Semua Bab Misteri Cinta: Bab 11 - Bab 20
48 Bab
Chapter 11
"Bapak nggak mau masuk dulu sebentar? Nggak enak kalau Bapak cuma nunggu di mobil. Nggak sopan, Pak. Saya akan menyusul ke depan sekalian berpamitan." "Oke. Saya akan menunggu di teras." Setelah Badai mematikan panggilannya, Ochi mencoba memutar otak agar bisa terbebas dari suasana tidak mengenakkan ini tetapi dengan cara yang sopan. "Ehm, Tante. Saya permisi pulang dulu ya, Tan? Soalnya saya sudah dijemput." Empat kepala langsung menoleh. Mereka menatapnya dengan pemikiran yang berbeda-beda. Belum sempat Tante Marini menjawab, ponselnya berbunyi. Satpam memberitahukan ada orang yang ingin menjemput Oceania, dan meminta izin masuk. Tante Marini membolehkan, karena
Baca selengkapnya
Chapter 12
Sepanjang lorong menuju kamar jenazah rumah sakit, Badai terus saja menggenggam telapak tangan Ochi. Sebenarnya Badai tidak tega membawa Ochi untuk melihat jenazah orang bunuh diri. Apalagi dengan cara menembak kepalanya sendiri. Sudah pasti penampakannya tidak manusiawi, dengan kepala bolong dan otak yang berceceran. Tetapi apa boleh buat, tugas tetaplah tugas. Semakin cepat benang merahnya ditarik, maka semakin cepat pula kasus terkuak. Di depan pintu yang bertuliskan kamar jenazah, suhu yang mendadak terasa sangat dingin. Tampak Elang Pramudya telah berdiri di sana bersama dengan AKBP Reihard Ratulangi, reserse devisi kriminal. "Ayo kita langsung saja mengidentifikasi jenazah. Mudah-mudahan saja Ibu dapat mengenalinya. Tolong beri kami satu clue saja, Bu." Elang mensejajari langkah Ochi di sebelah kiri, sedangkan Badai di sebelah kanannya. Dalam diam mencoba memberi kekuatan dalam genggaman tangannya.
Baca selengkapnya
Chapter 13
"Ini ceritanya Bapak mau melamar saya atau bagaimana?" dengkus Ochi kesal."Ya kamu dong niatnya tadi bagaimana? Minta gaji saya setiap bulan 'kan? Ya kalau begitu konsekuensinya kamu harus mengurus kebutuhan lahir batin saya juga setiap bulannya? 'Kan semua uang saya, sudah saya alokasikan keseluruhannya buat kamu?" sahut Badai datar. Ochi melirik ke samping. Ia bingung dalam mengartikan. kata-kata Badai. Badai ini susah ditebak. Terlebih lagi air mukanya tidak membiaskan apapun yang ada dalam hatinya.Karena Ochi tidak menjawab, Badai mulai menekan persnelling dari posisi P ke posisi D. Mobil pun mulai kembali melaju membelah kepadatan lalu lintas di sore hari yang mendung itu.Penasaran, Badai melirik Ochi yang terdiam sambil memainkan tali tote bagnya. Gadis ini terlihat biasa- biasa saja setelah ditembak eh lebih tepatnya dibom oleh pernyataan seriusnya tadi. Tidak ada sedikitpun ta
Baca selengkapnya
Chapter 14
"Jadi pada tanggal 20 Desember Anda sedang berada di mana Pak Singgih?" Elang Pamudya menumpangkan kedua tangannya ke paha. Sedangkan tubuhnya sedikit dicondongkan kearah Singgih dengan tatapan menyelidiknya. Elang memang terkenal dengan tatapan setajam elangnya. Kadang para pesakitan nyaris tidak kuasa untuk menatap matanya, apabila sedang berbohong."Saya ada di Fifth Avenue, Pak. Untuk membeli hadiah ulang tahun istri saya." Singgih masih berupaya mempertahankan alibi lamanya.Lo jual gue beli deh! Batin Elang."Benar begitu, Ibu Gendis?" Elang mengalihkan pandangan pada Gendis."Begitulah menurut pengakuan suami saya tercinta saat ini," sahut Bu Gendis kalem.Ibu Gendis menjawab singkat tetapi penuh dengan makna. Emak-emak kalau sudah dalam keadaan emosi, telur digenggaman pun bisa matang, terkena panasnya amarah."
Baca selengkapnya
Chapter 15
"Dai, gue ada di Timor Kupang Pati 8-1-10. Satu Bandung Umar Solo berisi tiga puluh empat anak yang akan rekreasi, berangkat dari sekolah. Satu orang masih dalam keadaan 8-1-1. Semua organ dalam lenyap. Sayatan halus dan rapi khas JK. Gue butuh lo untuk memastikan jenis pisau dan sayatannya. Kita berhadapan dengan orang gila kedua setelah JK ini sepertinya, Dai. Orang ini pasti anak buahnya JK. Gila, sudah mati pun ternyata dia masih menyusahkan kita juga.""Gue penasaran dengan kasus ini. Bukannya gue bermaksud merebut lahan lo. Tapi gue merasa ini adalah sisa-sisa tugas gue yang masih ada buntutnya. Ini pertarungan gue, Lang. Kali ini gue yang akan turun. Gue yang akan mohon sendiri ke Timor Bandung Satu. Walaupun gue seharusnya nggak mengurusi hal-hal seperti ini lagi, tapi khusus kasus human trafficking dan penjualan organ tubuh ini, gue yang akan maju. Gue seperti punya hutang pribadi yang harus dituntaskan
Baca selengkapnya
Chapter 16
DHUAAARRR!!!!Ochi yang berjalan kearah mobil untuk mengambil kunci yang ketinggalan di dalam tas, sekonyong-konyong melompat kaget. Ia  mendengar suara ledakan yang begitu memekakkan telinga. Tanah yang dipijaknya bergetar dan menimbulkan teriakan massal dari orang-orang yang berada di sekitar lokasi ledakan. Mereka terlihat panik dan ketakutan. Orang-orang berlarian  berusaha saling menyelamatkan diri.Dengan mata kepalanya sendiri, Ochi melihat Badai melompat dan langsung tiarap, saat pintu kayu jati rumahnya tercabik-cabik menjadi serpihan-serpihan kecil. Bahkan dinding rumahnya tampak sedikit berlubang akibat kuatnya ledakan.Ochi memperhatikan tubuhnya sendiri. Beberapa serpihan kayu dan debu menggores pipi dan beberapa bagian kulit luar tubuhnya. Lengannya luka-luka, seperti terkena serpihan logam. Kepalanya juga terkena serpihan beton tembok yang membuatnya pusing seketika.Ketik
Baca selengkapnya
Chapter 17
"Pak...""Hmmmm..""Tadi Bapak bertengkar ya dengan Pak Elang? Karena saya?""Bukan karena kamu, Sayang. Tapi karena perasaan saya terhadap kamu."Badai membalikkan tubuhnya menjadi saling berhadapan dengan Ochi. Ia ingin menyampaikan suatu berita yang mungkin akan segera diputuskan oleh Timor Bandung I atas kasus Ochi. Dia ingin menyampaikan kemungkinan terburuk bagi hubungan mereka berdua, tetapi kemungkinan terbaik bagi kesatuannya."Seperti yang pernah saya katakan dulu, kamu itu sebenarnya adalah tanggungan Elang dan kesatuannya di Detasemen Khusus 88. Saya ini hanyalah pengganti dirinya yang kala itu yang memang sedang cuti karena istrinya sedang melahirkan.""Densus 88 itu apa sih, Pak? Kenapa saya harus menjadi tanggung jawab mereka?""Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara kita, Ochi. Densus 88 ini, me
Baca selengkapnya
Chapter 18
Ochi sedikit heran saat mendapati kondisi rumah orang tuanya dalam keadaan yang sepi-sepi saja. Seperti tidak ada orang di dalam rumah. Biasanya setiap sore menjelang malam begini, ayahnya suka sekali duduk di teras rumah, sambil menikmati semilir angin sore. Apalagi jika ditemani dengan secangkir kopi hitam kesukaannya.Tok! Tok! Tok!"Ayah! Ibu!" Ochi mulai memanggil-manggil kedua orang tuanya. Namun tidak terdengar sahutan sama sekali. Setelah cukup lama menunggu dan tidak mendapatkan jawaban sama sekali, akhirnya Ochi memutuskan untuk masuk dan menunggu mereka di dalam rumah saja. Seingatnya, ia masih memiliki kunci cadangan di tasnya. Sepertinya memang kedua orang tuanya sedang keluar rumah. Sakit-sakit begini malah keluyuran. Apakah mereka berdua sedang ke rumah sakit ya? Batin Ochi.Ochi merogoh-rogoh sisi terdalam tasnya. Mencari-cari kunci rumah cadangan yang syukurnya ada di dalam tas. Ochi pun segera ma
Baca selengkapnya
Chapter 19
"Astaga, ada apa ini? Lho Banyu, kamu kenapa ini Nak? Kok kamu bisa sampai babak belur begini?"Bu Ranti kaget saat tiba di rumah malah menjumpai Ochi, Banyu dan dua orang polisi sudah ada di dalam ruang tamu rumahnya. Apakah rumahnya mendapatkan ancaman teror bom juga, batinnya. Tetapi kenapa tangan Banyu bentuknya agak aneh, dan wajahnya babak belur seperti habis dikeroyok massa seperti ini?"Akhhhhhh... Aduhhh!!"Banyu kesakitan saat Bu Ranti mencoba meraih tangannya untuk membantunya berdiri. Bu Ranti kasihan melihat Banyu terduduk kesakitan di lantai. Bu Ranti tidak tahu kalau tangan Banyu telah dipatahkan Badai dalam arti yang sebenar-benarnya."Tangan kamu kenapa, Nyu? Astaghfirullahaladzim! Tangan kamu patah ya, Nak?"Banyu mengangguk sambil meringis kesakitan. Ibu Ranti ini tidak tahu, bahwa dirinya baru saja siuman setelah dihajar polisi kampre* ini. Tatapan Ban
Baca selengkapnya
Chapter 20
Ochi sedang bersiap-siap berangkat mengajar, saat mendengar suara tangisan bayi dari arah kamar Elang. Ochi tadi melihat bahwa baby sitter yang biasa merawat baby Nuri, sedang membantu Bu Gading, istri Pak Elang mandi. Pak Elang pasti kebingungan disuruh mengurus bayi merah seorang diri yang sedang menangis kencang pagi-pagi.Tok! Tok! Tok!"Masuk saja, tidak dikunci."Ochi pun mendorong pintu kamar Elang. Ochi berusaha menahan tawa, saat melihat polisi macho seperti Elang menyanyikan lagu Aku Seorang Kapiten. Elang bernyanyi dengan suara kencang, lengkap dengan tarian ala ala militernya. Bukannya diam, baby Nuri kini malah menangis semakin kencang, yang membuat papanya jadi semakin kebingungan."Duh, anak cantik kok nangis sih? Suara Papa nggak bagus ya, Nak? Apalagi tariannya ya, Sayang? Mirip apa coba? Mirip ceetah ya? Ayo sini Tante gendong aja ya?
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status