All Chapters of Pura-Pura Buta: Chapter 11 - Chapter 20
140 Chapters
Hamil?
Aku dan Mbok Yem duduk dengan wajah tegang. Tangan kami saling menggenggam penuh kecemasan. Tidak disangka, Lastri yang kami kerjai pingsan, setelah lima kali keluar-masuk toilet. Sesekali kami saling lirik berbicara lewat tatapan mata. Aku yakin dosis yang Mbok Yem masukan ke makanan Lastri kecil, karena aku sendiri yang menakarnya. Seharusnya efeknya tidak sampai begini. Dia juga baru lima kali masuk toilet. Masa segitu saja sudah ko-it.   Memang kentara sekali perubahan wajah Lastri setelah dia mengeluh sakit perut. Awalnya aku dan Mbok Yem menikmati kesakitannya, tapi lama-lama malah membuat kami cemas. Apalagi saat Lastri keluar dari toilet dengan wajah yang pucat. Warna merah wajahnya memudar.    Lalu yang mengejutkan terjadi. Dia pingsan.    ***   "Lastri, Lastri, kamu kenapa?" Mas Heru panik setelah Lastri yang
Read more
Delia Beraksi
  Mas, kita harus secepatnya ke rumah sakit. Aku nggak mau kenapa-napa sama anak kita," pinta Lastri setelah duduk di tepi ranjang.  "Kecilkan suaramu, aku nggak mau sampai terdengar oleh orang lain, apalagi Delia," jawab Mas Heru mengawasi pintu kamar.  "Aku yakin Mas, sakit perutku ini kerjaan Mbok Yem. Tadi saja, dia terlihat gugup saat kutuduh di depan kalian." Lastri bersungut kesal.   "Sudahlah Las, jangan nuduh Mbok Yem lagi. Sekarang bagaimana perutmu, masih sakit?" Mas Heru mengelus lembut perut Lastri.  "Sedikit. Aku capek, Mas, keluar masuk toilet terus," keluhnya sambil bersandar ke bahu Mas Heru.   "Ya sudah. Sekarang kita ke rumah sakit. Aku juga tidak mau kenapa-napa dengan kandunganmu. Semoga anak kita-baik saja, jangan lagi kamu keceplosan bicara begitu, aku
Read more
Menghentikan Sandiwara
 Aku membuka gorden jendela kamar, saat terdengar deru suara mobil Mas Heru memasuki halaman rumah. Kutengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan dengan tersenyum, 'sepanik inikah kamu, Mas, hingga memutuskan pulang cepat ke rumah?' dapat kuhitung kalau dia menempuh jarak hanya dua puluh menit saja untuk sampai ke rumah. Padahal normalnya jarak dari rumah ke kantor dapat menghabiskan waktu empat puluh menit.    Baik, Mas. Saatnya memberikanmu kejutan.    Aku segera beranjak turun ke bawah, memutuskan untuk menyambutnya. Baru saja kakiku sampai di anak tangga terakhir, Mas Heru yang sudah berada di ruang tengah terpaku menatapku bergeming. Bahunya naik-turun dengan napas terengah.    "Mas Heru," seruku memanggilnya dengan seulas senyum terkembang.   Dia masih berdiri menatapku dengan mata membulat sempur
Read more
Kejutan Menegangkan
Aku berjalan menghampiri seorang pemuda yang berdiri di samping Mbok Yem.    "Jadi kamu, orang yang dikirim untuk memperbaiki brankas saya?" tanyaku kepada pemuda tersebut.   "Iya, Bu," sahutnya mengangguk sopan.   "Baik, ikuti saya, kebetulan brankasnya ada di atas," ajakku dengan berjalan lebih dulu.   "Delia, tunggu." Mas Heru dengan cepat mencengkal lenganku.   "Kenapa lagi, Mas? Aku buru-buru. Nanti kita telat lo ke kantornya."  "Kantor? Maksudmu ke butik? Ya sudah, kamu ke butik saja, biar Mas yang mengurus brankas kita." Matanya seketika berbinar.   "Bukan, Mas. Aku tidak ke butik tapi ke kantor kita. Perusahaan Angkasa group," jawabku lugas. Mata Mas Heru terbelalak kaget. Mulutnya menganga terbuka lebar.
Read more
Kejutan selanjutnya
Mas Heru masih bergeming di dekatku tampak pasrah. Wajahnya sayu seperti orang sakit. Kulingkarkan tanganku di lengannya.   "Mas, Del," seru Lastri melihat kami yang sudah berdiri di depannya.    "Kami akan ke kantor, apa hari ini kamu juga kerja?" Lastri mengangguk pasti dan menatap lekat Mas Heru.   "Oh, baguslah. Yuk! Mas," ajakku pada Mas Heru dengan masih menggandeng tangannya. Kutarik Mas Heru mengikuti langkahku. Lastri terbengong melihat Mas Heru yang mengacuhkan dirinya, tapi dia segera mengekor langkah kami di belakang. "Tunggu, kenapa aku ditinggal?"   Aku masuk ke dalam mobil Mas Heru, duduk di depan, di sampingnya.    Kulihat Lastri ingin membuka knop pintu mobil kursi belakang.   "Las, bukankah kamu bawa mobil sendiri? Pakai saja
Read more
Dilan kembali
 Dilan menghampiriku. "Terima kasih, Bu. Sudah memberikan saya kesempatan untuk bekerja kembali di sini." Aku menganggukkan kepala dengan tersenyum padanya.  "Delia, kamu …, ehm bagaimana mungkin kamu bisa meminta Dilan kerja kembali di sini, dia itu sudah banyak merugikan perusahaan kita," tanya Mas Heru penuh penekanan. Dia menatap tajam ke arah Dilan.    "Itu karena …." Kulihat Lastri ternyata belum keluar juga dari ruangan ini. Dia mengamati kami. "Las, apa butuh bantuan untuk mengemas barangmu itu, dari tadi saya lihat kamu masih terlihat sibuk," ucapku mengusirnya secara halus.   Gerakan tangan Lastri semakin cepat merapikan barang-barangnya dengan kasar, ia bahkan sudah berani menatapku nyalang menunjukkan kemarahannya padaku.   Aku tak peduli. Baru begini saja kamu marah, lalu apa kabar aku yang
Read more
Rencana Memergoki Mereka
  Mas Heru belum juga kembali dari toilet. Aku yang menunggu di dalam ruangannya tiba-tiba juga ingin ke toilet. Lebih baik aku ke toilet dulu menuntaskan hajatku.   Rasanya lega, membuang sesuatu yang terisi penuh akibat kebanyakan minum air pada saat rapat tadi. Baru saja ingin membuka knop pintu toilet untuk keluar, gerakan tanganku terhenti. Ada yang menyebut namaku di luar sana. Kupasang telinga lebih tajam.   "Bu Delia, cantik ya, kok bisa Pak Heru masih kepincut janda gatel." Suara seseorang terdengar sampai ke dalam, membuatku terdiam, dan bergerak pelan. Tidak jadi membuka pintu. Aku mundur ke belakang dan memutuskan kembali duduk diatas toilet. Sepertinya itu suara karyawan di kantor ini. Siapa lagi yang masuk ke toilet kantor kalau bukan karyawannya sendiri. Terdengar banyak bunyi derap sepatu di lantai, artinya ada beberapa orang di luar sana. "Godaannya m
Read more
Memberi Pelajaran untuk keduanya
 "Bagaimana Bu, mungkin Dilan sudah menjelaskan semuanya. Apa Bu Irma bersedia? Waktu saya terbatas," ucapku pada Bu Irma setelah kembali duduk di depannya.   "Maaf, Bu. Saya tidak bisa menyetujui keinginan Bu Delia. Semua kontrak sudah selesai, Pak Heru telah menyelesaikannya dengan baik. Memang benar, Pak Heru minta tiga kali angsuran untuk membayar rumah tersebut, tapi semua sudah disepakati antara penjual dan pembeli, jadi tidak mungkin lagi saya ubah. Bukan wewenang saya. Walaupun Ibu mengimingi saya dengan pembelian kontan," jelasnya.  Aku tersenyum. "Sebenarnya ini mudah saja. Saya menawarkan ke Bu Irma agar Ibu mendapatkan untung juga. Bisa saja 'kan saya pergi ke pemiliknya langsung, dia pasti setuju karena tidak mau berurusan dengan hukum," jawabku lagi sembari melihat ke arloji di pergelangan tangan. Waktuku tidak banyak. Masalah ini harus selesai secepatnya.  "
Read more
Hempaskan mereka
 kotak perhiasan? Apa itu perhiasan ….   "Tidak, itu milikku. Kembalikan! Itu hadiah dari Mas Heru." Lastri merangsek dan ingin mengambil paksa perhiasan tersebut. Namun tidak bisa, karena Dilan mengangkat tinggi tangannya ke atas. Badannya yang lebih tinggi dari Lastri sangat menguntungkannya. Lastri tidak menyerah dengan memaksa melompat-lompat ke atas mencoba menggapai tangan Dilan.   Aku berdiri, mendorong tubuh Mas Heru yang masih duduk bersimpuh hingga ia terjungkal ke belakang karena hentakan lututku.   'maaf Mas, aku tidak sengaja, bukan maksudku mendorongmu.' Kulirik Mas Heru sebentar, lalu mendekati Lastri.    Kutangkap tubuh Lastri dan menghadapkannya ke arahku. Kuamati hingga yakin dengan apa yang sedang kulihat. Lastri mengernyit melihat tindakanku padanya.   La
Read more
Babak Baru, Dimulai
 Sayup masih kudengar suara panggilan Mas Heru, dan teriakan Lastri di dalam rumah ini. Mereka berdua bagai dua kutub yang berseberangan. Satu menyuarakan pengibaan, permintaan maaf, sedangkan satunya penuh hujatan dan caci maki untukku. Tidak kupedulikan kekacauan yang terjadi di rumah ini. Dilan dan Surya pasti bisa mengatasinya.   Aku terus berjalan pelan, melangkah hingga tanpa kusadari langkahku memasuki ruangan yang tampak seperti ruang makan. Ada meja panjang dengan kursi besar mengelilinginya. Aku duduk di salah satu kursi tersebut. Netraku mengitari ruangannya yang megah. Lalu kutelungkupkan wajah ini ke atas meja, bertumpu pada tangan. Aku menangis. Air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya luruh juga, tumpah setelah kepergian mereka, para pengkhianat. Mencoba kuat di depan mereka, agar tidak ditertawakan. Nyatanya hatiku rapuh, tidak sekuat baja.    Kenapa hidupku seperti ini. Hidup
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status