All Chapters of Semalam Bersamamu: Chapter 31 - Chapter 40
120 Chapters
Hidup Denganku
"Masih mual?" tanyaku setelah kami tiba di pelataran parkir kafe.   Harusnya pulang sekolah ya pulang, tapi Sara malah ngotot ikut meski aku bilang bukan urusan pekerjaan. Kulepaskan helm dari kepalanya setelah turun dari motor dan menyampirkan milikku jugga di setang.   "Enggak lagi." Sara menggeleng, tersenyum ketika menggelendot manja di lenganku. Dia beralasan, "Tadi baunya emang enggak enak pas udah masuk mulut."   "Besok-besok hindarin makan ayam kalau gitu."   Kami berjalan melewati pintu kaca yang aku buka dan tahan hingga Sara berada di dalam ruangan didominasi warna putih, termasuk perabotan yang mengisi. Beberapa corak kayu untuk stan barista dan meja penyajian.   "Padahal ayam tuh dulunya enak banget." Sara mendeskripsikan sampai terpejam, membuka telapak tangan di depan wajahnya ke arah atas.   "Lo mau kita ketahuan?" Kutarik lengannya biar duduk
Read more
Merencanakan Pernikahan
Aku dan Sara duduk pada bangku yang tersedia menghadap altar di depan sana. Sesaat, aku berpikir tentang seperti apa pernikahan sebenarnya. Apakah harus dipenuhi banyak orang sebagai saksi atau perayaan besar?   Menilik latar belakang Sara, aku sempat merasa terlalu kejam memberinya momen pertama yang lebih rendah dari kata sederhana. Namun, sepanjang perjalanan dia terus mengiakan perkataanku mengenai tanggung jawab yang bisa kuampu.   Dan ..., berakhirlah kami di sini, menunggu pastur yang disebutnya sebagai paman selesai memberi pengarahan di dekat nyala lilin yang berjejer.   "Ada apa? Tumben Sara ke sini lagi selain kebaktian?" Senyum menenangkannya selalu menyambut kami beserta tangan terbuka, merangkul bersamaan ketika aku dan Sara turut berdiri.   "Sara mau nanya tawaran Paman tempo hari?"   Ucapan Sara ternyata langsung mendatarkan raut wajahnya. Tatapan Romo Beni berali
Read more
Keponakan Abah
Aku mempertimbangkan, mengetuk-ngetuk pelan pintu di depan mata meski tahu tombol bel di samping tinggal tekan. Ragu meminta bantuan Abah untuk urusan sepelik ini.   Kulekatkan jaket yang tidak diritsleting hingga menutupi leher. Sekadar mengurarangi kecanggungan yang masih mendera. Kakiku pun turut mengetuk lantai.   Gelengan kepala mengawali keraguan. Aku berbalik menjauhi pintu, turun dari pelataran dan berhenti melangkah karena panggilan yang terdengar dari akses jalan di depan.   Pria tua yang aku cari tampak turun dari mobil penumpang dan bergegas menghampiri. "Berapa kali Abah bilang jangan ke sini dulu?"   "Aksa juga enggak bakal ke sini kalau bukan sesuatu yang penting." Rahangku mengeras, menahan kertakan gigi yang geram. Kepalan tanganku menguat di samping tubuh. Ingin menantang tatapannya, tetapi kepala ini justru menunduk lemah.   Kulangkahkan lagi sepatu melalui jal
Read more
Ini Pacarku
Pikiranku masih beradu dengan pembicaraan di rumah Abah. Meski berada di sisi Sara saat ini, menunggunya mempersiapkan apa aja yang perlu kulakukan dalam dapurnya, isikepalaku justru mengulang kejadian beberapa hari silam.   "Kalian masih terlalu muda kalau berpikir rumah tangga itu gampang. Aksa yakin ingin bertanggung jawab?" tanya Abah setelah berisyarat pada putrinya untuk pindah ruangan.   Kea memang mengangguk, tapi gerutuannya benar-benar membuatku harus mengulum senyum. Dia protes, sepertinya karena ingin tahu urusan kehamilan Sara dan reaksi keluarganya.   Aku ... mengetuk jemari di pinggiran meja, lalu menegakkan punggung seketika saat istri Abah turut bergabung dengan duduk pada kursi di samping pria tua itu.   "Kenapa, Pak?" tanya si ibu, terlihat heran dengan membekunya suasana di antara kami tanpa pembicaraan lanjutan. Hanya aku dan Abah saling berisyarat diam.
Read more
Memperkenalkan Dia
"Aksa?" Sara bersandar di bahuku, mengeratkan pelukan di depan perutku ketika kami melalui terpaan angin di sepanjang perjalanan berkendara. "Masih sakit?"   Jelaslah sakit. Dapet tamparan keras dari mamanya Sara yang enggak pake rem dan nyuruh aku keluar dari rumahnya. Buatku lucu, sih. Cuma kayaknya malah jadi drama buat Sara.   "Enggak. Enggak apa-apa. Udah biasa," tanggapku tanpa melepaskan pandangan dari jalan raya di hadapan. Emang udah biasa. Terakhir kena pukul aja, aku masih bisa ngelawan. Masalahnya kalau perempuan udah emosi, enggak mempan ngejelasin apalagi ngebalas perlakuan dengan kekerasan. Cara termudahnya ya ... ngabur.   "Maafin Mama, ya?" pinta Sara yang terdengar di antara desing angin.   Aku mengangguk, biar keliatan paham dengan maksudnya. Maafin gimana coba kalau ke depannya bakal jadi besan? Sayangnya, aku bukan tipe pemaaf kalau misalnya ini berulang.   "
Read more
Jadi Sepupu
Ngebawa Sara ke rumah Abah? Enggak heboh-heboh banget. Saling sapa berlanjut perkenalan, dan ... Ibu yang antusias tanya-tanya soal kehamilan. "Kapan kalian pertama kenal?" Pertanyaan sama yang pernah diajukan Romo Beni tempo hari juga dimulai Abah. "Emm ..., Aksa?" Sara menggigit bibir bawahnya seraya melirikku di meja perjamuan keluarga. Seperti yang kuduga, masakan Ibu emang seenak aromanya di awal berjumpa. Mi goreng buatannya yang penuh rempah malahan menggantung di selipan bibir ketika mendengar panggilan Sara. Kugigit potongan mi dan mengambil tisu untuk mengelap sisa bumbu di bibir sebelum bicara. "Ketemu pertama waktu Sara dikejar wartawan, tapi kenalnya pas Aksa baru pindah sekolah." "Pindah?" tanya Ibu.   Aku mengangguk. Peganganku pada garpu menggantung karena melihat tatapan tiap orang tertuju padaku. Sempat mikir, aku terkekeh sebelum menjawab, "Iya, sedikit masalah kecil. Daripada kelamaan dirundung terus, T
Read more
Fans Fanatik
Sepatu putih mendarat di atas mejaku diiringi bentakan. "Keluar lo!" Setelah dilihat pemiliknya, aku rasa bisa ngerti kalau kali ini bermasalah karena urusan apa.   Sara lagi. Ingat salah satu fansnya yang ampe nembak dulu waktu aku lewat kelasnya?   Kenapa pake ditolak coba? Dari segi postur, fans Sara yang ini enggak sebuluk cowok di meja sebelah.   "Siapa, Sa?" Tuh, baru diktain buluk, Kalan udah sok galak aja waktu nurunin kaki bersepatu dari mejaku.   "Enggak pa-pa. Cuma adik kelas." Aku menggeser kursi mundur biar bisa berdiri dan memanggul ransel.   Syukurnya si tukang cari masalah datangnya pas udah sepi. Tinggal beberapa siswa yang sibuk bersih-bersih karena piket dan berhenti bergerak mendapat tontonan gratis.   "Perlu bantuan?"   Kuabaikan tawaran Kalan dengan menggesernya. "Aman."   Kuacungkan jempol ke ar
Read more
Jamuan Makan Malam
Satu minggu dari waktuyang dijanjikan, Romo meminta pertemuan dan di sinilah keluargaku, ralat, aku dan keluarga Abah berada. Dalam pondokan resto yang Sara pesan khusus untuk memperkenalkan keluarga dari pihak papanya.   Meja bundar lesehan dengan penghias petromaks imitasi pada dinding bambu sekeliling kami dan berbagai hidangan lokal yang kutebak berasal dari wilayah Jawa, entah Jawa mana kalau lihat ada beragam sate dari bumbu kacang sampai santan kuning. Belum lagi berbagai manisan yang dari aromanya bisa ditebak sebagai olahan singkong dengan toping gula merah dan kelapa parut.   Percakapan yang terdengar di antara mereka pun sebagian besar aku enggak ngerti. Sumpah. Paling banter pas Abah nanya, "Pripun kabare?"   Berasa lagi di planet antah berantah karena melongo sendirian. Ujungnya, aku sibuk sendiri nyobain makanan yang tersaji sementara Sara masih betah ngeliatin aku sambil nahan ketawa dengan nutup mulut.
Read more
Desahan Beradu
Janji pernikahan secara pribadi? Ya, ternyata enggak sulit buat saling berjanji. Kesulitan terbesarnya justru memegang janji itu sementara enggak banyak orang yang tau. Belum lagi permintaan Abah buat meresmikan ikatan kami lebih cepat di mata hukum.Lucu aja gitu. Abah sama Ambu mendaftarkan pernikahan mereka secara hukum dengan sah, tapi enggak secara agama. Di kepercayaan kami emang enggak ada istilah poligami. Di luar istri pertama, hukum secara gereja tetaplah zina. Cuma di zaman sekarang hal kayak gini udah enggak tabu lagi.Sara mengikutiku ke kamar kos. Meski secara agama dia menjadi pasanganku, tetap aja masih belum ada bukti riil buat ngehindarin penggerebekan sambil menunggu surat pernyataan dari paroki, gereja yang membawahi Romo Beni.Sebelumnya enggak takut digerebek?Ya takut, lah. Takut diusir, sedangkan belum nemu rumah buat pindah. Apalagi orang tuanya Sara kayaknya punya pengaruh dari gaya hidup mereka yang terlihat benefit setiap keluar da
Read more
Darah Lagi
Bangun tidur ngerasa remuk? Bener. Meski cuma sekali, kuakui semalam itu terlalu lama. Mungkin dua-tiga jam baru tuntas.   Ah, bodohnya.   Kurentangkan kedua tangan dan kaki menjauhi tubuh sejauh mungkin, kemudian sadari sesuatu menghilang. "Sara?"   Aku beranjak, menarik celana dalam dari pinggir kasur, mengenakannya seraya memanggil nama istriku berkali-kali.   Istri? Mengucapkannya aja buatku ngerasa lucu. Enggak nyangka aja gitu semuanya berlalu dengan cepat seolah skenario yang Tuhan berikan tanpa rintangan berarti. Mulus.   "Ra? Lo di mana?" Aku sampai perlu mengetuk pintu kamar mandi dan mendapati Sara menunduk, duduk di atas toilet tertutup. "Kenapa, Ra?"   Jongkok di hadapannya, kupegangi wajah Sara agar melihatku. Matanya sembab, memerah "Lo nangis?"   Sara menepis tanganku. Dia kembali menunduk. "Fleknya keluar lagi, Sa. Darahn
Read more
PREV
123456
...
12
DMCA.com Protection Status