Lahat ng Kabanata ng Terpaksa Jadi Pacar: Kabanata 51 - Kabanata 60
146 Kabanata
Bukan Seperti Ini
"Elu ngomong aja muter-muter! Belajar lagi sono!" maki Lara. Kedua matanya telah mendelik tak keruan, sedangkan tangannya melipat di dada. "Ra ..., aku suka sama Tarissa," aku Ari sembari nyengir kuda. Sontak saja, Lara mengeratkan rahang. Ini kali pertamanya marah karena hak yang tak jelas. Apalagi ini berkaitan dengan sosok yang telah lama mengganggu ketenangannya. Untuk beberapa saat, keduanya masih saling diam. Posisi mereka tak berubah meski sejengkal. Ari yang mendongak pada Lara, sedangkan gadis itu memelototi karyawannya. Lara masih susah mencerna apa yang telah dikatakan Ari. Ada debuman, hantaman, bahkan terasa seperti ledakan kecil dalam dadanya. Sadar suda terlalu lama tergemap, ia mulai berdeham. Mencoba menetralkan keadaan yang sempat canggung akibat ucapan pria tak tau diuntung. "Elu beneran?" Ari enggan menjawab. Kedua matanya menatap lurus pa
Magbasa pa
Gamang
Sepeninggal kepergian Ari, Lara masih menangis sesenggukan. Seluruh tubuhnya masih bergetar di sofa dudukan tiga. Ia sendiri bahkan tak menyangka, jika beginilah akhirnya. Ditatapnya selembar sticky notes legam yang bertuliskan tinta keperakan dalam genggamannya. Sudah dua jam ia berdiam diri, memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi. Lara masih dipasung kebisuan, pun dalam langkah selanjutnya juga penuh keraguan. Padahal, atas inisiatif Ari sendiri, ia mengambilkan Lara laptop dari kamarnya. Pun demikian, dashboard pada kamputer jinjing itu sudah berganti dengan badan surel yang telah terbuka. Kendati demikian, Lara masih enggan untuk menghapus segalanya. Ia masih menatap tulisan yang ada namanya. "Gu-e eng-gak habis pi-kir kalo e-mail dan san-dinya ada na-ma gue," ucapnya terguguk. Sesekali diliriknya layar laptop yang tertidur karena lama tak mendapat perintah. Namun, Lara p
Magbasa pa
Usaha Lara
Dalam ruangan yang didominasi warna putih gading itu tampak seorang gadis yang tengah tertidur pulas setelah diberi obat penenang. Ia yang tak pernah merasa kekurangan, tiba-tiba menjerit tak keruan karena kehilangan pendengaran. Apalagi setelah kepergian pria yang membawanya ke rumah sakit, Lara makin tak terkendali. Meski atau catatan ditinggalkan oleh yang bersangkutan, ia tetap tak ingin ditinggalkan. Ada perasaan takut, cemas, dan kesepian saat ia sama sekali tak mampu mendengarkan. Untuk pertama kalinya, Lara merasa ia benar-benar sendiri meski hartanya dalam genggaman. Hari hampir menjelang pagi saat kedua mata Lara terbuka perlahan. Sayup-sayup ia mendengar dentang jarum jam. Sontak saja ia terduduk, bersila. Perlahan, ia melebarkan telapak tangannya di belakang telinga. Mencoba mendengarkan beberapa suara yang semalam ia rindukan. Lara tersenyum saat tahu, pendengarannya
Magbasa pa
Kepalang Tanggung
"Ari! Buka pintu!" Ari melirik pada jarum jam yang menunjuk ke angka enam, saat gedoran pada pintu kamarnya makin keras. "Cah gemblung!" Ari tak mau peduli, ia kembali menarik selimut tinggi-tinggi sembari memasang earphone pada masing-masing telinga. Tak dihiraukannya suara Rendi yang naik beberapa oktaf, pun dering ponsel yang terus menyalak. "Ari! Gue mau tanya banyak hal! Buka pintunya!" Ari kembali membuka mata, menatap langit-langit kamar sembari mengumpulkan niat untuk sekadar menerima tamu. Ditatapnya Lara yang masih tertidur pulas di sampingnya. "Terus, aku kudu piye iki, Ra?" tanya Ari sembari menekuri tiap lekuk wajah Lara. Bulu mata Lara yang lentik seolah-olah tengah memanggil Ari untuk mendekat. Pun bibir Lara yang penuh terisi meski masih terlihat pucat pasi, seakan-akan punya magnet tersendiri hingga mampu membuat Ari memu
Magbasa pa
No Pisah
Rendi mengernyit heran pada sang kakak yang terlihat salah tingkah. Wajah penuh pesonanya hilang bersama Winaya yang runtuh seketika. "Elu bawa pacar elu tidur di mari?" tanya Rendi tepat sasaran. Suaranya sudah naik dua oktaf. Terkejut dengan sebuah teriakan, Lara yang berada di balik barikade bantal guling membuka mata cepat. Ia mencoba mendengar dan bergerak perlahan. "Iya! Udahlah nggak usah dipermasalahin! Nggak usah repot-repot juga ngeliat siapa dia," ujar Ari sembari kembali beranjak dari sofa. Kedua tangannya melipat di dada seakan-akan membentuk pertahanan kedua. Rendi berdecak kesal, lantas menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Tau gitu nggak gue ganggu." "Nah, tuh, tau." Rendi pun nyengir kuda, lantas menatap sang kakak penuh tanda tanya. "Kalian lagi skidipapan pas gue gedor, ya?" Sontak saja wajah Ari memerah. Dengan canggung
Magbasa pa
Segila Elu
"Awakmu gendeng, aa?"(Kamu gila, kah?) Pertanyaan Ari dengan suara lantang tak membuat Lara mengurungkan niat. Sebaliknya, ia malah tampak bersikeras dengan menunjukkan seringainya. "Segila elu pada awalnya, 'kan?" Ari memijat pelipisnya berulang sembari mondar-mandir, lalu mengembuskan napas dengan kasar. "Jadi, ini bentuk balas dendammu?" Lara mulai bangkit, lalu beranjak ke kamar mandi. Ia tak menghiraukan tatapan Ari yang mulai menggelap bersamaan saat kemeja yang dilucutinya perlahan. Sembari mendendangkan lagu, ia membasahi tubuh tanpa ragu. Sementara itu, Ari yang berada di ranjang makin tak keruan. Ia merutuki kebodohannya sendiri pagi buta tadi. "Ha ... lo?" sapa Ari. Matanya berat untuk sekadar membaca nama yang menghubungi. "Ri?" Mendengar suara yang dikenalnya tengah menahan isak, jelas Ari membuka
Magbasa pa
Hanya Dia
Disembur sedemikian rupa oleh Ari, tentu saja membuat Lara geram. Namun, tak ada emosi yang kini hadir dalam hatinya. Sebaliknya, ia malah tersenyum kuda. "So-sorry, Ra. Ta-tapi maksudmu, kamu bener-bener nabrak Rendi?" tanya Ari antusias. Lara terdiam. Dinikmatinya ekspresi lawan bicaranya yang tersiksa, sedangkan Ari yang tak lagi sabar menunggu jawaban pun hendak beranjak pergi. "Mau ke mana?" "Masih tanya? Ya, jelas mau liat kondisi adekku, lah!" Langkah Ari hampir sampai di daun pintu saat Lara menyilangkan kaki sembari berkata, "Gue yang ditolong Rendi, Ri. Elu buta atau pura-pura nggak sadar? Gue yang pake baju orang pesakitan, kok!" Ari yang bergeming tepat saat tangannya memegang kenop pintu, lantas membalik badan sembari melipat tangan di dada. Ia kembali mendekat dan duduk berhadapan dengan Lara di ranjang. "Terus, ngapain koe ke sini?"&nbs
Magbasa pa
Ancaman
"Persetan, lah, kalo aku ntar telat. Wong bos'e ada di kamarku," umpat Ari yang baru saja tiba setelah memutuskan pergi mencari sarapan. Sebelum anak kunci diputar, Ari menengok ke kiri-kanan demi tetap merahasiakan siapa sosok yang ada dalam kamar. Beberapa penghuni kamar kost yang kebetulan lewat, hanya melempar basa-basi khas para pekerja. Saat dirasa waktunya telah pas, Ari segera memutar kunci dan masuk kamar dengan cepat tanpa meninggalkan jejak. Jantungnya yang berdebar tak keruan malah membuatnya merasa layaknya seorang pencuri yang masuk ke rumah target di siang bolong. "Dari mana, lu?" "Beli na ...." Ucapan Ari tercekat di pangkal tenggorokan saat melihat kondisi biliknya bak kapal pecah. Diedarkannya pandang ke seluruh penjuru kamar, tak ada satu pun ruang tersisa yang bisa dikatakan selamat. "Kenapa?" tanya Lara. Ia yang tengah berada di depan lem
Magbasa pa
Kesetanan
"Mukamu kenapa, Su? Kusut bener!" celetuk Supri saat dilihatnya sang kawan yang baru datang. Ia menunjuk jam dinding dengan dagu ketika mereka bersirobok pandang. "Iyo, ero!" jawabnya kesal. Ari lantas segera pergi ke kantor di mana Pak Daus menanti sebuah jawab atas tanya yang bisa ditebak. Dari bawah, Supri hanya bisa menggeleng lemah. "Kesian, si Ari. Paling juga kecapekan habis nguli semaleman." Ari yang masih mampu mendengar dugaan Supri pun hanya menarik sudut bibirnya sebentar. Ia memejam mata demi mencoba menenangkan diri setelah perdebatan sengitnya pagi tadi. Tok! Tok! Tok! Tanpa menunggu jawaban, Ari segera masuk kantor. Dilihatnya Pak Daus tengah mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja seirama. Kedua matanya menatap tajam pada Ari serupa bilah besi yang siap menghunjam. "Sorry, Pak, a--" Sebuah amplop cokelat muda dilempar begitu
Magbasa pa
Dipecat!
"Koe, 'kan, yang nyuruh Pak Daus buat mecat aku?" tanya Ari. Keduanya kini berada di sebuah warung kopi ternama. Mereka sengaja duduk di pojok ruangan, demi menghindari banyak pandangan. Terlebih, Ari dan Lara berada di daerah yang masih dibilang dekat dengan UKLAKA. Lara tak menimpali tanya dari kekasihnya. Sebaliknya, dengan tenang ia menyesap coffee latte setelah menghabiskan sandwich. "Jawab, Ra!" Kali ini kesabaran Ari telah pada batasnya. Sudah empat kesempatan ia melempar tanya, tapi tak juga diberi jawaban. "Ngapain gue kek gitu, Ri? Rugi kalo gue mecat elu. Meski gila, elu punya kemampuan tinggi." Ari mengernyit, lantas menautkan kedua alisnya bersamaan. "Terus siapa?" "Elu tunggu, aja. Bakalan ada dua kemungkinan, kan, kalo itu bukan keputusan si Daus?" "Menurutmu gimana?" "Daus itu tangan kanan kita. Udah l
Magbasa pa
PREV
1
...
45678
...
15
DMCA.com Protection Status