAPAK CUMA MAU BAHAS MASALAH PRIBADI... hiks"

Hancur sudah pertahanan Naira. Tubuhnya sampai bergetar karena dipenuhi emosi. Ia menatap nyalang pria di depannya yang kini entah, Naira tidak tau arti tatapan itu.

"Nai"

"Saya permisi" ucap Naira dan langsung berlari keluar ruangan. Teriakan dari beberapa rekan kerjanya ia hiraukan begitu saja. Ia hanya butuh toilet untuk menenangkan diri.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status