Langit malam gelap tanpa bintang, hanya lampu taman yang redup menemani sepi.
Leo duduk di bangku taman, memandangi kalung dan kunci pemberian Suster Maria. Pikirannya kacau. Tiba-tiba langkah kaki terdengar di belakangnya. "Leo..." suara lembut itu familiar. Leo menoleh. Erina berdiri di sana, mengenakan sweater abu-abu, matanya merah seperti habis menangis. "Erina? Kenapa kau di sini malam-malam begini?" tanya Leo, sedikit cemas. Erina duduk di sampingnya, menatap ke depan tanpa bicara beberapa detik. Udara malam dingin, tapi keheningan lebih menusuk. "Aku... aku dengar ayahku akan melakukan sesuatu pada dirimu," ucap Erina akhirnya, suaranya bergetar. Leo terkejut, namun mencoba tetap tenang. "Aku sudah biasa ditekan orang-orang seperti ayahmu." Erina menggeleng, air mata mulai mengalir. "Kau tidak mengerti, Leo. Ayahku... dia bukan orang yang hanya bicara. Dia akan menghancurkanmu, dengan cara apapun." Leo menarik napas dalam. "Aku tidak takut, Erina. Aku sudah melewati banyak hal." Erina menatapnya, matanya penuh luka. "Tapi aku takut... takut kehilanganmu, Leo." Leo ingin bicara, tapi kata-katanya tercekat. Erina mendekat, tangannya meraih jemari Leo yang dingin. "Aku sudah mencoba melawan keluargaku, mencoba jadi kuat… Tapi semakin aku melawan, semakin besar tekanan itu. Aku hanya… aku hanya ingin bersamamu, meski sebentar saja," kata Erina lirih, suaranya pecah. Leo menatap matanya, di sana ada ketulusan, cinta, dan ketakutan bercampur jadi satu. Hatinya perih, karena ia tahu... dunia mereka berbeda, dan ia mungkin tidak bisa melindungi Erina dari keluarganya sendiri. "Erina…" Leo meraih pipinya yang basah air mata. "Aku juga ingin bersamamu, selalu. Tapi aku tidak ingin kau terluka karena aku." Erina memeluk Leo erat, seakan tak mau melepaskannya. "Aku sudah terluka, Leo. Sejak aku kenal kau… aku tahu hidupku tidak akan sama. Tapi aku tidak peduli." Leo memejamkan mata, membiarkan detik-detik itu berjalan lambat, meresapi hangat tubuh Erina meski dunia di sekitar mereka semakin dingin. "Kita tidak bisa terus seperti ini, Erina," ucap Leo akhirnya, suaranya berat. "Aku akan cari jalan. Entah bagaimana caranya… aku akan buktikan aku pantas berdiri di sampingmu." Erina mengangguk, tangisnya mereda sedikit, tapi matanya tetap sembab. "Aku percaya padamu, Leo. Tapi berjanjilah satu hal…" "Apa itu?" "Jangan pergi… Jangan pernah pergi tanpa memberitahuku lagi." Leo terdiam, rasa bersalah muncul di dadanya. Ia memang sempat menjauh karena tekanan hidupnya. Ia mengangguk pelan. "Aku janji." Mereka saling menatap lama di bawah cahaya lampu taman yang temaram. Malam itu menjadi saksi dua hati yang berjuang di tengah dunia yang tidak adil. Pagi itu, suasana kampus terasa aneh. Bisik-bisik terdengar di setiap sudut lorong. Tatapan mahasiswa, bahkan beberapa dosen, mengarah ke Leo dengan pandangan sinis, ada yang mencibir, ada yang tertawa mengejek. Leo berjalan tenang, tapi dalam hatinya muncul kegelisahan. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Puluhan pesan masuk. Foto dirinya bersama Erina tersebar luas di grup kampus, dengan keterangan provokatif: "Anak tidak jelas memanfaatkan Erina Davison untuk naik status!" "Cinta atau ambisi? Si miskin berani rebut pewaris keluarga Davison!" Leo mengepalkan tangan, wajahnya memerah menahan emosi. Tak lama kemudian, Alex — mahasiswa kaya yang juga sepupu Erina — datang bersama beberapa teman berpengaruh. "Hei, Leo... ternyata gosip itu benar ya?" ucap Alex sambil tersenyum mengejek. "Kau pikir bisa naik kasta hanya dengan merayu Erina?" Mahasiswa sekitar mulai tertawa. Leo tetap diam, mencoba sabar, namun sorot matanya tajam. "Aku tidak butuh validasi dari kalian," balas Leo dingin. "Tentu saja, karena kau tidak punya harga diri," Alex mendekat, membisik, "Ayah Erina akan menghabisimu. Dan aku akan pastikan kau terusir dari sini." Beberapa saat kemudian, dosen pembimbing Leo memanggilnya ke ruang akademik. Di sana, seorang pria paruh baya, berpakaian resmi, sudah duduk — Ketua Komite Kampus — sahabat dekat Davison, sekaligus paman Alex. "Leonardo… kita menerima laporan bahwa kau terlibat skandal yang mencemarkan nama baik universitas," ucapnya serius. "Itu tidak benar, saya tidak melakukan hal memalukan apa pun," tegas Leo. Ketua komite melemparkan beberapa foto ke meja. "Sayangnya, bukti-bukti berkata lain. Dan universitas ini tidak butuh mahasiswa yang membawa citra buruk." Leo menatap foto itu, hatinya bergetar. Foto saat memeluk Erina, yang dipotret dari sudut mencurigakan, seolah-olah ia memang memanfaatkan Erina. "Ini manipulasi," Leo bersikeras. "Mungkin begitu, mungkin tidak," sang ketua komite berdiri, mendekati Leo. "Tapi yang jelas, keluarga Davison tidak senang. Dan di kota ini, kau harus tahu, siapa yang mengendalikan segalanya." Leo mengepalkan tangan di bawah meja, wajahnya dingin tapi hatinya bergejolak. "Aku tidak akan mundur hanya karena tekanan seperti ini," ucap Leo pelan tapi tegas. Sang ketua tertawa pelan. "Sayangnya, itu bukan pilihanmu." "Mulai hari ini, kau diskors selama penyelidikan berjalan. Jika dalam waktu dekat kami temukan pelanggaran lain… kau dikeluarkan." Leo berdiri, menatap semua orang di ruangan itu. "Aku tidak akan kalah hanya karena permainan kotor kalian," kata Leo, lalu pergi meninggalkan ruangan dengan dada bergemuruh. --- Keluar dari gedung kampus, Leo berdiri di bawah langit siang yang panas, pikirannya kacau. Namun di ujung jalan, Erina berdiri, menunggu dengan wajah cemas. "Aku dengar semua fitnah itu… Leo, aku percaya padamu," ucap Erina, air matanya mengalir. Leo menatapnya, senyum getir di wajahnya. "Aku harus kuat, Erina. Demi kita berdua." Tapi di kejauhan, Jimmy mengintai, dengan senyum licik. "Ini baru permulaan, Leo…" gumam Jimmy. Di sudut taman kampus, Leo terduduk lemas di bangku tua, tatapannya kosong. Ponsel di sakunya terus bergetar, notifikasi masuk bertubi-tubi — berita buruk, cemoohan, fitnah yang terus menyebar. Tangannya gemetar, keringat dingin membasahi pelipis. Dunia terasa seperti runtuh perlahan. Leo menghela napas dalam, lalu merogoh saku jaket lusuhnya. Di genggamannya, liontin kecil berbentuk naga — satu-satunya peninggalan dari masa lalunya, satu-satunya benda yang selalu membuatnya merasa ada harapan. Liontin itu terasa dingin di telapak tangan, namun penuh makna. "Apa semua ini ada artinya?" bisik Leo dalam hati, suara lirih nyaris tak terdengar. Di sela-sela keraguan, bayangan masa lalu melintas di benaknya — saat dirinya berdiri kecil di depan gerbang panti asuhan, saat Suster Maria menghiburnya, saat ia berjanji menjadi kuat… semua terasa jauh. "Aku hanya anak panti asuhan… siapa aku melawan orang-orang sekuat mereka?" Tapi genggamannya pada liontin itu semakin erat, jari-jarinya gemetar, namun matanya perlahan berubah. Ada nyala kecil yang mulai tumbuh. "Kalau aku menyerah sekarang, semua perjuangan ini sia-sia…" Leo menutup mata sejenak, membiarkan angin sore menerpa wajahnya. Suaranya nyaris bergetar, tapi hatinya perlahan menguat: "Aku tidak tahu siapa aku sebenarnya…" "Tapi aku tahu siapa aku ingin menjadi…" Di tengah kekacauan, ketidakadilan, dan hinaan — hanya satu hal yang ia yakini: dirinya tidak boleh berhenti. Perlahan, Leo berdiri, masih menggenggam liontin itu erat. Matanya menatap langit yang mulai memerah oleh cahaya senja. "Mereka boleh menjatuhkanku…" "Tapi aku akan bangkit… karena aku bukan siapa-siapa? Justru itu alasanku untuk jadi seseorang!"Leo baru saja selesai mengajarkan rumus-rumus Fisika kepada Shizuka di ruang belajar rumah besar itu.Dinding-dinding bergaya klasik Jepang berpadu dengan sentuhan modern, namun suasana terasa aneh — seperti ada yang disembunyikan.Shizuka duduk bersila di lantai, memperhatikan Leo dengan tatapan berbeda. Matanya seolah penuh rahasia yang belum ia ungkapkan."Kamu selalu bawa kalung itu ya?" tanya Shizuka tiba-tiba, suaranya datar namun tajam.Leo reflek menggenggam liontin naga di dadanya."Iya, ini peninggalan satu-satunya waktu aku ditinggal di panti asuhan," jawabnya jujur, sedikit heran dengan nada suara Shizuka.Shizuka tersenyum samar, matanya menatap liontin itu dalam-dalam."Aku pernah lihat simbol itu…" bisik Shizuka pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.Leo langsung terkejut. "Kamu pernah lihat? Di mana?"Shizuka terlihat ragu sejenak, namun akhirnya berdiri dan mengisyaratkan Leo mengikutinya.Mereka berjalan melewati lorong rumah besar itu.Aroma kayu tua dan
Langit malam gelap tanpa bintang, hanya lampu taman yang redup menemani sepi.Leo duduk di bangku taman, memandangi kalung dan kunci pemberian Suster Maria. Pikirannya kacau.Tiba-tiba langkah kaki terdengar di belakangnya."Leo..." suara lembut itu familiar.Leo menoleh. Erina berdiri di sana, mengenakan sweater abu-abu, matanya merah seperti habis menangis."Erina? Kenapa kau di sini malam-malam begini?" tanya Leo, sedikit cemas.Erina duduk di sampingnya, menatap ke depan tanpa bicara beberapa detik.Udara malam dingin, tapi keheningan lebih menusuk."Aku... aku dengar ayahku akan melakukan sesuatu pada dirimu," ucap Erina akhirnya, suaranya bergetar.Leo terkejut, namun mencoba tetap tenang. "Aku sudah biasa ditekan orang-orang seperti ayahmu."Erina menggeleng, air mata mulai mengalir. "Kau tidak mengerti, Leo.Ayahku... dia bukan orang yang hanya bicara. Dia akan menghancurkanmu, dengan cara apapun."Leo menarik napas dalam. "Aku tidak takut, Erina. Aku sudah melewati banyak hal
Erina," panggil Leo lembut , "aku mengerti perasaanmu. Tapi, aku mohon jangan terlalu memikirkan hal ini""Aku akan berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik."Erina mengangguk pelan, air matanya kembali menetes."Aku hanya tidak ingin kehilanganmu, Leo.""Aku mengerti Erina," balas Leo tulus."Tapi, kita harus menghadapi kenyataan. Kita berbeda.""Tapi cinta tidak mengenal perbedaan, bukan?" tanya Erina lirih.Leo terdiam. Ia tahu Erina benar, namun kenyataan hidup seringkali terlalu kejam. Ia tidak ingin menyakiti hati Erina, namun ia juga tidak ingin memberikan harapan palsu."Aku tidak tahu harus berkata apa lagi, Erina," ucap Leo akhirnya.Erina tersenyum pahit. "Tidak apa-apa, Leo. Aku mengerti."Setelah itu, Erina pamit pulang. Leo kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia merasa sangat lelah, baik fisik maupun mental.Sementara itu, Jimmy sedang menyusun rencana jahatnya.Ia ingin menghancurkan hidup Leo dan merebut Erina darinya.Dengan foto yang telah ia ambil, Jimmy yakin rencan
Sudah dua hari leo hanya mengurung diri dirumah sewaannya, tanpa beranjak dari tempat tidurnya leo terus memikirkan nasib dirinya.Jelas leo sangat sedih dengan asal-usul dirinya itu, kenapa dia bisa berada dipanti asuhan.Apalagi leo masih terngiang dengan ucapan davison bahwa dirinya adalah anak yang tidak jelas asal usulnya.Leo pun membuka lemari yang berada di samping tempat tidurnya, sebuah kotak diambilnya dari dalam lemari.Didalam kotak itu berisikan sebuah kunci yang terbuat dari platinum dan sebuah kalung yang mempunyai liontin naga.Hanya benda itu satu-satunya yang leo miliki dari tempat panti asuhan yang diberikan kepadanya sebagai warisan dari keluarganya.Namun beberapa kali leo menanyakan kepada pengurus panti asuhan dimana orang tuanya berada, pihak panti asuhan hanya menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu."Aku yakin orang tua ku masih hidup!""Tapi dimana mereka sekarang?""Kenapa mereka meninggalkanku di panti asuhan?"Apa mungkin aku ini memang anak yang tidak
"Bagaimana aku bisa melunasi uang sewa rumah bulan ini?""Sedangkan aku baru saja dipecat gara-gara sering telat datang bekerja!""Uangku tidak cukup untuk membayar sewa bulan ini""Hmmm,,""Untuk sekarang aku harus mencari beberapa pekerjaan paruh waktu supaya cepat mendapatkan uang agar bisa membayar sewa rumah ini" Ucap Leo Yang sedang merebahkan tubuhnya di kasurLeonardo tumbuh besar di tempat panti asuhan, semenjak menginjak usia remaja, pemerintah tidak lagi memberikan dia tunjangan di panti asuhan tersebut.Oleh karena itu Leonardo menghidupi dirinya sendiri dengan bekerja di toko roti milik seorang pengusaha di tempatnya itu.Namun kelalaian Leonardo membuat dirinya dipecat dari tempat dia bekerja, dia sering terlambat datang bekerja bukan karena tidak punya alasan.Melainkan Leonardo harus menjalani kuliahnya di salah satu universitas ternama, walaupun universitas itu diisi oleh orang-orang kelas atas, namun kecerdasan leo membawa dirinya untuk mendapatkan beasiswa dari Univ