Napasku terembus kasar melihat Axe hanya berdiri kaku di samping etalase perlengkapan lukis. Pria itu menatapku diam dengan tangan terlipat di depan dada. Sepertinya dia masih memikirkan sikapku yang mendadak berubah. Sepanjang perjalanan menuju ke sini, Axe terus mencecarku dengan pertanyaan. Sungguh. Apakah semua laki – laki itu tak pernah sadar akan kesalahan mereka?
Terakhir kami di kantor, aku langsung mendorong tubuhnya agar memiliki akses melangkah. Aku tak mau menjadi santapan publik lebih tepatnya. Para karyawan Axe pasti menilaiku sebagai wanita penggoda. Apalagi salah satu dari mereka benar – benar menatapku tak suka. Tatapannya jelas mengatakan dia kesal aku berada di samping Axe. Mungkin dia menyukai Axe. Ntahlah, aku malas memikirkan hal itu. Lebih baik sekarang kubawa barang belanjaanku ke depan. Setelahnya aku bisa beristirahat, lelah juga terlalu lama berada di luar.“Terima kasih kembali,” kataku ketika pegawai berpakaian rapBerkali – kali aku mengusap wajahku hanya karena air mata tak mau berhenti mengalir. Kondisiku masih sama. Duduk menekuk menyesali kejadian hari ini. Hatiku sakit mengingat perlakuan kasar Axe padaku. Sungguh. Aku masih merasakan nyeri di bawah tubuhku akibat sentakan kerasnya. Syukurlah aku tidak mengalami pendarahan.Napasku terembus kasar. Sebenarnya aku enggan bangkit membersihkan diri. Tapi benih Axe yang menempel membuat tubuhku terasa lengket.Mataku memejam begitu menyentuh air di dalam bath up. Rasa lega seketika menyergap dada. Ketenangan seperti ini yang aku butuhkan, hening dan diam. Seandainya kedamaian seperti ini bisa selalu aku dapatkan. Mungkin air mataku tidak akan terbuang sia – sia.“Apa kau ingin mati mengenaskan di situ?” Suara serak dan dalam miliknya tiba – tiba datang menginterupsi. Aku tak akan bisa tenang kalau Axe terus menggangguku.“Pergilah. Biarkan aku sendiri!” Aku bicara tanpa melihat ke
“Tuan pergi ke Moscow, Nona.”Telingaku seketika berdenging mendengar penuturan Edward.Tunggu dulu.Apa maksudnya?Apa Axe tidak ada di sini, di mansionnya, begitu? Why? Pagi tadi aku masih melihatnya. Bahkan dia menolakku untuk mendekatinya. Keadaannya sama sekali tidak mendukung Axe untuk berpergian jauh. Apalagi Rusia. Butuh waktu berjam – jam dari sini sampai ke sana.“Kau becanda, Ed? Tadi pagi dia ada di sini, agak mabuk pula.”“Tidak, Nona. Tuan memang sudah pergi satu jam yang lalu. Dan ya, tuan sudah tidak mabuk sebelum berangkat.”“Tapi dia tidak memberitahuku!”“Maaf, Nona. Perjalanan Tuan sangat mendesak. Ada masalah kecil di cabang perusahaannya.”“Kecil katamu, Ed?” tanyaku mendelik tak percaya.Yang benar saja. Kalau kecil Axe tidak mungkin pergi terburu – buru begitu. Setidaknya Axe bisa bicara padaku. Oh, aku lupa. Pria itu juga seda
Sudah satu minggu Axe pergi meninggalkanku sendiri bersama Edward di sini. Selama itu pula tidak ada kabar darinya. Axe tidak menghubungiku, aku pun tak berani mengganggunya sekadar mengirim pesan—bertanya bagaimana kabarnya selama berada di sana.Soal Edward? Pria itu sibuk menggantikan posisi Axe. Edward yang mengurus segala urusan kantor selama Axe pergi. Aku pernah mencari tahu tentangnya melalui Edward. Sayang sekali Axe juga tidak menghubungi tangan kanannya. Dia seperti hilang ditelan bumi, jejaknya tak terendus oleh apa pun.Jujur, ada sedikit kehilangan di dalam hatiku saat pria itu tidak berada di sini, di sampingku. Aku merasa hampa. Mungkin karena sudah terbiasa bersamanya, sehingga saat Axe tidak ada—dadaku dipaksa merindukannya.Mataku memejam merasakan setiap tarikan napasku yang terasa lelah. Apa sebaiknya aku pergi dari sini. Meninggalkan mansion ini karena sekarang adalah waktu yang tepat. Aku bisa memanfaatkan Edward untuk membukak
“Bukan begitu caranya pegang kuas!” protes Axe melihat posisi tanganku yang jauh dari kata benar.“Jangan ditekan,” ocehnya begitu cerewet.Dia tidak tahu. Aku sengaja terlihat salah di matanya, dan—jackpot! Keputusanku benar. Axe terlihat sangat mendalami teknik dasar menggambar ataupun melukis. Bisa kusimpulkan bahwa gambar usang itu memang miliknya. Aku juga ingat kalau Axe begitu takut dengan burung. Gambar yang kulihat dengan ketakutan Axe terhadap burung jelas berkesinambungan. Tidak salah lagi, Axe adalah anak kecil yang mengutarakan rasa sedihnya ke dalam sebuah karya seni. Tapi kenapa? Apa selama tinggal bersama paman Danial dia tidak bahagia?Tidak mungkin! Paman Danial sendiri mengatakan padaku kalau dia sangat menyayangi Axe seperti anaknya kandungnya.“No. Not like that, baby girl.”Aku terlonjak begitu Axe memegang tanganku untuk diarahkan cara membalurkan warna ke dalam kanvas.“Kau melamun?” tanyanya tepat di samping telingaku.“Ti—tidak. A
“Bridgette, baby!”“Buka pintunya!”“Kau tahu aku tidak suka diabaikan!”Kalimat – kalimat darinya kuanggap sebagai angin lalu. Untuk saat ini aku tidak mau berurusan dengannya. Aku ingin sendiri. Menenangkan pikiran dan menyembuhkan luka hati akibat dari ucapannya.“Buka atau kudobrak pintunya!” ancamannya dari luar.Aku memang mengunci pintu kamarku. Sudah kubilang, aku ingin sendiri!“Jangan mengujiku, Bridgette!”Kutenggelamkan wajah dan menutup telinga dengan bantal. Persetan dengannya. Aku sudah tak peduli akan apa yang Axe lakukan nanti. Dia mau menghukumku lagi atau tidak, terserah!“Sialan kau, Bridgette!” umpatnya bersamaan dengan tubuhku ditarik paksa menatap tubuhnya yang sudah menjulang tinggi di depanku.Secepat itu Axe mendobrak pintu? How come? Aku bahkan tidak mendengar suara gebrakan darinya.“Kau ingin aku menghukummu lagi, hu
“Dengarkan aku baik – baik. Kartu merahmu ada bersamaku, Mr. Florenso. Sekarang sebaiknya kau bawa cecunguk itu pergi dari sini. Aku muak melihat wajah kalian.”Axe mengakhiri kalimatnya dengan melangkah ke arahku. Begitu melihat kedua orang itu pergi, di mana si kepala prontos berjalan tertatih – tatih. Dia langsung berjongkok di hadapanku. Memberikan tatapan penuh rasa bersalah.Tak mau melihatnya, aku segera memalingkan wajah. Hatiku terasa diremas – remas setiap kali mengingat bahwa Axe – lah yang membawaku ke tempat seperti ini.“Lihat aku.”Dia menangkup wajahku pelan. Tatapan penyesalan darinya begitu kentara. Benarkah apa yang kulihat? Kenapa hatiku menolak percaya. Jika Axe peduli padaku, dari awal dia tidak akan memilih jalan seperti ini untuk menghukum.“Kenapa kau membiarkan mereka menyentuhmu?”Sebenarnya apa yang ada di dalam isi kepala Axe? Dia berharap aku melawan dan mendapat lebih banyak pukulan, begitu?Aku sungguh tidak mengerti apa maunya. J
“Kau baik – baik saja, Axe?” tanyaku usai melihatnya berjalan lesuh menghampiriku. Axe menjadi lebih diam setelah melakukan konsultasi dengan psikiater. Awalnya kami pergi menemui salah satu psikolog ternama. Tapi justru Axe dirujuk karena berdasarkan hasil diagnosis, pria itu butuh penanganan lebih serius.Tadinya Axe marah dan menolak pergi menemui psikiater, dia muak harus melakukan perjalanan yang memakan waktu lebih banyak. Syukurlah dengan kesabaranku, aku bisa membujuknya hingga menurut.Psikiater yang menangani Axe sebelumnya melakukan beberapa pemeriksaan. Axe harus melewati sesi wawancara, pemeriksaan fisik, serta mengisi kuesioner sebagai keperluan skrining dan penilaian dokter.Cukup lama bagiku menunggu proses tersebut. Ketika hasil diagnosis keluar. Aku harus menekan rasa sedih di hatiku dalam – dalam. Axe dinyatakan mengindap Bordeline Personality Dirsorder atau gangguan kepribadian ambang. Di mana gangguan mental tersebut mempen
“Axe.”Aku kembali mengetuk pintu kamarnya. Sejak insiden di dapur tadi, pria itu sama sekali tidak keluar kamar. Dia sungguh seperti gadis perawan yang sedang marah karena permintaannya tidak dituruti. Bahkan sudah dua kali aku berdiri di depan pintu kamarnya dan dia sama sekali tidak berniat membukakan pintu untukku.Sebenarnya bisa saja aku menekan knop pintu untuk memastikan keadaannya, ntah pintunya terkunci atau tidak. Cuma kalimat terakhir darinya waktu kami berada di roof top masih terngiang – ngiang. Aku tidak boleh lancang, statusku di matanya hanya seorang penghangat ranjang.“Axe.”Masih belum ada jawaban. Oh, ayolah. Sekarang sudah hampir jam tujuh malam. Apa Axe ingin melewatkan makan malam dan tak ingin meminum obatnya?“Aku akan masuk kalau kau tidak mau membukakan pintu untukku,” ancamku meski tak ada balasan sama sekali.Apa yang Axe lakukan di dalam hingga tak meresponku?Tak mau me