All Chapters of Malam Pertama yang Tertunda: Chapter 21 - Chapter 30
80 Chapters
Bab. 21. Setelah Malam Pertama
  Nafisa bangun dari tidurnya, mengerjap-ngerjap sebelum membuka mata perlahan. Setelah menyadari ada di mana ia sekarang, dadanya naik-turun mengingat betapa hasrat teramat dahsyat di tengah hujan lebat semalam. Tidak ada yang terlewat, semua berputar dalam ingatan, selayaknya sebuah rekaman film.Bibir tipisnya melengkung manis kala melihat Arzan yang masih tertidur pulas. Lelaki di sampingnya itu pasti merasa lelah. Sampai tak sadar, sudah berulang kali hidungnya dimainkan jemari lentik Nafisa. Sadar akan waktu yang terus berjalan, Nafisa menepuk-nepuk pipi Arzan sampai terbangun. Lelakinya itu mengejap, langsung membuka mata.“Sayang, dah bangun?” Arzan mengusap wajahnya kasar sambil menghela napas perlahan.“Huum. Bentar lagi Subuh.” Nafisa menyeringai. “Aku mau mandi, tapi malu.”“Kenapa? Ibu sama ayah belum bangun, kayaknya. Mandi aja.”“Takut.”Arza
Read more
Bab. 22. Malah Akhirnya Datang
“Bukan hidup namanya kalau tanpa cobaan. Tapi, biarkan itu menjadi bumbu dalam masakan, layaknya makanan sehari-hari.”***Sejak awal, anak dari pasangan Laksmi dan Asep itu sudah menduga. Ibunya akan berlaku sama, walau ia adalah anak perempuan satu-satunya. Menuntut, seperti pada kakak-kakaknya yang memilih pergi, untuk memberi sedikit jarak dengan orang tua kedua belah pihak. Sebab konon katanya, saat dekat akan berbau pekat, dan saat jauh akan beraroma lezat.Sekarang, tuntutan itu sudah berlaku untuknya juga. Laksmi tidak mengizinkan Nafisa tinggal selain di rumahnya yang sederhana, walau sekadar menginap di rumah ibu mertua. Sekalipun ia pergi karena ingin menuruti keinginan suami, pada akhirnya, Laksmi akan datang ke sana untuk menjemput Nafisa pulang.Sepeti pagi ini, saat Nafisa lagi-lagi menginap atas permintaan Arzan, ibunya datang dengan ojek pengkolan yang sudah jadi langganan. Dengan alasan di rumah kesepian, juga sakit yang memb
Read more
Bab. 23. Tertekan
Arzan sampai di halaman rumah Laksmi. Langkahnya lambat begitu turun dari motor yang diparkirkan terlebih dulu di samping teras. Raut wajah yang biasa semeringah tampak sedikit masam dengan pakaian kusut tak beraturan.Diketuknya pintu rumah berbahan kayu jati berkualitas tinggi itu sambil mengucap salam, lalu dijawab salam oleh Laksmi yang langsung membuka pintu. “Eh, Jang Arzan. Sok, kaleubeut,” titahnya sambil bergeser, memberi lebih banyak ruang untuk Arzan.Arzan yang tak kuat menahan lelah pun mengangguk, lalu melangkah masuk tanpa sepatah kata. Ia ingin segera mandi dan salat sebelum beristirahat, melepas penat setelah seharian bekerja dengan jumlah pelanggan jauh lebih banyak dari kemarin. Namun, begitu tangannya mendorong pintu kamar, ia berlonjak kaget.“Neng!” serunya sambil berjalan, setengah melompat saking takutnya kalau terjadi apa-apa pada Nafisa.Diraihnya kepala Nafisa sebelum ia letakkan di kedua paha. “Nen
Read more
Bab. 24. Nakal
“Neng belum makan?” Arzan menyelidik, menatap Nafisa yang sudah beralih menatapnya kembali. Wanitanya itu menggeleng.“Dia itu bandel. Sudah ibu suruh makan, tapi malah nggak mau.” Laksmi bersungut-sungut. “Apalagi dia kan capek, tuh, abis bantu-bantu di pasar. Pasti droplah. Tubuhnya memang nggak sekuat yang terlihat.”“Kenapa bisa nggak sekuat yang terlihat, Bu? Neng pernah sakit apa?” Arzan beralih, memperhatikan ibu mertuanya.“Ya, itu. Nggak bisa dibawa capek. Jadi, lain kali nggak perlu diajak pergi ke pasar!”“Bu!” bentak Asep, tak enak hati dengan sikap istrinya itu.“Lah, iya, Pak. Nafisa memang nggak bisa capek, kan? Bapak tahu sendiri kalau tekanan darah si Neng juga selali rendah, sampe sering bikin dia sakit kepala karena pusing?”“Iya, tapi nggak ada hubungannya sama pergi ke pasarlah. Hari ini, kan, dia di rumah.”“Suda
Read more
Bab. 25. Rugi
“Melaju laksana menantang badai. Begitulah seharusnya dirimu, setiap kali ada masalah datang.”*** Satu dua hari telah berlalu setelah masa sakit Nafisa. Minggu ke minggu bahkan terasa merangkak cepat walau hampir setiap waktu berhadapan dengan keegoisan ibunya. Di bulan ketiga pernikahan, Arzan dan Nafisa masih tinggal di rumah Laksmi, walau tak jarang pergi menginap ke rumah Mariam saat bulan Ramadan kemarin, dengan atau tanpa izin dari ibunya itu.Nafisa ataupun Arzan tak pernah terlalu serius saat menanggapi kekesalan Laksmi. Pura-pura tak tahu, walau dengan jelas Laksmi tunjukkan ketidakridaannya saat Nafisa pergi mengunjungi mertua.Alasannya masih sama. Selain karena kesepian, terang-terangan Laksmi bicara soal kerugiannya sebagai orang tua. Ia yang membesarkan anak-anaknya dengan biaya tak terhitung, tapi saat sudah dewasa justru pergi untuk berbakti pada orang lain.Seperti hari ini, Laksmi pun
Read more
Bab. 26. Mendadak Kelu
“Kemarin, Aa pikir cuma demam biasa. Tahunya parah.”“Ya, sudah. Kalian pergi menginap saja di sana. Kasihan kalau ibumu nggak ada yang ngurus, Jang.” Asep yang baru selesai makan memberi komentar.“Nggak ada yang ngurus gimana? Bu Mariam itu anaknya ada di rumah dua, perempuan pula. Nggak perlulah Nafisa harus segala nginep di sana! Kalau Arzan mau nginep, ya nginep sendiri.”“Astagfirullah, Bu!” seru Asep, tak lagi dapat menahan marah. “Kamu itu kayak nggak ngerasain perasaan seorang ibu dan anak.”“Apa, sih, Pak? Arzan pulang karena mau ngurus ibunya, ‘kan? Lah, Nafisa kan harus ngurus ibu juga di sini.”“Tapi, ibunya Arzan itu sakit, Bu. Ngaco kamu!” Tatapan masam Asep berubah tajam, setelah mendengar penjelasan Laksmi yang semakin diada-adakan.
Read more
Bab. 27. Suara Khas Nafisa
Arzan mengangguk, menyerahkan jeruk yang sebelumnya ia kupas terlebih dulu. Lalu, setelah melihat Mariam memakannya dengan begitu lahap, ia meraih ponsel dari saku celana. Buru-buru ia mengetik sebuah pesan, kalau dirinya sudah sampai. Pesan terkirim, tapi tak kunjung Nafisa buka.[Neng?] Pesannya lagi.Tak kunjung dibaca juga, buru-buru Arzan menekan tombol hijau. Panggilan telepon tersambung cepat, walau akhirnya tetap tak mendapatkan jawaban. Khawatir, ia yang semula duduk tenang berubah gusar. Takut, kalau sampai terjadi sesuatu pada istrinya seperti tempo lalu.Namun, baru saja Arzan hendak menelepon, Nafisa meneleponnya lebih dulu.[Halo, A. Assalamualaikum.]Arzan bernapas lega sebelum menjawab salam. Itu artinya, ia hanya terlalu cemas menanggapi pesannya yang telat dibalas.[Maaf, A. Barusan Neng lagi ngaji.][Wah, Aa ganggu, dong.]Arzan melirik ibunya barang sebentar, seolah memberi kode kalau ia harus keluar dulu un
Read more
Bab. 28. Rindu
“Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi. Maka, senangilah apa yang terjadi.” –Ali bin Abi Thalib.***“Neng, kapan datang? Emang ibu ngasih izin? Terus, ke sini sama siapa?” cecarnya dengan serentetan pertanyaan, begitu menoleh dan mendapati Nafisa di Belakangnya. Membuat Nafisa yang sedari tadi berdiri itu tersenyum sambil melangkah maju.Arzan menyapu wajahnya sekali lagi. Lalu melirik jam, waktu sudah menunjukkan pukul enam pas.“Kira-setengah enam, A.” Nafisa duduk di sisi ranjang, disusul Arzan setelah mengangkat dan melipat sajadahnya. “Soal ibu, ya gitu. Tapi, kan Neng istri Aa. Masa nggak boleh datang ke sini? Neng nekat aja, terus naik ojek.”“Loh? Hm. Iya juga, sih.” Arzan menyengir, lalu menyimpan lipatan sajadah di sisi ranjang yang lain. “Tapi, kenapa nggak langsung masuk ke sini? Tadi, Aa hampir kesiangan.”“Lah. Neng langsung ke kamar ibu, dong. Kan
Read more
Bab. 29. Kok, Gini?
“Kok, gini, ya?”Nafisa mencecap-cecap mulutnya sendiri, terasa sedikit pahit. Tak lama, keluhan berpindah ke kepalanya. Nafisa merasa pusing, membuat pandangannya sedikit kabur. Dengan langkah gontai ia berjalan keluar kamar, hendak menemui Fitri untuk meminta pertolongan. Adik iparnya itu masih di sana, duduk santai sambil menikmati secangkir susu.Namun, begitu mendapati Nafisa yang berjalan sempoyongan, Fitri terkejut. Ia langsung berdiri dan menghampiri kakak iparnya yang hampir sampai ke kursi di ruang tengah. “Kakak kenapa?” Dengan nada khawatir, Fitri bertanya seraya membantu Nafisa duduk.“Nggak tahu. Tiba-tiba mual dan pusing.” Nafisa masih memegang kening, memijatnya sedikit dengan sebelah tangan.“Mau Fitri antar ke puskesmas?” Fitri menelengkan kepala, melihat raut wajah Nafisa yang tampak semakin pucat. Nafisa yang mendengarnya pun mengangguk antusias. Tak mau membiarkan penyakit terlalu lama b
Read more
Bab. 27. Suara Khas Nafisa
Malam sudah semakin larut, tapi mata lelaki yang hanya memakai kaos putih oblong dan celana sayur hitam selutut itu masih enggan untuk terpejam. Dia masih saja merasa segar, walau berulang kali mencoba pejamkan mata. Padahal, saat masih di pasar, tubuhnya menuntut untuk segera beristirahat.    Kesal karena tak kunjung tidur, juga pusing akibat memaksa mata untuk terlelap, Arzan pun bangun dari pembaringan. Dia duduk bersila, lalu meraih ponsel yang disusupkannya di bawah bantal. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Nafisa pun sudah pasti terlelap setelah tadi mengucap pamit untuk beristirahat lebih dulu.    Tiba-tiba Arzan mengerjap, ingatannya menangkap sesuatu yang membuat ia akhirnya tersenyum-senyum. Mulai dari dirinya yang mengajak berkenalan, lamaran, lalu menikah dengan Nafisa. Namun, yang paling lucu adalah alasan yang membuatnya menunda malam perta
Read more
PREV
1234568
DMCA.com Protection Status