Semua Bab Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA): Bab 21 - Bab 30
91 Bab
Bab 20
Hari pemberangkatan tiba. Tiara yang tak masuk dalam rombongan melihat teman-tenannya yang berjumlah sepuluh orang naik ke atas truk biru milik angkatan laut bersama beberapa alumni, pembina pramuka, serta dua dewan guru laki-laki dan perempuan. Tenda dan peralatan memasak juga turut dibawa dalam rombongan. Mereka sumringah, antusias, bahkan terkesan tak sabar untuk secepatnya berangkat. Lambaian tangan serta canda tawa menjadi pemanis saat mobil itu berderu, bergetar, lalu berjalan meninggalkan tempat. Tak ada rasa iri sedikit pun dalam diri Tiara. Keberangkatan mereka seolah akan membawa pulang hal yang tak diinginkan nantinya. Sesampainya di rumah setelah pulang sekolah, Tiara menceritakan tentang burung hantu yang ia lihat tempo hari di atap salah-satu kelas di sekolahnya. Pun dengan keterkaitan kemunculan burung hantu itu dengan  keberangkatan teman-temannya ke kemah "Jangan kasih tahu siapa-siapa terkait hal itu Tiara. Biarkan itu me
Baca selengkapnya
Bab 21
Hujan tak kunjung reda meski telah menguyur berjam-jam. Sekarang pukul setengah delapan. Kondisi sekolah tak lagi sepi. Siswa-siswi mulai berdatangan. Bermantel, menggunakan payung, bahkan ada pula yang nekat menerobos hujan. Akibatnya baju mereka sedikit basah. Rata-rata siswa yang datang tak memakai sepatu. Mengingat kondisi lapangan sekolah yang selalu banjir sepergelangan kaki jika hujan, memakai sandal menjadi pilihan terbaik. Tiara memilih mengamanti hujan secara langsung. Duduk di depan kelas. Bangku panjang dari semen yang dilapisi keramik. Setiap kelas memiliki bangku ini untuk tempat duduk kala jam istirahat. Dia tidak sendiri, beberapa teman lain pun di sana, menikmati waktu kosong sepertinya. Pembelajaran belum dimulai dan sengaja diundur karena dewan guru banyak yang terjebak hujan. Tiara menoleh. Mendapati Santi dan Aisyah tengah mengobrol santai. Obrolan tentang rombongan yang akan pulang siang ini. Mereka tak sabar mendengar cerita keseruan
Baca selengkapnya
Bab 22
Di tengah pengarahan itu, tiba-tiba beberapa siswi jatuh pingsan. Lalu siswi lain berteriak histeris. Di susul tawa yang menggelegar. Korban kesurupan yang tadinya hanya lima orang kini bertambah. Siswa siswi yang beberapa saat lalu mulai dapat dikondisikan kembali panik. Kocar-kacir menjauhi teman-teman yang mengalami kesurupan. Komat- kamit merapal doa perlindungan untuk diri sendiri. Tiara mencoba membuat tameng pertahanan. Jelas, dia melihat mereka berlarian masuk ke dalam tubuh teman-temannya. Dia mencoba tak mengamati, seolah-olah dia tak dapat melihat kehadiran mereka. Doa yang diajarkan bapak tak henti terapalkan baik di lisan dan hati. Sesungguhnya, tak ada penangkal paling mujarab kecuali doa kepada sang pemilik seluruh Makhluk. Ketika situasi tak kunjung membaik, kepala sekolah membuat keputusan untuk memulangkan seluruh siswa. Mengantisipasi agar jumlah siswa yang mengalami kesurupan tidak terus bertambah. Berbondong-bondong mereka
Baca selengkapnya
Bab 23
"Ada kesalahan yang telah dilakukan anak-anak di dalam rumah yang bukan milik mereka. Saya tidak tahu kesalahan apa, yang jelas mereka murka. Mereka meminta pembersihan. Dan ... pembersihan macam apa yang mereka inginkan, itu yang masih saya cari tahu. Saya tidak bisa mendapatkan hasil apapun hari ini. Karena mereka bungkam. Bukan saya menakut-nakuti atau membuat tidak tenang, tetapi bisa saja mereka akan mengganggu lagi besok. Berhati-hati dan jangan biarkan siswa dan siswi yang kerasukan hari ini pikirannya kosong."Perkataan sesepuh desa itu terpatri di ingatan. Mengganggu konsentrasi belajar. Pun membuatnya tak bisa tenang. Sorot mata Tiara tak henti melirik ke arah Vera. Gadis itu duduk di seberang baris pertama. Sejauh ini tak ada tanda-tanda Vera akan mengalami kerasukan. Namun, mengingat kejadi kemarin, Vera mulai menunjukkan tanda-tanda kerasukan ketika jarum jam menunjukkan pukul sembilan. Sekarang masih pukul delapan. Apakah akan terjadi di jam yang sama?Ti
Baca selengkapnya
Bab 24
Kian hari kondisi makin memburuk. Jumlah siswa dan siswi yang mengalami kerasukan terus bertambah. Hari ini hari ke tujuh, dan di hari ini pun kerasukan massal itu masih terjadi. Tempat penyembuhan pun dialihkan dari yang awalnya di mushala menjadi di aula. Jam pelajaran di biarkan kosong.  Siswa dan siswi di beri tugas di dalam kelas. Tak dibiarkan melihat proses penyembuhan atau keluar kelas. Jam sekolah tak sampai siang. Ketika bel istirahat berbunyi mereka di perbolehnkan pulang.  Tiara mendatangi meja ketua kelas untuk meminta izin ke kamar mandi. Sedari tadi dia menahan buang air kecil. Awalnya ketua kelas tak mengizinkan. Pesan dari wali kelas untuk tidak membiarkan siapa pun keluar kelas tanpa tujuan penting. "Tapi ini penting. Aku sudah menahannya sejak tadi. Lagi pula kamar mandi hanya di samping kelas ini." "Ya, sudah ... cepat! Jangan lama-lama." Tiara mengangguk lantas bergegas
Baca selengkapnya
Bab 25
Pagi itu semua tampak berbeda. Langit kelabu hanya di daerah sekolah. Udara mendadak dingin menusuk tulang. Benar musim hujan, tetapi suasana yang tercipta sungguh berbeda. Matahati malu-malu menerangi muka bumi. Langit memuran sama seperti suasana yang menyelimuti. Tikar-tikar digelar memenuhi lapangan. Pengeras suara yang jumlahnya dua buah berukuran kecil berdiri di sudut kanan dan kiri lapangan. Langkah kaki berderap. Tikar tersikap sana-sini. Tubuh-tubuh kecil duduk gelisah. Mukenah membalut tubuh mereka. Warna-warni layaknya pelangi. Baju putih bersih berkeliteran. Menara-menara hitam membungkus kepala. Serasi dan teratur. Baris depan di isi siswa dan baris kedua diisi siswi.  Berhadapan dengan mereka dewan guru serta ustadz yang diundang langsung pihak sekolah. Tiara duduk paling depan baris perempuan. Mukena katun berenda putih polos pemberian Sri dengan bangga dia kenakan. Mukenah itu baru, aroma mesin masih menguar. Di sampingnya Vera dan Aisyah mengenaka
Baca selengkapnya
Bab 26
Tiara tak sendiri menahan tubuh Vera yang meronta-ronta sekaligus ketawa cekikikan. Ada Aisyah dan Santi. Mereka membantu menahan Vera juga. Kondisi kian mencekam ketika siswi yang tak mengikuti kemah mengalami kesurupan juga. Anehnya siswi itu berusaha menyerang siswi yang mengalami kerasukan pertama. Seolah mereka dari dua kubu berbeda dan saling bermusuhan. Istighosah sempat terhenti. Beberapa siswi yang ketakutan, berlari meninggalkan tempat. Mereka menjauh, bahkan masuk ke dalam kelas. Kondisi kian panik, saat salah satu dewan guru perempuan pun tiba-tiba limbung lantas menangis sesenggukan. Situasi makin tak bisa dikendalikan. Melalui pengeras suara, sesepuh desa meminta seluruh siswa kembali. Rasa takut akan menjadi korban kerasukan selanjutnya mencengkeram mereka, tetapi doa merekalah yang akan menutus akar permasalahan. Mereka harus kembali. Menjalinkan doa. Menyelasaikan mantra penangkal agar tak ada lagi kerasukan setelah ini.Perlahan namun pas
Baca selengkapnya
Bab 27
Hanya dua suara yang bisa Tiara dengar. Sesepuh dan makhluk itu. Tiara tahu apa tujuannya datang. Gadis itu pun tahu permintaan apa yang dibuat makhluk itu. Permintaan itulah yang akan memutus rantai kesurupan masal ini. Tak akan ada lagi gangguan. Makhluk-makhluk yang merasuki tubuh siswa dan siswi tak akan sekalipun datang lagi. Perlahan Tiara memejamkan mata.  Larut dalam komunikasi sesepuh desa bersama makhluk yang mengaku dirinya penguasa perkemahan yang siswa-siswi datangi."Assalamualaikum, Nyi?"Salam itu tak terjawab. Makhluk yang dipanggil Nyi hanya bergumam. "Mengapa, Nyi sampai datang kemari. Bukankah saya sudah meminta maaf mewakili anak- anak?""Ora iso (tidak bisa)!" jawabnya ketus."Mulo, menopo Nyai? Wonten syarat ingkang kurang (Kenapa, Nyai? Ada syarat yang kurang?)"Sopo sing dosa, kudu nyuceni dusone. Duduk uwong liyo."( Siapa yang berbuat dosa harus membersihkan dosanya, bukan orang lain)"Inggeh, Nyai
Baca selengkapnya
Bab 28
Ya, sekolah Vera baru pertama kali mengutus delegasi. Jika bisa menyabet pemenang, pasti sangat diperhitungkan. Sembari menikmati makan siang sebelum kegiatan pembukaan di buka, mereka mengadakan rapat kecil untuk menyusun strategi agar bisa menjadi pemenang di setiap misi. Persiapan harus matang. Tidak boleh memalukan.Ekstrakulikuler pramuka di sekolahnya pun, merupakan ekstra unggulan. Jadi, membawa penghargaam dan status sebagai pemenang wajib hukumnya. Aaplagi jika mereka berhasi menyabet juara, kesempatan naik tingkat dan dapat menjadi pembimbing teman-teman lain di sekolah terbuka lebar, kapan lagi seangkatan, tingkatan mereka lebih tinggi. Pikiran itu memenuhi otak mereka masing-masing.Hari pertama terlalui, tinggal dua hari lagi. Malam puncak berada di malam kedua, sebelum kemudian berkemas di keesokan harinya. Penjelajahan dilakukan setelah beberes. Lalu, setelah penjelajahan, makan siang yang disediakan panitia, sesi kenang-kenangan, penyebutan
Baca selengkapnya
Bab 29
"Aku melihat seorang nenek-nenek di belakang pohon itu, Ve," ujarnya sembari menunjuk pohon tak terlalu besar yang berada di sisi kiri tak jauh dari tempat mereka. "Mana? Nggak ada apa-apa itu di sana. Coba kamu lihat. Nggak ada apa-apa, Sar.""Nggak. Nggak. Aku nggak mau lihat. Takut. Ayo, deh, jalan lagi aja," ujarnya, sembari berbalik badan. Kemudian meminta perjalanan dilanjutkan. Tak ada yang berani bertanya lagi terkait dengan apa yang telah dilihat Sarah. Entah untuk membuat Sarah tak bertambah takut, ataukah mereka sendiri pun takut. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain terus berjalan untuk mencari rute yang benar. Pohon itu menjulang tinggi. Seakan mengapit dua jalan. Rombongan mereka memutari pohon itu kemudian mengambil jalan yang berlawanan dari jalan yang mereka ambil sebelumnya. Dan benar saja. Tak lama jalan setapak itu mereka temukan. Dari kejauhan tampak rombongan lain yang sudah berjalan jauh di depan mereka. Rasa se
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
10
DMCA.com Protection Status