All Chapters of Semalam Bersamamu: Chapter 11 - Chapter 20
120 Chapters
Tidak Ada Jalan
Tanganku terdiam pada batas rok kelabu di paha mulusnya, mengetuk jari bergantian di sana. Wajahku mundur, menjaga jarak sambil memandangi raut Sara yang terpejam. Lucu juga. "Aksa?" Panggilan darinya kembali terdengar dalam nada manja tanpa membuka mata. Aku menggeleng, tepiskan tawa yang sempat terbit. "Gue masih di sini." "Ngapain?" Mata kelam Sara terbuka, kembali tunjukkan binarnya. "Liatin muka lo yang enggak sabaran," ucapku datar, embuskan napas di permukaan pipinya tanpa lekatan. "Apaan sih, Sa?" Suara Sara terdengar serak. Kelopak mata kelam itu berkedip lambat seiring desah yang tercipta karena belaian jemariku pada benda di balik rok kelabunya. "Kenapa?" "Lo beda kalau dari dekat gini." Lengan Sara yang menggantung di leherku mulai turun. Kulirik jari-jari lentik berhiaskan pewarna kuku itu bergerak di sepanjang garis kancing seragamku. "Biasa juga lo udah sering liat gue dari dekat." Getaran berbeda seolah menyengat permukaan kulit ketika sentuhannya membelai
Read more
Anak Abah
"Itu bukan bayaran satu malam," ucapku sebelum meraih air mineral dari gelas beningnya.   Aku masih belum bisa lunturkan senyum padanya setelah pengalaman hebat semalam. Rasanya seperti semua beban selama ini terangkat mudah dari ubun-ubun. Jauh lebih melegakan daripada harus main solo di kamar mandi.   Sara tampaknya terkejut dengan penuturan yang kusampaikan di meja makan.   Mikir aja, sih. Kalau prostitusi artis delapan puluh juta termasuk kelas menengah, apalah kalangan yang masih kelas bawah kayak aku tanpa pengalaman. Jauh lebih murah.   Awalnya Sara terlihat kesal, tampak dari caranya menyuap nasi uduk buatan bibi yang ngantar makanan sebelum pagi. Sepertinya, keluarga ini memang jarang masak kalau ngelihat dapurnya yang mulus.   "Gue minta segitu biar enggak ngelayanin yang lain. Bisa dibilang, cuma elo doang yang jadi pelanggan gue. Yah, selama bayarannya sesuai."
Read more
Kekhawatiran
Kujatuhkan seluruh rak di dalam kamar hingga isinya berserak. Aku menendang apa pun yang menghalangi, bahkan samsak pun sampai jatuh terburai menjadi sasaran pukulan.   Untuk sesaat, kurasakan terbang saat bertemu Abah yang mengingatku dan menanyakan kabar Ambu. Lalu setelahnya, aku merasa dijatuhkan terlalu dalam.   Aku sangat ingat pria tua itu bilang, "Jangan ke sini dulu. Jangan katakan pada siapa pun sampai Abah kasih kabar."   Anj*ng!   Meski disertai permohonan dan kata tolong, tetap saja menyakitkan. Dia enggak pernah bilang sama Ambu, enggak juga bilang sama ibunya Kea.   Apa namanya kalau bukan pengkhianat?   Setan! Mau berapa lama harus nunggu lagi? Berapa lama waktu yang Abah butuhkan biar aku juga diakui?   "Aksa?" Panggilan itu tidak mempengaruhiku.   Klien baruku itu masuk melalui pintu terbuka
Read more
Realistis Bukan Matre
"Aksa ...."   Suara cempreng Sara terdengar seperti godaan di telingaku ketika protes kubawa kembali ke kasur setelah dengan mengangkat pinggangnya tinggi-tinggi hingga tetap berada di pangkuan saat duduk bersama.   "Berhenti mainin anu gue!" Kikikan Sara justru menggoda jemariku menguak lipatan di balik handuk yang melingkupinya.   "Anu yang mana?" Aku turut menertawakan sambil meniup lengkungan di sepanjang leher jenjang Sara.   "Udah, Aksa!"   Enggak. Aku belum bisa berhenti sampai rasakan gerakan tanganku di bawah sana membuatnya tersentak, lemas. Kehangatan yang mengalir kental jelas bukan milikku.   "Meleleh gue, Sa."   Pengakuannya kubalas dengan kecupan di sudut bahu ketika Sara memilih bersandar padaku dalam rengkuhan.   Lenganku berpindah melingkari pinggangnya lebih erat. "Lo bisa cerita sama gue kalau eman
Read more
Maunya Diresein
"Garini! Garini Sarasidya?" Suara yang mengiringi ketukan di luar kamar sontak membangunkanku.   "Papa gue, Njir." Sara yang sepertinya merasa terpanggil, tampak memungut satu per satu pakaian yang menggeletak asal di permukaan lantai.   Kusandarkan punggung ke dinding dan mengambil kain renda terdekat. Warna ungu samar berbentuk segitiga itu kunaikkan ke udara dan langsung Sara rebut.   "Ngapain sembunyi?" tanyaku tanpa mau repot-repot berpindah posisi. Lemparan celana pendek dari Sara ke pangkuanku lebih seperti perintah. "Harus dipakai?"   "Bantuin, kek!" Gerutuannya terdengar lebih seperti bisikan. Mungkin takut ketahuan, terbaca dari rautnya yang khawatir.   "Eng—gak mau." Kulebarkan mata saat menolak, biarkan bibir menahan tawa yang bisa saja pecah.   "Aksa!" Gerakan Sara mengenakan pakaian dalamnya terhenti.   "Biarin
Read more
Aku Juga
"Sa ..., ampe kapan lo nyuekin gue?"   Jam istirahat pun kayaknya enggak cukup buat si cewek rese. Suara menyakitkan Sara yang terdengar dari belakangku sukses menghentikan langkah.   Tuhan!   Kugelengkan kepala sebelum menutup kedua telinga dan lanjutkan langkah menuju kiblat seantero siswa setiap kelaparan di sekolah. Kantin.   "Aksa ...."   Lenganku terasa ditarik bersamaan dengan melekatnya Sara di sisi. Sepertinya dia belum menyerah merapat padaku meski langkah yang kuambil selebar mungkin.   "Sekarang kok cuek, sih?" Bisa kulihat cemberut manjanya yang sesekali mengambil perhatian di depan wajahku.   Maunya apa? Pamer kalau aku sama dia jadian?   Oke, salahku yang diam aja ngikutin skenarionya dia. Salahku mengambil jalan pintas dengan memulai interaksi fisik dengannya. Salahku ... aku terjebak dalam permainanku
Read more
Toilet Sekolah
"Gue mau lo sekarang," pinta Sara.   Gila! Aku kira cuma aku doang yang nyandu sama sentuhannya.   Namun, tarikannya membawaku merapatkannya ke dinding. Sudut matanya mengisyaratkan perhatianku pada papan toilet cowok.   "Ra, ini sekolah," sanggahku, berusaha memenangkan ego yang masih angkuh tidak meminta lebih dulu darinya.   "Atau gue perlu buka di sini?" Sara melonggarkan dasi sekolah dan meloloskan dua kancing teratas seragamnya.   Aku ... susah payah menelan saliva dalam kerongkongan. Belahan mulus yang tampak di sana sangat mengundang. Sulit menahan jemari untuk bergerak membelai permukaannya.   Sara tersenyum lebar ketika aku menggapai belakang kepalanya, mendaratkan sentuhan bergairah pada bibir lembutnya.   Enggak. Aku tidak bisa menahan ini lebih lama. Apalagi dia sangat menyadari kerasnya diriku di bawah sana ketika saling ber
Read more
Aku Dijebak
Kuputar batang tembakau di antara jemari, menjaganya tetap utuh sebelum singgah dalam jepitan bibir. Belum kubakar. Hanya memperhatikan para wanita gila yang terus berteriak karena aksi Nabas bermain truth or dare di tengah ruangan, tepatnya, dia berdiri di pertengahan meja dalam keadaan menari setengah telanjang bersama salah satu klien tanpa musik.   "Mas Lingga mau dibakarin enggak rokoknya?"   Aku menoleh, mendapati salah seorang yang kuketahui sebagai istri pengusaha konstruksi terkenal melekat pada lenganku. Tangannya pun bergerak membelai lutut hingga pinggangku.   Spontan rambut halus di sepanjang lengan meremang. Geli.   "Eng ... enggak." Aku bergeser, memberi jarak yang bisa ditempati seorang lagi sebelum membakar ujung benda di bibirku.    Manis. Asapnya memenuhi rongga mulutku sebelum diembuskan ke udara.   "Minum aja, yok!" Datang lagi seora
Read more
Bayangin Lo
Kepalaku masih berat meski hanya untuk beranjak turun dari taksi yang kutumpangi. Entah efek alkohol atau ....   Ah, aku enggak pengin ngebayangin. Bawaannya mau muntah. Oleng.   "Aksa dari mana?"   Kurasakan seseorang menopang lenganku. Tingginya hampir menyamaiku dengan perawakan lebih kurus. "Ra?"   Aku berharap tidak sedang berhalusinasi seperti semalam. Berkali-kali kuucapkan namanya setiap mencapai pelepasan. Gila! Apa yang terjadi denganku?   Aku masih bisa berjalan, hanya belum fokus. Sampai tiba di kamar, Sara membantuku berbaring. Dia juga melepaskan sepatu yang kukenakan dan menekan-nekan pelipisku dengan jemari lentiknya.   "Sa?"   Kubalas dengan gumaman. Mataku berat, meminta lekat begitu kepala menyentuh bantal.   "Lo kerja lagi?"   "Gue capek, Ra." Ingin kukatakan ya, tetapi ini bak
Read more
Keluarga Sara
Aksa!"   Aku terkejut mendapati teriakan Sara yang telah berhasil membuka pintu. Kayaknya dia masih megang kunci cadangan, terlihat dari gantungan dalam genggamannya setelah menutup pintu.   "Apa lagi?" Aku kembali berkutat pada tampilan layar ponsel yang menunjukkan sederet angka mengisi saldo rekeningku sementara jemari Sara menyelip di antara lenganku dan bertemu di depan perut.   "Ikut ibadah?" tanya Sara sambil menyandarkan dagunya di bahu kananku.   "Sara ...." Aku menoleh dan langsung dihadiahi ciuman, lagi. Kekehan mengiringi setelahnya.   "Demi gue." Tatapan lebarnya yang memohon ternyata melemahkanku.   Demi dia? Sejauh ini, aku melakukan segala hal demi dana yang masuk dalam rekeningku. Kuembuskan napas dengan kasar, sadari bakal berhadapan lagi dengan simbol ketuhanan setelah sekian lama menghindar hanya untuk menemani tuan putri.  
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status