Share

Kesepakatan yang Saling Menguntungkan

Have you decided?” tanya Kate sesaat setelah mendudukkan dirinya di kantor Liam. Dia memang sengaja mengikuti pria itu menuju ruangannya usai rapat pagi mereka selesai. 

“Kenapa terburu-buru sekali?” Liam balik bertanya. Dia melepaskan jas hitam yang dikenakannya, menyampirkannya ke sandaran kursi, kemudian beralih menatap Kate yang tengah duduk dengan angkuhnya di sana. 

Suasana hening sejenak. Entah apa yang Kate pikirkan hingga menanyakan sesuatu yang baru mereka bahas dua hari yang lalu. Memangnya mudah mengambil keputusan untuk menikah? 

Namun, Kate jelas tahu apa yang diinginkannya. Secepatnya mendapatkan apa yang memang menjadi haknya. Satu tahun? Dia justru ingin mempersingkatnya. 

“Lebih cepat lebih baik,” jawab Kate kalem. Cepat atau lambat pernikahan mereka akan terjadi. Jadi, untuk apa berpikir lama? 

Liam memandang Kate tak percaya. Semudah itukah baginya untuk menikah? Belum lama sejak Kate menolak pria yang dijodohkan dengannya. Lalu, sekarang dia menggebu-gebu untuk menikah? Liam sungguh-sungguh tak mengerti jalan pikiran wanita itu. 

Liam menghempaskan tubuhnya sedikit kasar ke kursi kerjanya. “Kamu pikir gampang mengambil keputusan untuk menikah?” gerutunya sebal. Bagi orang awam saja susah, apalagi dirinya? Terbayang masa depannya yang monoton hanya dengan satu wanita, yakni Kate. 

“Kita nggak perlu mengadakan pesta. Cukup melegalkannya saja—kalau itu yang menjadi pikiranmu.” 

Liam memijat pelan pangkal hidungnya yang berdenyut mendengar betapa keras kepalanya Kate. “Bukan masalah itu,” sanggahnya. Ya, bukan hal tersebut yang menjadi pusat kegelisahannya—dia bahkan tak mempermasalahkannya. Mau diadakan pesta atau tidak, intinya tetap satu. Mereka menikah. Benar, bukan? “Aku memikirkan kehidupan pernikahan kita nanti, kalau benar-benar terjadi.” 

Kemudian, sunyi. Mereka berdua tenggelam dalam pemikiran masing-masing. 

“Aku baru tahu playboy sepertimu bisa juga merasa takut.” Kalimat itu bernada menuduh sekaligus menyindir sang lawan bicara. 

“Justru karena itu,” kilah Liam cepat. “Hal yang paling kami, para playboy, takutkan adalah pernikahan. Kami nggak bisa membayangkan harus hidup selamanya bersama satu wanita saja. Dalam kasusku, wanita itu adalah kamu, Kate.” Dia menjelaskan alasan paling masuk akal versinya kepada Kate. “Kesetiaan merupakan sesuatu yang sulit kami lakukan,” imbuhnya di akhir penjelasannya. 

Hening. Lagi. Kali ini, Liam berharap Kate sadar bahwa menikah itu tidak bisa dipaksakan.

“Sepuluh persen.”

Huh?” Bak orang bingung, Liam merespon ucapan singkat Kate. 

“Aku akan memberikan sepuluh persen saham milikku kepadamu setelah anak kita lahir.” Kate mengulang perkataannya dengan menambahkan keterangan tambahan untuk memperjelas maksudnya. 

Dahi Liam berkerut. Anak? Dia tidak menerima informasi apa pun mengenai hal itu. “Aku nggak mengerti, Kate. Anak?” Dia mengutarakan kebingungannya. 

Helaan napas panjang keluar dari bibir Kate. Ya, ayahnya memang tidak mengatakan perihal anak dalam tawaran pernikahan yang disodorkannya pada Liam tempo hari. Jadi, yang Liam tahu hanya mereka menikah. Itu saja. Padahal, tujuan utamanya bukanlah itu. 

Kate menarik napas dalam. Sepertinya, bagian itu memang harus dilakukannya—menjelaskan tentang perjanjian antara dirinya dan sang ayah. Toh, suatu saat nanti Liam pasti akan tahu. Lagi pula, semua itu demi kelancaran rencananya. Ingat motonya; lebih cepat lebih baik. 

“Aku dan Ayah membuat perjanjian. Dalam satu tahun, aku harus menikah, lalu hamil agar ayah mau memberikan saham miliknya padaku.” Singkat dan jelas, Kate berujar. 

“Dengan kata lain, kamu akan menggantikan Howard memimpin perusahaan ini?” 

Yes, Liam.” 

Liam memajukan tubuhnya, kemudian menyatukan kedua tangannya ke atas meja. “Menarik,” komentarnya singkat. 

“Jadi, bagaimana? Kamu setuju?” Kate mulai tak sabaran menanti reaksi Liam. 

Liam menumpukan dagunya ke atas kedua tangannya. Otaknya masih mencerna informasi yang baru saja diperolehnya, sekaligus memikirkan tawaran wanita itu. Ternyata, inilah alasan di balik penerimaan Kate atas pernikahan. Kate yang sebelumnya kekeh menolak untuk menikah, lantas berubah antusias, bahkan memaksa untuk segera menikah. Rupanya memang, ada udang di balik batu. 

“Dua puluh persen.” Dia menawar usulan Kate. 

“Sepuluh persen. Nggak ada kompromi, Liam.”

“Dua puluh persen.” Liam tetap gigih pada pendiriannya. “Aku harus melakukan tugas besar, Kate, dalam pernikahan kita.” 

Kate terdiam. Dia memikirkan perkataan Liam. “Baiklah. Lima belas persen, atau aku akan mencari orang lain,” tuturnya, akhirnya, meski tetap tak menyetujui permintaan Liam. “Jangan menguji keberuntunganmu, Liam.” Peringatan bernada ancaman itu dia lontarkan. 

Liam mengusap-usap bagian bawah dagunya. Benaknya bekerja, menimbang-nimbang penawaran yang Kate berikan. Menggiurkan, memang. Lima belas persen bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat Whitelaw Corp merupakan perusahaan keluarga yang hanya melepas sepuluh persen dari keseluruhan sahamnya ke publik. Selebihnya? Tentu saja, berada di tangan keluarga Whitelaw dengan Howard berada di posisi puncak. 

Baiklah. Kali ini, dia harus memilih. Melepaskan kesempatan emas ini atau tetap teguh pada gaya hidupnya yang jika dipikirkan kembali, lama-kelamaan terasa membosankan juga. Dan oh, jangan lupakan penyesalan yang muncul akibat menolak niat baik Kate ini. 

“Kapan kita akan menikah?” Pertanyaan itu secara tidak langsung menjadi persetujuannya atas rencana dan tawaran Kate.

Kate tersenyum puas. Satu masalah telah berhasil dia selesaikan. “Secepatnya,” balasnya dengan kelegaan memenuhi hatinya. 

Otak Liam kembali berpikir. Memang, dia sudah memutuskan untuk mengikuti rencana Kate. Tetapi, tetap saja, dia membutuhkan waktu untuk benar-benar meresapi semuanya. Dan mempersiapkan diri dan hati, pastinya. “Beri aku waktu satu bulan.” Tak lelah, dia menawar keputusan Kate. Maklum, dia adalah seorang pebisnis. Jadi, dia harus memastikan bahwa dirinya tak dirugikan dalam kesepakatan mereka. 

Kate mengernyitkan keningnya. “Kenapa harus menunggu satu bulan?” Kate mulai dongkol dibuatnya. Liam terlalu berbelit-belit. Kenapa tidak langsung saja? Menikah, lalu menghasilkan keturunan. Bukankah pria itu sudah setuju? 

Well-“ Liam sengaja memberi jeda pada kalimatnya “-aku membutuhkan waktu untuk menikmati kebebasanku, sebelum terjebak selamanya bersamamu.”  

Sudah Liam bilang, bukan, kesetiaan merupakan sesuatu yang sulit dilakukannya? Namun, bukan berarti dia tak bisa melakukannya. Dia mampu. Sangat mampu. Hanya, dirinya saja yang memilih untuk tidak mengambil jalan tersebut. Setelah bertahun-tahun melupakannya, sekarang dia dipaksa untuk kembali lagi. Jiwanya yang terlanjur bebas harus kembali pulang. 

“Tenang saja. Kita akan bercerai setelah anak kita lahir dan aku mendapatkan saham bagianku.” 

Liam tersenyum miris. Kalimat terakhir Kate, entah kenapa, membuat hatinya serasa teriris. Walaupun dia adalah playboy yang gemar bermain-main dengan perempuan, tapi dia tidak pernah menganggap remeh sebuah jalinan pernikahan. Ikatan itu harusnya dijaga semaksimal mungkin dan tak sepantasnya dipermainkan. Dan sikap Kate jelas-jelas telah menyepelekannya. 

“Begitu.” Kata bernada ambigu itu dia ungkapkan seiring dengan bercampur aduknya isi pikirannya. Haruskah dia senang mendengar pernyataan Kate bahwa kebebasannya tak terenggut selamanya dan akan kembali? Ataukah dia kecewa karena prinsip mereka—tentang pernikahan—saling berseberangan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status