All Chapters of The Crown Prince, Sang Putra Mahkota: Chapter 21 - Chapter 30
64 Chapters
Weekend
    "Loh, Barry ngapain kamu di sini?" Kania mengangkat alis tinggi-tinggi. Hari minggu siang yang cerah, Kania baru saja selesai membuat pai buah kesukaan Nadin. Bi Darni sedang menidurkan Nadin di kamar, jadi saat bel pintu berdering, Kania sendiri yang bergegas membuka pintu. Ia berpikir Divia yang datang, rupanya Barry. "Boleh, kan, hari Minggu main? Aku suntuk di rumah." "Ya-ya, ya bolehlah, masak enggak boleh? Ayo masuk." Kania mempersilakan Barry masuk ke ruang tamu, sementara dirinya bergegas ke ruang ganti. Ia merasa seperti si upik abu dengan pakaian usang dan muka belepotan, sementara Barry seperti pangeran tampan dengan kaus polo warna navy dipadu jeans warna pudar. Bukannya ia ingin terlihat menarik di hadapan Barry, hanya untuk kesopanan saja, pikirnya.        Kania memilih atasan crop warna cream dan celana kulot sebetis. Setelah membersihkan muka dan merapikan rambut, ia k
Read more
Problem
    "Vi, Bapak lu manggil gue?" Kania tergopoh-gopoh menuju meja Divia, tepat di depan ruangan Prasetya. "Iya, cepetan masuk udah ditunggu." Kania segera masuk melalui pintu kaca ke ruangan Pak Prasetya "Pagi, Pak," "Kan, gawat ada problem di kebun." Mata Prasetya hanya sekilas melirik ke arah Kania yang baru saja masuk. Lelaki itu terus mengawasi layar gawainya. Feeling Kania tidak enak. "Ada apa Pak? Sesuatu terjadi?" "Terjadi bentrokan besar antara kubu pekerja pendukung kepala desa lama dan kepala desa baru." Prasetya berkata cepat, matanya masih memelotot ke arah gawainya. Kania mengerutkan kening. "Di kebun paling barat kita?" Prasetya mengangguk. Kebun paling barat adalah kebun yang sangat rawan konflik. "Sudah hubungi pihak berwajib, Pak? Bagaimana dengan mediasi?" "Pihak berwajib tidak dapat menjangkau lokasi, sudah dibarikade oleh penduduk. Mediasi dari kepala
Read more
Mediasi 1
    Kania masuk ke dalam mobil van tua, dua orang pria muda mengawalnya duduk di sisi kiri dan kanan. Di bangku depan ada seorang sopir dan pria paruh baya yang tadi berbicara dengan rombongan Kania. Tak dipungkiri ada sedikit rasa takut di hati Kania. Namun, ia memberanikan diri. Alwi yang ia kenal tidak akan membahayakan nyawanya. Ia sangat percaya akan hal itu. Mobil van tua itu berjalan menerobos lebatnya tanaman sawit. Melewati turunan dan kelokan jalan tak beraturan. Tubuh Kania terlonjak lonjak karena jalan yang tidak rata. Dua puluh menit berlalu. Mereka tiba di sebuah pondok, tersembunyi di belakang bukit. Seandainya tidak sedang menghadapi konflik, pemandangan yang disuguhkan dari pondok tersebut sangat lah indah. "Sudah sampai, ayo ikut kami Nona, silakan turun, " ucap seorang pria yang duduk di sebelah kiri Kania. Lelaki itu membuka pintu, memberi jalan kepada Kania untuk turun. Kania berjalan pelan mendek
Read more
Diskusi
                “Sebaiknya kita menuju ke penginapan dulu, Pak. Biarkan Kania beristirahat. Nanti malam kita diskusi.” Prasetya menengahi di antara Kania dan Marlo.             Marlo masih menatap Kania setajam sebelumnya. Kania pun masih menatap balik ke manik mata elang itu.             “Baiklah, kita pergi ke penginapan.” Akhirnya Marlo bersuara.             Rombongan yang terdiri dari empat mobil segera bergerak ke arah kota Kabupaten yang berjarak satu jam perjalanan. Tak banyak penginapan yang bisa dijumpai di kota kecil tersebut. Akhirnya rombongan berhenti di sebuah penginapan kecil.             Semua personil diminta untuk beristirahat dan berkump
Read more
Mediasi 2
              Kania dan rombongan selesai sarapan tepat pukul 07.30. Ia diam-diam mencari keberadaan Marlo. Namun, lelaki itu tidak juga muncul untuk sarapan.            “Ayo, Bu, kita berangkat!” seru Ismail yang sudah siap naik ke dalam mobil.            “Iya, Pak. Saya segera ke sana.” Kania merapikan bajunya. Hari ini ia memilih kemeja longgar warna putih yang ia padukan dengan celana bahan warna abu-abu. Setelah mengambil tas selempangnya ia segera menyusul Pak Ismail.            Rombongan Kania yang akan menuju markas Sidik terdiri dari Kania, Pak Ismail, Bambang Satria dan seorang sopir. Mereka berpisah dengan rombongan Prasetya yang akan kembali menuju gerbang kubu Alwi.     &nb
Read more
Buah Hati
                        “Apa, sih, Ma?” Barry merasa sangat suntuk, ia barusan menelepon Kania, begitu mendengar semua cerita dari Prasetya.            Rasa kesal karena tidak bisa melindungi Kania bertambah dengan adanya laporan bahwa sang paman turut andil dalam menyelamatkan nyawa Kania. Semua berita itu membuat moodnya di hari itu menjadi buruk. Mendengar suara Kania secara langsung pun masih belum bisa mengurangi rasa kesalnya.            Kini, ibunya datang tiba-tiba ke kamar. Melemparkan amplop besar berwarna cokelat tepat ke arah pangkuannya.            “Apa ini?” Ia melirik tajam ke arah wanita paruh baya yang terlihat cantik dengan gaun satin warna peach itu.   
Read more
Terjebak
   "Gimana kondisi Nadin, Vi?" Suara Kania terdengar gugup. Ia baru saja bisa mengakses gawainya setelah perjalanan masuk dan keluar kebun."Tenang, Kan. Udah gue atasin. Tadi gue bawa ke dokter. Kata dokter, si cantik kena  radang tenggorokan. Udah dikasih obat.""Parah, nggak?""Si Bocah udah bobok sekarang di kamar Kan, gue rasa udah gak terlalu panas, sih. Tapi gue minta surat ijin tadi, biar anak lu libur dulu sekolahnya.”"Iya, Vi. Thanks banget ya, Vi .... Gue berutang banyak banget ke elu.""Astaga, biasa aja Kan ... udah, yang penting elu nggak usah khawatir kita semua disini pasti jagain Nadin.""Gue panik banget waktu baca chat elu kalau si Nadin panas." Kania menelan ludah. "Jadi lu bawa ke dokter siapa? Sama Bi Darni?" tana Kania penasaraan."Gue bawa ke RS Internasional, yang deket kompleks elu. Gue cari taksi susah banget kagak nemu. Akhirnya gue telepon Damar, gue minta
Read more
Menunggu Bantuan
  Marlo melihat-lihat ke sekeliling ruangan kantor bibitan. Kantor ini merupakan sebuah ruangan berukuran lima kali lima meter. Bangunannya merupakan bangunan lama, mungkin hanya dilakukan pemeliharaan tiap tahun. Dindingnya berwarna kuning pucat, sedangkan kusen-kusen kayunya dicat warna hijau.  Ruangan ini berisi beberapa perabot khas kantor di perkebunan, dengan dua buah meja besar. Satu meja tampak kosong sedangkan meja lain berisi sebuah PC. Masing-masing meja dilengkapi dengan kursi berlengan. Dua buah lemari arsip berjajar di belakang meja tersebut. Ada sebuah wastafel tanpa kaca dan sebuah dispenser berisi air mineral. Perabotan lain ada satu set kursi tamu dengan lengan kayu dan alas busa. Terdiri dari sebuah kursi panjang, mungkin bisa muat untuk tiga orang dan dua buah kursi ukuran satu orang. Meja kopi rendah berada tepat di tengah set kursi tamu tersebut.Kania sedang duduk di salah satu kursi tamu tersebut. Tangannya sibuk
Read more
My Hot Bos (Demam)
  Tubuh jangkung itu menghimpitnya ke dinding. Punggung Kania kini sudah menyentuh dinding yang dingin."Bapak mau ngapain? Jangan macam-macam, ya!" serunya panik.Marlo tak mempedulikan protes dari Kania. Tangannya menapak di dinding belakang tubuh Kania. Kepala Marlo menyuruk di cekungan leher wanita itu."Pak, saya ingatkan lagi, Bapak jangan macem-macem, ya!"Kini kepala Marlo bersandar miring di pundak Kania. Rambut lelaki itu menyapu telinga Kania.Wanita itu sudah siap mendorongnya, tetapi tangannya seperti tersengat kompor. Badan Marlo terasa begitu panas di telapak Kania."Pak?"Posisi Marlo kini memeluk tubuh Kania, merapat ke dinding, matanya terpejam. Rasanya nyaman sekali berdiri memeluk Kania seperti itu.Wanita itu kian merasakan sengatan panas tubuh Marlo hampir di sekujur tubuhnya. "Pak! Astaga! Bapak demam ini!" seru Kania semakin panik"Sst ...! Udah diem aja, saya pinjam tubu
Read more
Malam Pengganti
  “Divia, gimana Nadin? Masih demam, enggak?” Suara itu kian akrab di telinga Divia.            “Damar? Udah, udah kok, udah enggak panas. Kita lagi main ini,” jawab Divia, ia melirik ke arah Nadin yang sedang memainkan boneka Barbie.            “Udah makan?”            “Udah, Nadin kan harus minum obat. Jadi tadi udah makan sebelum minum obat.”            “Mmm. Kalau Piza, Nadin suka nggak?”            “Nggak tahu, coba bentar gue tanyain, ya.”            Divia berpaling pada Nadin, tangan kanannya yang memegang ha
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status