Share

bab 3 kado

Bu nyai Halimah baru saja tiba dari perjalanan ziaroh bersama suami serta jama'ah pengajian kitab Al Mukhtar Min kalamil Akhyar, kitab tasawuf yang menjelas kan ucapan ucapan positif para waliyullah.

"Bah!, Kenapa sepi sekali. Biasa nya jam jam segini Khoirul ngaji kitab di depan, naufal akan ngajar ngaji di masjid. Tapi, kenapa sepi ya, bah?" Bu nyai mengutarakan kegundahan hati nya, pada kyai Amir suami nya.

"Mungkin, mereka lagi ada kepentingan." Kyai Amir menjawab dengan tenang dengan tangan tak berhenti memutari tasbih, serta hati yang senantiasa berdzikir.

Tak berselang lama, Gus Adnan muncul dari balik pintu samping. Gegas dia menyalami umi serta Abah nya.

"Dari kamar kang kholid umi! Bagaimana umi dan Abah, sehat? Ndak capek. Kan?"

"Alhamdulillah sehat, le!"

Kyai Amir tersenyum dengan bibir yang terus merapal dzikir.

"Abah, istirahat saja di kamar dulu. Umik mau lihat naufal sama nur dulu ke atas. Nggak tau kenapa, perasaan umi nggak enak!"

Kyai Amir menurut berlalu menuju kamar. Di umur yang sudah memasuki kepala enam, menjadi kan tubuh beliau mudah lelah. Mungkin, bila bukan agenda tahunan, ziarah dengan para jamaah, beliau lebih memilih mengajar para santri atau berdiam diri menekuri lembar demi lembar kitab kuning yang telah menemani nya bertahun tahun.

"Ndak enak gimana, umik?" Kejar Gus Adnan usai memastikan Abah nya bila sudah masuk kamar.

"Gimana ya Le, beberapa hari ini ziaroh. Jika tidur umi selalu bermimpi Zahra terus. Apa mungkin umi ini sudah jahat. Kok tega nya menikah kan suaminya Zahra pada santri nya sendiri.

Gus Adnan bergeming seraya otak nya berfikir memberikan jawaban terbaik bagi wanita yang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan pesantren.

"Umi jangan berpikir seperti itu. Kita kan sudah meminta izin pada ayah nya mbak Zahra, dan sudah sepatutnya kita juga memikir kan kehidupan mas naufal. Tidak mungkin kita menunggu menunggu mbak Zahra bangun, sedangkan ini sudah berlangsung cukup lama. Satu tahun bukan waktu yang singkat, umik."

Halimah menitikkan air mata, begitulah diri nya setiap ada masalah lebih senang mencurah kan gundah nya kepada anak bungsu, meski umur nya masih muda. Tapi dia mampu menenangkan hati ibu nya.

"Terimakasih telah mengatakan apa yang ingin umi dengar ya, le!"

Gus Adnan berusaha memberikan senyum terbaik meski hati nya masih di Liputi rasa hawatir terhadap seseorang di masa lalu nya.

Ada rasa penyesalan yang masih kuat bersarang di dalam hati pria berhidung mancung ini. Penyesalan yang terus mengusik bila usai bertemu dengan pemilik nama Zulaikha nuralifiyah sabbath.

'zulaikhaku' batin hati adnan dengan menyebut panggilan khusus dirinya untuk nur. Panggilan yang hanya berani ia bubuhkan di atas kertas putih saja dan sekarang hanya berani ia simpan dalam dalam di dasar hati.

*****

Perempuan bernama lengkap Halimatus sa'diyah itu memandang nur dari ujung atas hingga ujung kaki dengan Mata yang hampir tak berkedip. nur merasa tak nyaman terlebih saat tak sengaja iris gelap nur beradu dengan mata teduh mertua nya.

"nur, Kau belum jawab umi. Kenapa kamu menangis? Lihat mata mu sembab begitu? Pasti kamu habis menangis, kan, nur?"

Jantung nur seketika berdetak lebih cepat, berpacu dengan tatapan umik nya yang seolah menghunus ke dalam dasar hatinya penuh selidik.

"Mboten umi. Mata nur memang lagi sakit." Bohong nur. Tak mungkin juga bagi dirinya untuk mengatakan perlakuan dingin putra sulung nya. Sedangkan, dia sendiri sangat menjunjung tinggi ajaran Bu nyai untuk mikhul duwur mendhem Jero,. Apapun ia akan lakukan untuk menutupi aib suami.

"Habis bertengkar dengan suamimu, nduk? Apa naufal memperlakukan mu dengan kasar?"

nur diam seribu bahasa. Hampir saja nur menumpah kan air mata nya, bila detik itu juga Gus naufal tak keluar kamar.

"nur, bisa tolong buat kan kopi? Rasa rasa nya aku kangen sama kopi buatan kamu!" Titah Gus naufal yang dibawahi anggukan nur.

"Nggeh, mas!" Hanya di depan umi dan Abah kyai, nur berani memanggil dengan sebutan 'mas'. Lain hal bila di kamar berdua dengan suami nya.

Lalu pandangan naufal beralih pada wanita yang pernah bertaruh nyawa demi melahirkan nya kedunia.

"Baru datang, mik?" naufal bertanya dengan sangat sopan.

"Iya, baru saja."

"Wajah kamu pucat sekali, Le? Kamu sakit?" Halimah menyentuh pipi naufal lalu beralih menyingkirkan beberapa untai rambut tebal dan gelap nya dari kening naufal.

"Alhamdulillah sudah enakan, semua berkat nur. Dia sangat jago dalam urus mengurus suami, mik! Sampai sampai mata nya sakit saja nggak mikirin umik demi naufal."

"Alhamdulillah, kalo begitu."

Bu nyai mengurung kan niat lebih dalam lagi dia berpikir bahwa semua baik baik saja, terbukti dari sikap naufal kepada nur.

"Semoga kabar baik cepat datang ya, le. Umi sudah tidak sabar nimang cucu." Tutup Halimah sambil mengelus telapak tangan putra sulung nya.

*****

Setelah membantu khodimah membersih kan meja makan dapur usai memakan sarapan, nur langsung beranjak ke kamar untuk bersiap siap pergi ke madrasah. Hari ini dia ada dua jam mengajar di kelas yang berbeda. Meski sudah jadi menantu keluarga kyai, Ruti nitas nya tak jauh berbeda sebelum menikah. Selain itu, hari ini adalah hari spesial bagi dirinya juga saudara kembar nya yang berada di mesir. Dimana mereka berdua di lahirkan dalam rentan waktu yang hampir berdekatan.

"Happy, milad nur" ucapan nur menyelemati diri nya sendiri, sebelum membuka gagang pintu kamar.

Ketika pintu terbuka, nur mendapati naufal sedang bersiap siap. Dengan baju lengan pendek bergambar wayang namun outfit nya adalah sarung. Dia tampak sangat cocok dengan pakaian nya itu.

naufal menoleh saat mendengar suara pintu terbuka. Sesaat pandangan mereka bertemu, secepatnya naufal mengalihkan pandangan, menyambar ponsel lalu keluar kamar. Tanpa berucap sepatah kata pun pada nur.

nur membuang nafas kasar, lalu dia berjalan ke arah meja usai melihat ponsel nya menyala.

"Sudah di tunggu murid murid nya, neng!" nur tersenyum melihat pesan dari Rahma, sahabat baik nya yang juga masih nyantri di pondok.

"Oke" send, terkirim

Gegas nur menuruni anak tangga dengan tergesa gesa, karena jam pelajaran kurang lima menit lagi mulai.

"Mau ngajar, nduk?" Suara tanya Bu nyai, terpaksa menghentikan langkah nur.

"Nggeh, umik"

"Jangan lupa kirim fatikhah dulu pada Mbah mushonnef, biar ilmu nya berkah."

Mushonnef sebutan untuk pengarang kitab. Kami sering menyebut nya seperti itu.

nur hanya mengiyakan dan berterima kasih atas dawuh beliau.

"nur, nanti sore habis dhuhur kamu ikut umi ke kota ya. Kita cari gaun buat acara pesta nikahan dek ishna, itu loh putri nya adik ku. Minggu depan dia mau nikahan, sekalian nanti kita mampir ke rumah nya."

nur mengangguk pelan "nggeh"

*****

"Ya ampun, nur. Makin hari makin kurusan saja!" Dia menjerit saat mendongak menatap nur yang memegangi bahu nya dari belakang. nur segera mencubit lengan nya agar segera dia mengecilkan suara nya, karena mereka sedang berada di ruangan asatidz para guru. Tak ada suara seperti itu di tempat asatidz. Dia terkekeh lalu kembali meminum minuman di hadapan nya.

"Neng...neng, habis nikah bukan muka tambah glowing. Ini malah tambah buram saja." Rahma berdecak sambil menggeleng geleng kan kepala.

Rahma melirik sahabat nya, yang terlihat makin kurus. Sebenarnya dia tahu betul bila suami nya yang sekarang bukan lah sosok yang sebenar nya ia harap kan. namun, ia memilih untuk tak ikut campur terlalu dalam dengan masalah nur. Apalagi jika sudah menyangkut rumah tangga orang lain.

"Lagi tirakat, ma, aku!" Jawab nur malas.

Pada hembusan nafas terakhir, Rahma mengingat akan sesuatu. Gegas dia mengambil sesuatu dari dalam tas ransel nya. Dua bingkisan dengan bentuk sama, namun dari orang yang berbeda.

"Kemarin Abang ku yang dari Mesir, pulang. Dia bawakan itu untuk kamu, kata nya itu titipan dari Abang mu."

nur, tersenyum usai mendengar penjelasan Rahma. Tak mungkin nur lupa bagaimana badruz, saudara kembar nya menentang pernikahan antara nur dan Gus naufal, bahkan sempat dia menolak menjadi wali nikah. Namun, pelan pelan nur menjelaskan niat nya untuk mengabdi. meski melewatkan perdebatan yang cukup pelik, akhirnya badruz bersedia menjadi wali nikah, meski hanya lewat taukil saja.

"Oh iya, Heppy milad ya sahabat terbaik ku. Semoga tambah berkah hidup mu! Maaf, kado dari aku bulan depan ya. Kalo bisyaroh aku sudah turun." Celetuk Rahma polos, mengundang tawa lepas nur.

"Aamiin, terima kasih do'a nya kawan,"

nur mengalihkan pandangan kedua kotak tepat di depannya.

"Yang satu? dari siapa, ma?"

Rahma menatap sebentar, lalu mengingat nya kembali.

Rahma menggigit bibir bawahnya, membayang kan respon apa yang akan di berikan nur usai mendengar bingkisan warna putih itu.

"Dari Gus adnan."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status