Lahat ng Kabanata ng Wonderstruck: Kabanata 11 - Kabanata 20
281 Kabanata
Ode to My Family [2]
“Mending nggak usah ngomong sama Thea kecuali ada di posisi antara hidup dan mati. Kadang, disapa baik-baik malah bikin dia punya bahan untuk ngeledek kita,” saran Lita ketika aku baru pindah ke Rumah Borju. Lita adalah orang pertama yang memperkenalkan diri dan mendatangi kamarku.Emosiku memang kadang masih gampang terpancing, seperti saat diprovokasi oleh Marco dan Thea. Walau saat ini aku sedang berjuang untuk menjadi orang yang lebih santai dan sabar. Akan tetapi, sebenarnya aku lebih dewasa dibanding usiaku yang sesungguhnya. Karena faktor keluarga dan lingkungan yang membentukku, kisah klise sebagai produk keluarga broken home.Ketika orangtuaku memutuskan bahwa perceraian adalah pilihan terbaik yang mereka punya, aku baru berusia sepuluh tahun. Tadinya, aku memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Papa. Perceraian itu membuat duniaku berubah drastis. Semua yang kukenal, runtuh dan lenyap seketika.Dulu, aku berharap bisa tinggal be
Magbasa pa
Raise Your Glass [1]
  Seperti tebakanku, berita tentang peristiwa di acara ulang tahun Vicky itu tersebar dengan kecepatan yang mengerikan. Lebih cepat dibanding epidemi. Lalu dibumbui hingga menjadi cerita yang dramatis.Hasilnya, beredar versi seru yang membuatku geleng-geleng kepala, antara tak berdaya sekaligus kesal. Tidak tahu harus marah pada siapa saat mendengar bahwa konon aku cuma mengenakan bra dan celana dalam usai membuka dan melempar gaun ke wajah Thea. Juga Marco yang konon mendorongku hingga terjengkang ke tanah karena tak suka melihatku yang sengaja menggodanya. Hah? Yang benar saja!Gosip yang beredar memang sinting. Namun aku  memilih untuk tetap waras. Caranya? Mengabaikan semua rumor, menebalkan muka, dan berjalan di kampus dengan dagu terangkat. Seakan bukan aku yang sedang dijadikan bahan olok-olok.“Padahal, ada begitu banyak orang yang ngeliat drama kemarin. Ada juga yang merekam pakai po
Magbasa pa
Raise Your Glass [2]
“Kalau memang pengin jadi bankir, kamu harus lebih sukses dari Mama ya, Nef. Harus bisa jadi kepala cabang sebelum berumur tiga puluh tahun,” canda Mama.“Kalau Uncle Eddie yang punya bank, aku yakin bisa memenuhi harapan Mama,” balasku sambil tertawa. “Mungkin sebelum umurku tiga puluh tahun, aku udah pensiun.”Selama enam semester yang sudah berlalu, aku sudah bekerja cukup keras. Aku selalu mengambil minimal dua puluh dua SKS, kecuali semester pertama. Itu pun karena semua mahasiswa baru diwajibkan hanya boleh mengikuti kuliah dengan maksimal dua puluh SKS. Itu aturan yang berlaku di semua fakultas yang ada di Universitas Dwi Darma.“Kenapa sih getol maksimal belajarnya, Nef,” tanya Lita beberapa waktu lalu. “Memangnya ada yang dikejar? Kamu mau cepat nikah atau apa?”Sebenarnya, pertanyaan senada pernah diajukan oleh temanku yang lain. Jujur, aku malah heran karena mereka mempertanyakan keser
Magbasa pa
Animal Instinct [1]
 Setelah itu, aku mengalihkan perhatian pada Julie yang mencerocos tak jelas. Kalimat beraroma makian meluncur dari bibirnya dengan mulus. Cewek itu sibuk membersihkan wajah dengan tisu. Aku maju selangkah dan agak membungkuk di depan Julie. Tak ada rasa gentar sedikit pun. Apalagi malu. Walau seisi kantin sedang memperhatikan kelakuanku.Toh, berkelakukan baik pun tetap saja menjadi korban dari orang-orang tukang siksa seperti Julie dan teman-temannya. Jadi, kenapa tidak sekalian saja aku bersikap menyebalkan? Supaya lain kali Julie berpikir sejuta kali jika ingin membuat gara-gara denganku. Karena aku tak akan diam saja dan membiarkan Julie atau yang lain berlaku seenaknya.“Ini cuma peringatan aja, Panjul! Aku nggak akan diam aja kalau kamu sok jagoan lagi. Salah besar kalau kamu milih aku jadi korbanmu. Aku nggak takut sama kamu, tau. Besok-besok kalau masih bikin ulah, mungkin aku akan nyiram mukamu pakai air keras. Kalau nggak percaya, silakan
Magbasa pa
Animal Instinct [2]
Kalimat bernada simpati itu membuatku tergelak. Aura ada benarnya. Julie dan Thea adalah mahasiswa yang menuntut ilmu di fakultas hukum. Akan tetapi, perilaku mereka sama sekali tidak menunjukkan bahwa keduanya taat pada aturan yang berlaku. Minimal norma di masyarakat awam. Sejak kapan merisak seseorang menjadi kebiasaan yang berlaku umum?“Sebenarnya, apa sih yang terjadi di Hotel Rubidium kemarin itu? Aku nggak percaya sama gosip. Aku pengin dengar sendiri dari kamu,” cetus Sarah dengan suara rendah.“Ah, males ngomongin soal itu. Udah lewat,” elakku. Tidak ada jaminan bahwa aku akan mendapat keuntungan karena menceritakan apa yang terjadi menurut versiku. “Aku malah pengin lupa. Karena cuma bikin mangkel aja. Lagian, apa kalian nggak ngeliat video-videonya? Kemarin itu, aku udah minta sama semua yang menonton kami, supaya merekam drama yang kubuat. Supaya bisa keliatan kronologisnya,” candaku.“Aku sempat nonton sih,
Magbasa pa
Vulnerable [1]
Aku mengernyit. Jujur saja, aku keheranan karena Levi berniat mengekoriku ke Rumah Borju. “Kamu nggak punya maksud terselubung, kan? Bukan pura-pura baik tapi ujung-ujungnya malah ngerjain aku?” tanyaku terus terang. Kalimatku malah memicu tawa geli Levi.“Wahai Nefertiti yang kata Cliff pernah jadi nama permaisuri salah satu Firaun, aku bukan Thea. Aku nggak punya niat jahat,” akunya setelah tawa cowok itu reda. “Nggak semua orang itu punya niat jahat atau cuma pura-pura baik doang. Jangan semua orang dipukul rata.”Aku tidak langsung percaya. Pengalaman pahit baru saja kualami beberapa hari silam. “Maaf ya, levi. Aku kan nggak betul-betul kenal sama kamu. Wajar kalau agak curiga, kan?”“Wajar, sih,” Levi setuju. Kepalanya terangguk. “Apalagi kemarin itu pengalaman yang nggak dialami oleh semua orang. Super drama dan bikin ngeri juga.”Aku menatap Levi sungguh-sungguh sembari mengaba
Magbasa pa
Vulnerable [2]
“Ya ampun, ketawanya masih lanjut aja. Tiba-tiba aku ngerasa jadi pelawak,” ucap Levi setelah gelakku tak juga berhenti. Kami sudah tiba di depan tempat indekosku.Aku mendorong pagar dengan sisa senyum masih merekah di bibir. Setelah menepi agar Levi bisa lewat, aku juga menyapa satpam yang berjaga. “Pak, ini teman sekampus saya. Katanya bukan penjahat dan nggak pernah melanggar hukum,” gurauku.Levi memelototiku tapi mengangguk sopan pada satpam yang bertugas. Aku tertawa geli melihat ekspresi cowok itu. Ntah kenapa, aku pun tertulari keisengannya barusan.“Kamu duduk di sini dulu, ya?” Aku menunjuk bangku beton yang berjarak beberapa langkah dari pos satpam. “Aku ambil jaketnya dulu, ada di kamar. Sebentar, kok.”“Oke. Eh, aku boleh minta minum, nggak? Air putih aja. Haus, nih!” Levi menunjuk ke arah lehernya. “Yang dingin, kalau ada.”Aku hanya mengangguk sebelum berlalu me
Magbasa pa
No Need to Argue [1]
Aku tahu bahwa perundungan itu memang nyata. Banyak yang mengalaminya di dunia ini. Korbannya tak pandang bulu, semua orang bisa menjadi sasaran. Mulai dari jenis yang ringan hingga berat. Efeknya pun beraneka karena tak semua orang memiliki daya tahan yang sama. Ada yang bisa menghadapi penindasan dengan baik. Ada pula yang sampai mengalami depresi atau berujung dengan bunuh diri.Mengerikan, tapi memang itu yang banyak terjadi, kan? Selalu ada orang yang sangat suka menyiksa manusia lain. Mungkinkah mereka ini memiliki masalah mental atau problem lain? Mengapa bisa begitu senang jika membuat orang lain merana? Seakan penderita para korbannya menjadi energi tambahan yang menceriakan dunia para perisak.“Penampilanmu norak, tau! Kenapa sih kamu bisa tinggal di sini? Memangnya kamu sanggup bayar biaya kos di sini?” Itu contoh kalimat jahat yang pernah dilemparkan padaku oleh Thea. Kala itu, aku baru pindah selama beberapa hari di Rumah Borju.“S
Magbasa pa
No Need to Argue [2]
 Jaket itu kembali tertinggal. Setelah salat Zuhur yang kulakukan dengan lumayan cepat, mengganti sandal, dan memasukkan dompet serta ponsel ke dalam tas selempang, aku buru-buru menghampiri Levi. Cowok itu langsung berdiri dan berjalan menuju pintu pagar. Aku mengikuti tanpa mengingat kantong plastik berisi jaket yang masih tergeletak di atas meja.Seperti yang dijanjikan Levi, cowok-cowok yang tergabung di tim basket memang menjadi objek pemandangan yang menarik. Selain tinggi mereka minimal 170 sentimeter, umumnya memang memiliki tampang yang enak dilihat. Yuma langsung mengajakku mengobrol dengan gayanya yang cuek tapi ternyata ramah. Cliff lebih banyak disibukkan oleh ponselnya. Entah berapa kali cowok itu bicara di gawainya atau sekadar mengetikkan sesuatu.“Kami rutin latihan seminggu dua kali, Rabu dan Sabtu. Anak-anak jarang pulang ke rumah karena waktunya mepet. Jadi, udah pasti bawa baju ganti,” urai Levi.Seperti kata Levi, m
Magbasa pa
Vertigo [1]
Seperti hari Sabtu yang lain, tidak ada aktivitas istimewa yang kulewatkan secara khusus. Setelah berpisah dengan Yuma, Levi, dan si Suami Siaga yang membuatku makin kesal saat memikirkannya, aku kembali ke Rumah Borju. Aku langsung mandi begitu tiba di kamar karena tidak betah dengan tubuh yang terasa lengket.Dulu, Mama selalu bercerita tentang kota Pematangsiantar yang berhawa sejuk. Saat ini, kondisinya sudah jauh berbeda. Paduan dari pemanasan global, jumlah penduduk yang terus meningkat, serta polusi yang kian tinggi, membuat kotaku kian panas saja. Jika tak ada kegiatan yang mengharuskanku keluar rumah, aku lebih suka berada di kamar yang nyaman.“Kamu kok bisa betah di kamar sih, Nef? Keluar paling-paling cuma untuk ke kampus atau ke toko loak,” komentar salah satu temanku di tempat indekos lama.“Mau bagaimana lagi? Kamarku istanaku,” candaku. “Lagian, aku nggak suka keluyuran tanpa tujuan. Kalau keluar kamar, harus udah ta
Magbasa pa
PREV
123456
...
29
DMCA.com Protection Status