Lahat ng Kabanata ng SWEET CAKE: Kabanata 91 - Kabanata 100
132 Kabanata
What A Surprise!
Lea memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri, melihat jalanan yang tak begitu ramai dengan lalu lalang kendaraan. Ya, Lea tahu ini adalah jalan menuju dermaga. Namun dalam pesannya, Zen mengatakan bahwa pria itu akan pergi untuk beberapa hari ke depan. Mengapa tiba-tiba Arthur mengatakan Zen mengubah rencana? Lea merasa was-was dengan apa yang akan terjadi pada dirinya. Dia percaya Arthur, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa Arthur juga berbalik melawan Zen, bukan? Sungguh, pikiran Lea saat ini sudah tidak karuan.Dari kaca spion, Arthur dapat membaca gelagat Lea. Pria itu memaklumi apa yang ditakutkan oleh Lea karena apa yang dialami wanita itu beberapa bulan terakhir ini memang sangat mengerikan. Dia lantas mengambil sebuah ponsel dari dashboard dan mengulurkannya ke arah Lea.“Anda dapat menghubungi Tuan Zen menggunakan ponsel ini, Nyonya,” kata Arthur.Lea memalingkan wajah ke depan, lalu pandangannya jatuh pada benda pipih yang ada di tangan Arthu
Magbasa pa
Bermain Singkat
Sebelum Zen datang, Lea berinisiatif untuk mengganti pakaian terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan Arthur, apa pun alasannya … Zen bisa saja murka jika melihat dirinya memakai mantel milik pria lain sementara gaun yang dia kenakan koyak. “Dia bisa membunuhku jika tahu apa yang terjadi di dalam taksi tadi,” gumam Lea. Namun sesaat kemudian dia menahan napas sembari menipiskan bibir. “Aish … bodoh! Tentu saja dia tahu. Pengkhianat itu pasti tak hanya melapor pada Arthur,” gerutunya. Siapa lagi pengkhianat yang dia maksud jika bukan Matt? Wanita itu menilik sekitar, mencari keberadaan lemari pakaian di kamar tersebut. Namun dia tidak menemukan apa pun selain ornamen-ornamen khas yang berhubungan dengan kapal dan laut. “Di mana aku bisa menemukan pakaian-pakaian itu?” tanya Lea pada dirinya sendiri. Sembari menggigit bibir, Lea kembali berjalan menyusuri setiap sudut kamar tersebut. “Pasti ada sesuatu di sini. Pintu rahasia mungkin?” gumamnya sembari me
Magbasa pa
Makan Malam Romantis
Berbagai jenis pakaian dapat Lea temukan di dalam walk in closet, persis seperti ketika dirinya sedang berada di mansion.“Kau sungguh-sungguh mempersiapkan semua ini, Zen?” Lea yang tengah mengenakan gaun selutut bermotif bunga krisan, menoleh sekilas pada Zen yang juga tengah mengenakan kemeja berwarna biru tua.“Haruskah aku menjawabnya?” Zen tersenyum miring.Pria itu telah selesai berpakaian, lalu dia berjalan ke arah Lea yang hanya berjarak sekitar tiga langkah darinya. Kemudian pria itu memeluk istrinya dari belakang, meletakkan dagu di pundak sang istri.“Kau yakin tidak akan kedinginan dengan gaun seperti ini?” tanya Zen, memandang wajah sang istri melalui pantulan cermin di hadapan mereka.Lea terkekeh lalu menyentuh wajah Zen seraya membalas tatapan suaminya di dalam cermin.“Jika aku kedinginan, aku bisa datang padamu dan mencari kehangatan dalam pelukanmu, Honey,” ucap wanita itu d
Magbasa pa
Sebuah Firasat
“Selamat pagi,” sapa Zen ketika Lea menggeliat dan membuka sedikit kelopak matanya.Pergulatan panas semalam menyisakan rasa lelah yang teramat sangat hingga Lea betah meringkuk di bawah selimut dengan tubuh polos. Wanita itu terlalu nyaman berada di sana, sampai dia terbangun di saat matahari sudah bergerak semakin tinggi. Rasa lelah akibat bercinta dengan sang suami membuatnya ingin menghabiskan waktu lebih banyak untuk tetap berada di atas tempat tidur. Bergelung di bawah selimut seharian terdengar seperti sebuah ide yang brilian untuk memulihkan tenaga sebelum Zen kembali “menghajarnya” tanpa ampun.“Kau sudah bangun?” tanya Lea dengan suara serak yang semakin terdengar serak karena baru bangun dari tidur. Wanita itu menarik dan merapatkan selimut hingga batas leher.Zen berjalan ke arah ranjang dengan sebuah cangkir keramik di tangannya. Aroma kafein yang begitu harum, menyapa indera penciuman Lea selagi Zen mengikis jara
Magbasa pa
Yacht
Keterdiaman Zen semakin memperbesar tanda tanya di benak Lea. Untuk beberapa saat mereka sama-sama diam, bertahan dengan ego masing-masing. Lalu Zen menarik kedua sudut bibirnya ke atas, menimbulkan suara dengkusan pelan.“Kemarilah,” pinta Zen seraya beringsut merapatkan diri dengan Lea.Pria itu menghela napas sembari mendekap sang istri dan menciumi kepalanya. “Kau perlu sedikit santai, Sweet Cake. Terlalu tegang tidak akan baik untuk kesehatanmu,” ucap Zen.Lea menengadah, melihat wajah sang suami dari bawah. “Jangan mengalihkan pembicaraan, Zen. Apa menurutmu aku sebodoh itu?” tanya Lea.Zen tidak mengira kalau Lea sudah sepenasaran itu terhadap masalah yang dia hadapi. Namun ini belum saatnya bagi Lea untuk mengetahui terlalu jauh tentang urusannya, bahkan mungkin Zen tidak akan membiarkan Lea terlalu jauh terlibat. Ah, salah! Zen tidak akan pernah membiarkan wanita itu terlibat dalam segala urusan yang berhubunga
Magbasa pa
Pertarungan Sampai Mati
“Merindukanku, Tuan Aberdein?” Darah dalam tubuh Zen rasanya mendidih melihat senyum lebar dari pria yang sedang memutar haluan superyacht keluar dari jalur yang semestinya itu. Tatapan elangnya sama sekali tak beralih dari sosok tersebut. “Bagaimana kabarmu?” tanya pria itu, yang tak lain adalah Brewster. Zen mengatupkan bibir rapat-rapat, sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan tersebut meski di dalam hatinya mnyimpan pertanyaan besar yang membuat hasrat membunuhnya kembali terpanggil. Bagaimana bisa Brewster berdiri di hadapannya dalam keadaan baik-baik saja? Memang terdapat bekas luka tambahan di wajahnya, yaitu bekas luka bakar yang memanjang di sisi kiri wajah pria itu. Masih tampak memerah, dan bisa dipastikan bahwa luka itu belum lama tertanam di sana. “Terkejut melihatku masih hidup?” Brewster merentangkan kedua tangan dengan senyum lebar yang semakin membuat Zen ingin segera menghabisinya. Menarik napas pelan, mengontrol emosi ya
Magbasa pa
Live Show untuk Zen
Sayup-sayup suara tawa seseorang dan suara gelas yang beradu menyapa indera pendengaran Zen. Rasa sakit yang menusuk-nusuk kepala membuat pria itu tak dapat menggerakkan kelopak mata yang memejam. Tak hanya kelopak mata saja yang terasa sulit untuk digerakkan, sekujur tubuh Zen pun tak dapat bergerak. Tangan dan kaki pria itu terasa kebas. Rasanya seperti diikat dengan sangat kuat menggunakan tambang. Diikat? Ah, Zen baru ingat jika di superyacht itu sedang ada dua bajingan yang berusaha untuk membunuhnya. Tidak heran jika dirinya kini berakhir dengan tangan dan kaki terikat. Dia bisa merasakan kedua tangannya saling menyentuh. Itu berarti kedua tangannnya tidak diikat pada sesuatu, tapi hanya diikat menjadi satu di belakang tubuhnya. Oh, bukan! Lebih tepatnya diikat di belakang punggung kursi. Tidak salah lagi. Biarpun tak melihat secara langsung, Zen tahu jika dirinya tengah duduk dan diikat pada sebuah kursi. Kedua kakinya pun tak dapat bergerak karena ter
Magbasa pa
Berkorban
Hening, hanya suara napas dan degup jantungnya sendiri yang mampu didengar oleh Lea. Wanita itu mengerjap pelan, seperti sedang berada dalam slow motion. Otaknya terasa kosong untuk beberapa saat. Lalu satu persatu suara yang menghilang itu kembali memenuhi indera pendengaran Lea. “Zen!” serunya. Panik dan takut bercampur menjadi satu dan berhasil mengoyak benak Lea hingga hancur berkeping-keping. Melupakan perintah untuk kembali ke stateroom dan menghubungi Arthur, Lea berbalik. Wanita itu memutar langkah, berlari menaiki anak tangga menuju deck dengan tergesa-gesa. Begitu sampai di ujung tangga tertinggi, Lea langsung memutar pandangan ke sekitar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Beberapa meter darinya, Lea dapat melihat Zen yang menekuk lutut dengan kepala menunduk. Suara erangan pria itu juga dapat didengar oleh Lea, menunjukkan bahwa ada rasa sakit yang teramat besar, yang dia rasakan. Sebuah peluru baru saja menembus paha kiri Zen. “Zen!” seru Lea de
Magbasa pa
Bersimbah Darah
Perasaan bersalah menggerogoti hati Lea kala melihat suaminya berduel dengan Brewster. Lea tahu betul Brewster itu pria seperti apa. Tubuhnya seperti besi, seolah tak mempan dipukul. Tak perlu bertanya dari mana Lea mengetahuinya, karena wanita itu pernah mencoba sendiri. Dia pernah memukul Brewster menggunakan balok kayu, tapi pria itu tetap bergeming dan justru balok kayu itu yang patah.“Maafkan aku, Zen … maafkan aku,” lirih Lea sambil mengatupkan kedua telapak tangan dan menempelkan ujung jemarinya ke bibir. Rapalan doa terus dia ucapkan dalam hati untuk kemenangan sang suami. Wanita itu bahkan terus menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi.Beberapa kali Lea memejam, tak sanggup melihat berbagai macam tendangan dan pukulan yang mendarat di tubuh Zen, hingga berkali-kali pula pria itu tersungkur di lantai. Teriakan dan erangan kesakitan terus terdengar, baik dari mulut Zen maupun Brewster. Meski dengan kaki dan tangan yang terluka, nyat
Magbasa pa
Duka dan Lara
Hancur.Tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada kehilangan orang yang sangat dicintai. Terlebih lagi jika orang itu harus meregang nyawa karena menyelamatkan orang terkasih. Begitupun yang dirasakan Lea saat ini. Melihat Zen terkulai lemas dalam pangkuannya sungguh meremukkan hati. Jika bisa mengulang waktu, dia tidak akan melakukan tindakan sok berani dan membiarkan Zen memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dari Bram dan Brewster. Namun menyesal pun tak akan mengubah keadaan yang terjadi.Seluruh tubuh Lea terasa lemas, seolah tak bertulang. Dia meraung, tidak siap jika Zen harus meninggalkannya. Wanita itu bersimpuh seraya mendekap kepala Zen, menjerit, meneriakkan nama pria itu. Sekeras apa pun dia mengguncang tubuh sang suami, nyatanya pria itu tak jua membuka kelopak mata.“Zen! Buka matamu, Sayang …. Jangan tinggalkan aku …,” rintih Lea yang nyaris tak dapat bersuara lagi.Siapa pun yang mendengar tangisnya pasti t
Magbasa pa
PREV
1
...
89101112
...
14
DMCA.com Protection Status