Share

Bab 5

Author: Jasmine
Menjelang malam, Larissa memperbarui media sosialnya lagi.

[ Yang kumau sudah kudapatkan. ]

Itu adalah foto makanan yang telah dimakan Alena selama tiga tahun. Di bagian pojok kiri bawah foto, terlihat tangan yang sedang mengupas udang. Pada manset yang dibuat secara khusus itu, terdapat ukiran nama asing Alena.

Layar ponsel Alena menyala. Itu adalah pesan dari Ardian.

[ Sayang, aku juga lembur malam ini. Kamu makan malam sendiri dulu, ya. ]

Alena membuka kulkas. Demi kesehatan, Ardian selalu berpesan kepada Linda untuk tidak menimbun makanan. Semua bahan-bahannya pun dibeli per hari. Jadi, hanya ada satu kotak pangsit yang sudah disiapkan Linda sebelumnya di dalam freezer.

Ardian jelas sudah lupa tentang hal ini. Setelah makan malam dengan sederhana, Alena meringkuk di tempat tidur, tetapi tidak bisa tidur.

Rasa sesak yang familier dan menakutkan itu perlahan-lahan muncul. Dia menyingsingkan lengan bajunya dan menemukan ruam merah di kedua lengannya. Ini adalah reaksi alergi.

Beberapa gambaran terlintas di benaknya ....

Tadi, Alena memasak pangsit dengan menggunakan panci yang baru tidak lama ini digunakan untuk memasak bubur kacang tanah untuk Larissa.

Kesadaran Alena perlahan-lahan memudar. Pandangannya menjadi gelap dan dia jatuh dari tempat tidur .…

Dalam kegelapan yang tak berujung, Alena tenggelam dalam mimpi. Dia kembali ke hari ketika ayahnya tiba-tiba meninggal, sedangkan Ardian sedang pergi ke luar kota untuk melakukan sebuah negosiasi penting.

"Aku akan segera pulang." Suaranya terdengar tegas di telepon.

"Nggak perlu .... Pekerjaanmu lebih penting."

Alena tinggal di ruang kerja ayahnya. Air matanya sudah kering.

"Tunggu aku." Setelah melontarkan dua patah kata itu, Ardian tetap tidak menutup telepon.

Pada subuh hari, Alena terbangun dengan kaget dan tanpa sadar bergumam di telepon, "Ardi, kamu masih ada di sana?"

"Aku ada di sini," jawab Ardian hampir dalam seketika.

Pada detik berikutnya, pintu kamar Alena dibuka. Ardian melangkah masuk, lalu memeluknya dengan erat.

"Jangan nangis. Kelak, aku akan gantikan Paman jagain kamu."

Pada saat itu, hanya ada Alena di mata Ardian. Seolah-olah di dunia ini, tidak ada yang lebih penting daripada setetes air mata Alena. Namun, cinta yang paling dalam pun pada akhirnya kalah pada daya tarik hal-hal baru.

"Pelan dikit! Kamu nggak lihat dia mengerutkan kening?"

Sebuah suara teguran tajam menyadarkan Alena dari mimpinya. Rasa sakit menusuk terasa dari punggung tangannya.

Terdengar suara Larissa berkata, "Ini salahku. Karena aku rakus dan pinjam Bi Linda, dia baru nggak sengaja kemakan kacang."

"Ini bukan salahmu. Lena sendiri yang terlalu ceroboh." Nada bicara Ardian langsung melembut saat melanjutkan, "Bi Linda sudah buatkan kue kacang kesukaanmu. Kamu pulang dulu, ya."

Ardian membujuk Larissa untuk pergi. Begitu pintu tertutup, dia langsung membungkuk di samping tempat tidur. Melihat Alena sudah sadar, matanya langsung berbinar.

"Lena, apa kamu sudah merasa baikan?" Ardian menggenggam tangan Alena yang tidak dipasang infus sambil berujar, "Kamu benar-benar membuatku takut. Begitu pulang, aku langsung melihatmu pingsan di lantai. Semua peralatan dapur sudah kuganti. Aku jamin nggak akan ada kacang lagi."

Alena menatap Ardian dengan tatapan kosong tanpa mengekspos dari mana datangnya kacang itu. Dia membuka mulutnya dan menyahut dengan acuh tak acuh, "Aku ingin minum sup buatan Bi Linda."

Ardian tertegun sejenak, tetapi segera tersadar kembali.

"Kamu lupa? Bi Linda sudah kembali ke kampung halamannya. Ahli gizi baru akan tiba beberapa hari lagi. Dia lebih profesional daripada Bi Linda, kamu pasti akan menyukainya."

Mata Alena sedikit meredup. Ada sedikit ejekan yang terpendam di dalamnya.

"Benarkah? Kalau begitu, aku sungguh beruntung."

Ardian menggenggam tangan Alena dan menaruhnya di samping bibir. Dia masih bersikap penuh perasaan seperti biasa.

"Tentu saja. Meski yang kamu mau itu bintang di langit, aku juga akan memetiknya untukmu."

Alena menarik tangannya dalam diam, lalu memalingkan wajah. Ardian masih bisa memberinya seluruh dunia, tetapi hanya dengan syarat Larissa tidak menginginkannya.

Di luar jendela, kepekatan malam terasa seperti bisa menelan segalanya.

'Ardian, kamu sendiri yang mengejarku, tapi malah merasa bosan setelah dapatkan aku. Mencintaimu bukan hal yang salah, tapi aku menyesal sudah melakukannya.’
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ⁠Dari Luka Menuju Kebebasan   Bab 25 

    Dua tahun kemudian.Alena berjalan cepat dengan ponsel menempel di telinganya. Tangannya yang lain dengan cepat membolak-balik draf akhir proposal penawaran yang baru saja diserahkan sekretarisnya."Kapan kita kembali ke pulau?" Suara Darian di ujung telepon terdengar diselingi tawa.Bibir Alena tanpa sadar melengkung membentuk senyuman. "Beberapa hari lagi. Aku sibuk banget akhir-akhir ini." Alena melirik kartu pos yang dikirim ibunya di meja. "Sejak ibumu dan ibuku keliling dunia bareng, lalu tinggalkan perusahaan mereka untuk kita kelola, aku nggak pernah tidur nyenyak lagi.""Apa presdir satu ini lagi ngeluh?" Nada menggoda Darian diwarnai rasa sayang. "Seingatku, ada orang yang baru saja dinobatkan sebagai 'Pengusaha Muda Paling Berpengaruh Tahun Ini' bulan lalu.""Itu juga karena kamu nggak kalah unggul," jawab Alena sambil menutup dokumen itu. Tatapan mereka bertemu sejenak, lalu mereka menutup telepon bersamaan.Kedua tim berdiri saling berhadapan. Alena berkata dengan serius

  • ⁠Dari Luka Menuju Kebebasan   Bab 24 

    Tiga tahun yang lalu, Alena berjalan melewati jendela ini dengan mengenakan gaun pengantin dan penuh sukacita. Dia percaya bahwa yang menantinya adalah kehidupan bahagia.Kini, jika direnungkan kembali, pernikahan itu terasa bagaikan mimpi. Di mimpi itu, dia mencintai Ardian dengan rendah hati dan menanggung rasa sakit yang luar biasa. Ketika terbangun, yang tersisa hanya kenangan.Melihat Darian berbincang riang dengan ibunya, Alena menghela napas. Takdir benar-benar telah mempermainkannya. Namun, dia segera tersenyum lega. Berhubung telah kembali ke titik awal, dia bertekad untuk memperbaiki keadaan dan memulai lembaran hidup baru. Kali ini, dia akan hidup sepenuhnya hanya demi dirinya sendiri.Tanpa disadari, Alena telah tinggal di rumah lamanya selama seminggu. Berhubung mengkhawatirkan tambak mutiara di pulau, Alena dan Darian memutuskan untuk kembali melihatnya.Dalam beberapa hari yang mereka habiskan bersama, jarak yang memisahkan Alena dengan Anindya selama bertahun-tahun akh

  • ⁠Dari Luka Menuju Kebebasan   Bab 23 

    Di rumah lama Keluarga Pradita.Alena duduk di sofa sambil memandangi pemandangan di luar yang buram karena hujan. Tiga tahun telah berlalu. Sejak menikah dengan Ardian, dia hanya pernah mengunjungi rumah orang tuanya beberapa kali. Tadi, dia sudah menceritakan tentang perceraian dan seluruh pengalamannya selama menikah dengan Ardian kepada ibunya."Dasar biadab!" Anindya langsung bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya. Dia menelepon seseorang dan memberi perintah, "Segera tarik semua dana investasi kita dari Grup Baskara! Sekarang juga!" Anindya kembali ke sisi Alena dan berujar dengan berlinang air mata, "Lena, Ibu yang bersalah padamu .... Setelah ayahmu meninggal, aku tenggelam dalam kesedihan dan mengabaikanmu. Dulu, aku setuju kamu menikah sama Ardian karena kamu menyukainya. Aku kira ... setidaknya kamu akan bahagia ...." Alena menggeleng dan menggenggam tangan ibunya. "Itu bukan salah Ibu. Aku yang terlalu naif dan mengira cinta bisa menaklukkan segalanya." Tatapan Anindy

  • ⁠Dari Luka Menuju Kebebasan   Bab 22 

    Di ruang rapat, Ardian sedang mendengarkan laporan triwulan. Dia membolak-balik dokumen dengan tidak fokus. Matanya sesekali melirik ponselnya.Sejak Alena pergi, Ardian telah mengembangkan kebiasaan ini, seolah-olah dia akan menerima pesan dari Alena kapan saja. Namun, dia selalu kecewa."Selanjutnya ...." Suara asisten Ardian menariknya kembali ke kenyataan. Namun, pintu ruang rapat tiba-tiba dibuka dan terdengar suara nyaring nan kuat dari sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai.Ardian mendongak dan seketika membelalak tidak percaya ketika melihat siapa yang datang.Alena mengenakan setelan jas putih yang berpotongan rapi. Rambut panjangnya disanggul, sedangkan tatapannya terlihat tajam. Di belakangnya, terdapat sebaris penyidik yang mengikutinya datang.Salah satu dari mereka menunjukkan sebuah dokumen dan berujar, "Kami menerima laporan bahwa perusahaan ini terlibat dalam beberapa transaksi bisnis ilegal. Kami perlu selidiki masalah ini dan berharap kalian bisa bekerja sama.

  • ⁠Dari Luka Menuju Kebebasan   Bab 21 

    Ardian tentu saja tidak akan menyerah begitu saja. Akan tetapi, dia memilih untuk menghormati keinginan Alena dan akhirnya naik ke kapal yang akan meninggalkan pulau itu.Alena mengira kehidupannya di pulau ini akan kembali damai. Namun, sebelum dia tertidur, Linda bergegas ke atas dengan terengah-engah dan pucat."Gawat! Tambak mutiara ... tambak mutiaranya sudah dirusak!""Apa?" Raut wajah Alena langsung berubah drastis. Dia bergegas berlari ke depan jendela. Dari sudut ini, dia bisa melihat tambak mutiara di teluk. Pada saat ini, permukaan air dipenuhi benda-benda putih yang mengapung. Semuanya adalah jaring tambak yang robek dan kerang mutiara yang berserakan.Hati Alena langsung tenggelam. Tambak mutiara adalah sumber pendapatan utama Pulau Isla. Keluarga-keluarga di pulau ini bergantung pada tambak itu untuk bertahan hidup."Ini ulah siapa?" Di sisi lain, Darian juga sudah mendapat kabar dan bergegas datang.Linda mengikutinya dan menjawab dengan suara gemetar, "Kata penjaga ma

  • ⁠Dari Luka Menuju Kebebasan   Bab 20 

    Namun, sebuah kekuatan yang nyata tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangan Ardian dan menariknya ke permukaan dengan kuat.Dalam keadaan linglung, Ardian melihat wajah yang samar. Itu bukan Alena, melainkan wajah yang sama sekali tak dikenal.Byur! Ardian ditarik keluar dari air dan merasa seperti terlahir kembali. Dalam keadaan yang sepenuhnya sadar, Ardian mendapati dirinya berada di ruangan yang tak dikenalnya. Dia turun ke lantai bawah dan melihat sosok Linda di dapur.Linda menatapnya, tetapi hanya menunjuk dingin ke arah makanan di atas meja sebelum berbalik untuk pergi. Ardian memanggilnya, tetapi bukan untuk bertanya kenapa Linda ada di tempat ini."Bi Linda, kamu lihat Lena? Di mana dia?" Linda melepas celemeknya dan menjawab dengan mata penuh keluhan, "Lepaskanlah Lena. Keadaannya sekarang sangat baik. Bertemu denganmu nggak akan baik untuknya." Seusai berbicara, Linda membanting pintu dan pergi."Lena pasti ada di sini! Aku jelas-jelas melihatnya!" Ardian bergegas kelua

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status