All Chapters of Brother Luck(not): Chapter 31 - Chapter 40
139 Chapters
Jealous
Aku mengerjap meresapi kenyataan tertidur selama tiga jam. Seharusnya tadi aku bisa tetap terjaga hingga dua jam ke depan. Seharusnya aku sudah menemui Axe satu jam yang lalu seperti yang Edward katakan. Sialnya rasa kantuk tak bisa diajak bernegosiasi. Aku terlelap begitu saja usai kembali ke dalam kamar. Lelah. Itu yang aku rasakan setelah meninggalkan taman penuh adegan memilukan.Kusibak selimut yang menutup hampir seluruh tubuhku, begitu semangat ingin menemuinya. Aku ingin memastikan kalau Axe masih terkontrol oleh ucapanku beberapa hari lalu. Aku takut dia kembali melukai dirinya seperti yang sudah – sudah.“Tuan tidak ada di dalam, Nona.” Suara berat yang tak asing itu berhasil membuatku mengalihkan perhatian. Edward berdiri tidak jauh dari kamar Axe. Mungkin dia tahu kalau aku akan menemui tuannya di sini.“Ke mana dia?”Aku berusaha menetralkan jantungku yang bertalu hebat setelah mendengar pernyataan Edward. Kalau Axe tidak ada di kamarnya, lalu ke mana dia?
Read more
Nightmare
“Kenapa memangnya? Kau cemburu?” Mendadak aku menatap Axe horror setelah mendengar dua kata terakhirnya.Aku cemburu?Apa benar?Aku hanya merasa hatiku sedikit tercabik saat melihat Syalasa menggoda Axe menggunakan kakinya. Di pikiranku waktu itu terus mengulang sebuah kalimat agak nyeleneh, bagaimana kalau Axe tergoda olehnya? Syukurlah kala itu Axe malah menolak dengan sedikit melangkah mundur. Sehingga perasaanku yang agak memanas bisa terkendali.“Look at me.” Axe menarik wajahku menegak ke arahnya. Tatapan kami kembali bertemu, membuatku cukup gelagapan. Bukannya apa. Jantungku bertalu – talu di dalam sana. Bagaimana kalau Axe bisa mendengarnya?“Aku belum pernah menyentuh wanita manapun. Only you. You own me for the first time too.”Aku menatap Axe tidak percaya. Apa maksudnya bicara begitu padaku. Apa dia benar – benar berpikir aku cemburu? Itu tidak mungkin. Aku berusaha meny
Read more
Best Moment
Aku mengerjap merasakan pergerakan kecil di sampingku, dan ketika mataku terbuka. Hal pertama yang kulihat adalah wajah rupawan yang tampak polos saat sedang tertidur. Terdengar dengkuran kecil dari bibir Axe yang sedikit terbuka. Demi apa pun, dia sangat sexy sekaligus menggemaskan dalam keadaan begini. Apalagi surai cokelat halusnya mulai memanjang nyaris menyentuh mata. Sedikit tersenyum aku menyugar rambutnya ke atas. Sekarang dahinya tampak jelas tanpa gangguan. Aku berdehem menyadari kain kompres keningnya sudah jatuh ke samping. Mungkin semalam Axe bergerak hingga benda itu tidak bertahan lama di sana.“Sudah puas memandangku?” tanyanya dengan suara semakin serak dan dalam khas bangun tidur.“Sudah,” jawabku merasa semburat merah di pipi muncul.“Thank you.” Axe menatapku dalam. Tak lama senyum di wajah terukir bersamaan dengan lesung di sisi kiri dan kanan.“Do you feel better?”“Ya. Better than ever.”Axe menarikku lalu merengkuh tubuhku ke dalam
Read more
Anger
Mataku membulat penuh melihat layar monitor yang menampilkan informasi tentang berita kematian Syalasa di dalam gedung apartemen, gadis itu diduga bunuh diri karena merasa frustrasi terhadap isu – isu negatif dari sang ayah yang sedang terlibat skandal gelap bersama wanita malam.Napasku mengembus kasar mengingat bukan seperti itu kejadiannya. Gadis itu jelas mati di tangan Axe. Tapi media malah menyebarkan berita palsu. Atau, tunggu dulu. Apa berita palsu itu adalah konspirasi agar Axe tidak terjerat kasus hukum?“Tidak bermutu!”Layar monitor tv itu mati total dengan remote yang dibanting ke sembarang arah. Terlihat Axe berdiri menatapku tak suka. Dia sudah selesai dengan urusannya? Pertanyaan retoris itu jelas tak perlu harusnya.“Apa yang kalian lakukan dengan jasad Syalasa?”Kata kalian sudah pasti berhubungan dengan Axe dan Edward. Apalagi Edward orang terakhir yang kulihat mengurus jasad Syalasa.“Itu hanya hal
Read more
Drama
Belum sempat aku menyudahi keterkejutanku. Suara derap kaki dari luar ikut membuat debaran kuat itu semakin menjadi. Tubuhku tiba – tiba terasa kaku. Aku benar – benar mematung berharap seandainya waktu bisa dihentikan.Mataku sungguh terpejam erat mendengar suara knop pintu. God. Help me. Jangan sampai itu Axe. Jantungku hampir copot membayangkan kalau pria itu benar – benar ke sini.“Nona, apa yang Anda lakukan di kamar tuan.”Tubuhku langsung merosot lega. Syukurlah kalau itu Edward.“Axe tidur di kamarku. Jadi aku berinisiatif merapikan kamarnya.”Edward menatapku curiga. Matanya menyipit melihat buket berisi ancaman itu. Langkahnya perlahan mendekatiku. Rasanya aku ingin berlari, tapi tubuhku mendadak beku. Diam—melihatnya semakin dekat, hanya itu yang bisa kulakukan. Hingga buket bunga di tangaku kini beralih padanya. Edward menariknya dariku.“Setengah jam yang lalu tuan mengirimi saya pesan u
Read more
His Another Anger
Napasku terembus kasar melihat Axe hanya berdiri kaku di samping etalase perlengkapan lukis. Pria itu menatapku diam dengan tangan terlipat di depan dada. Sepertinya dia masih memikirkan sikapku yang mendadak berubah. Sepanjang perjalanan menuju ke sini, Axe terus mencecarku dengan pertanyaan. Sungguh. Apakah semua laki – laki itu tak pernah sadar akan kesalahan mereka? Terakhir kami di kantor, aku langsung mendorong tubuhnya agar memiliki akses melangkah. Aku tak mau menjadi santapan publik lebih tepatnya. Para karyawan Axe pasti menilaiku sebagai wanita penggoda. Apalagi salah satu dari mereka benar – benar menatapku tak suka. Tatapannya jelas mengatakan dia kesal aku berada di samping Axe. Mungkin dia menyukai Axe. Ntahlah, aku malas memikirkan hal itu. Lebih baik sekarang kubawa barang belanjaanku ke depan. Setelahnya aku bisa beristirahat, lelah juga terlalu lama berada di luar.“Terima kasih kembali,” kataku ketika pegawai berpakaian rap
Read more
Upset
Berkali – kali aku mengusap wajahku hanya karena air mata tak mau berhenti mengalir. Kondisiku masih sama. Duduk menekuk menyesali kejadian hari ini. Hatiku sakit mengingat perlakuan kasar Axe padaku. Sungguh. Aku masih merasakan nyeri di bawah tubuhku akibat sentakan kerasnya. Syukurlah aku tidak mengalami pendarahan.Napasku terembus kasar. Sebenarnya aku enggan bangkit membersihkan diri. Tapi benih Axe yang menempel membuat tubuhku terasa lengket.Mataku memejam begitu menyentuh air di dalam bath up. Rasa lega seketika menyergap dada. Ketenangan seperti ini yang aku butuhkan, hening dan diam. Seandainya kedamaian seperti ini bisa selalu aku dapatkan. Mungkin air mataku tidak akan terbuang sia – sia.“Apa kau ingin mati mengenaskan di situ?” Suara serak dan dalam miliknya tiba – tiba datang menginterupsi. Aku tak akan bisa tenang kalau Axe terus menggangguku.“Pergilah. Biarkan aku sendiri!” Aku bicara tanpa melihat ke
Read more
Far Away
“Tuan pergi ke Moscow, Nona.”Telingaku seketika berdenging mendengar penuturan Edward.Tunggu dulu.Apa maksudnya?Apa Axe tidak ada di sini, di mansionnya, begitu? Why? Pagi tadi aku masih melihatnya. Bahkan dia menolakku untuk mendekatinya. Keadaannya sama sekali tidak mendukung Axe untuk berpergian jauh. Apalagi Rusia. Butuh waktu berjam – jam dari sini sampai ke sana.“Kau becanda, Ed? Tadi pagi dia ada di sini, agak mabuk pula.”“Tidak, Nona. Tuan memang sudah pergi satu jam yang lalu. Dan ya, tuan sudah tidak mabuk sebelum berangkat.”“Tapi dia tidak memberitahuku!”“Maaf, Nona. Perjalanan Tuan sangat mendesak. Ada masalah kecil di cabang perusahaannya.”“Kecil katamu, Ed?” tanyaku mendelik tak percaya.Yang benar saja. Kalau kecil Axe tidak mungkin pergi terburu – buru begitu. Setidaknya Axe bisa bicara padaku. Oh, aku lupa. Pria itu juga seda
Read more
Come Back
Sudah satu minggu Axe pergi meninggalkanku sendiri bersama Edward di sini. Selama itu pula tidak ada kabar darinya. Axe tidak menghubungiku, aku pun tak berani mengganggunya sekadar mengirim pesan—bertanya bagaimana kabarnya selama berada di sana. Soal Edward? Pria itu sibuk menggantikan posisi Axe. Edward yang mengurus segala urusan kantor selama Axe pergi. Aku pernah mencari tahu tentangnya melalui Edward. Sayang sekali Axe juga tidak menghubungi tangan kanannya. Dia seperti hilang ditelan bumi, jejaknya tak terendus oleh apa pun.Jujur, ada sedikit kehilangan di dalam hatiku saat pria itu tidak berada di sini, di sampingku. Aku merasa hampa. Mungkin karena sudah terbiasa bersamanya, sehingga saat Axe tidak ada—dadaku dipaksa merindukannya.Mataku memejam merasakan setiap tarikan napasku yang terasa lelah. Apa sebaiknya aku pergi dari sini. Meninggalkan mansion ini karena sekarang adalah waktu yang tepat. Aku bisa memanfaatkan Edward untuk membukak
Read more
Art
“Bukan begitu caranya pegang kuas!” protes Axe melihat posisi tanganku yang jauh dari kata benar.“Jangan ditekan,” ocehnya begitu cerewet.Dia tidak tahu. Aku sengaja terlihat salah di matanya, dan—jackpot! Keputusanku benar. Axe terlihat sangat mendalami teknik dasar menggambar ataupun melukis. Bisa kusimpulkan bahwa gambar usang itu memang miliknya. Aku juga ingat kalau Axe begitu takut dengan burung. Gambar yang kulihat dengan ketakutan Axe terhadap burung jelas berkesinambungan. Tidak salah lagi, Axe adalah anak kecil yang mengutarakan rasa sedihnya ke dalam sebuah karya seni. Tapi kenapa? Apa selama tinggal bersama paman Danial dia tidak bahagia? Tidak mungkin! Paman Danial sendiri mengatakan padaku kalau dia sangat menyayangi Axe seperti anaknya kandungnya.“No. Not like that, baby girl.”Aku terlonjak begitu Axe memegang tanganku untuk diarahkan cara membalurkan warna ke dalam kanvas.“Kau melamun?” tanyanya tepat di samping telingaku.“Ti—tidak. A
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status