All Chapters of Sang Pengawal: Chapter 21 - Chapter 30
212 Chapters
Part 21
Bisik-bisik itu terus saja terdengar. Semuanya tampak berlomba untuk membicarakan tentang keributan antara orang baru itu dan gank mata pedang. “sebenarnya siapa orang itu?” Semuanya mulai bertanya-tanya siapa sebenarnya orang yang membuat keributan dengan Gank Mata Pedang. Apa yang mereka lihat benar-benar sebuah kejutan. Dwayne, salah satu anggota Gank Mata Pedang mencoba untuk duduk perlahan-lahan. Benturan yang baru saja dialaminya terasa sangat keras. Entah ia jatuh dari ketinggian berapa. Pria berkepala pelontos itu merasakan nyeri pada bagian siku dan punggungnya, “Ugh apa yang terjadi, apa teman-temanku juga mengalami hal yang sama denganku?” gumamnya bertanya-tanya. Perlahan ia mulai berdiri dengan susah payah. Ia pun harus memegangi lututnya seperti orang tua yang sudah mengalami keropos pada tulang lutut ataupun punggung.
Read more
Part 22
Dwayne hanya diam saat mendengar teriakan Boz. Ia masih tidak bisa mempercayai apa yang baru saja ia alami. Max sendiri melirik jam pada pergelangan tangannya, dan mengangguk, tak lama lagi waktunya kedua anak kecil itu pulang, dan seharusnya ia berada tepat di depan gerbang. Ini adalah kebiasaan saat ia masih hidup sebagai seorang Ernest. Setiap kali menjemput kedua putra putrinya, ia selalu ingin berada di barisan terdepan, dan membuat mereka berpikir kalau ayahnya selalu ada untuk mereka. Kebiasaan ini tak pernah ditinggalkan oleh Ernest, ia rela menunda meeting, dan mengosongkan agenda di saat jam pulang sekolah kedua anaknya, dan ia sendiri yang menyetir mobilnya. Setelah selesai mereka akan mampir ke Cafe Sera untuk menikmati kudapan. “Dwyane, apalagi yang kau tunggu. Jangan biarkan ia menuju gerbang sekolah dan membuat martabat kita hancur!” teriak Boz sekali lagi. Dwayne tak menya
Read more
Part 23
Ketiga anak buah Boz langsung mendongak begitu melihat apa yang ada di hadapan mereka. Sekali lagi sebuah kejutan pun menanti. Tak ayal kejutan itu membuat mereka berempat mulai gemetar. Tak satu pun dari mereka berani berbicara, bahkan untuk membuka mulut saja rasanya sangat berat seolah-olah terkunci rapat. Bahkan keringat pun mulai mengucur dari dahi mereka secara perlahan. “Apa kalian memang sangat hobi untuk berkelahi?” tanya Max. Sepeninggal Dwayne, ia pun memperhatikan lelaki itu diam-diam. Max bermaksud untuk berjaga-jaga apakah mereka akan melakukan serangan kedua kalinya. Pengawal muda itu pun mulai melipir dan mencuri dengar apa yang dikatakan oleh mereka. Begitu mendengar apa yang dibicarakan oleh Gank Mata Pedang, nuraninya pun mulai tergerak untuk membantu Dwyane yang hendak dihajar oleh mereka. Max pun langsung mendekat ke arah mereka dan menahan kedua
Read more
Part 24
Hari masih terik, masih terlalu awal untuk bermimpi, tapi apa yang didapat Max kali ini benar-benar seperti mimpi. Empat orang itu langsung berlutut di hadapannya, dengan kepala yang menunduk. “Apa yang kalian lakukan?” tanya Max sambil merapatkan kedua laisnya yang tebal. “Kami bersalah, kami telah berlaku sombong dan semena-mena terhadapmu, juga beberapa pengawal yang lain. Kami minta maaf,” Max melirik ke arah Dwayne yang juga berlutut sama seperti yang lainnya. “Dwyane, bukankah kau sudah meminta maaf padaku tadi, Lagipula kenapa kalian semua harus berlutut seperti ini, cepat berdiri!” perintah Max. “Ma … maafkan kami, kami tak akan berdiri sebelum kau memaafkan apa yang telah kami perbuat,” jawab mereka serempak. “Hmm sudah … sudah, berdiri semua. Kalian kumaafkan,” balas Max kemud
Read more
Part 25
Tanpa melihat, Max pun mengambil kotak tissue yang ada di sampingnya dan memberikan pada kedua anak kecil yang duduk di kursi belakang. Sebagai seorang ayah, tentu ia tak tega melihat kedua buah hatinya menangis. “Terima kasih Paman,” jawab si kecil Daniel. Max hanya mengangguk, dan sebisa mungkin tidak melihat narrow mirror di depannya. Ia tak ingin misinya gagal karena terbawa perasaan dengan kedua anak di belakangnya. “Dulu ayahku sering mengajak kami berdua untuk pergi ke sini makan kue setelah pulang sekolah, tapi,-” Daniel tak lagi melanjutkan kalimatnya. Anak lelaki kecil itu hanya menangis sesenggukan sambil menunduk. Dia baru berusia tujuh tahun, dan semasa Ernest masih hidup, mereka seringkali melewati waktu bersama untuk bermain. Ernest lah yang mengajari anak itu bermain bola. Sesekali Ernest melihat ke narrow mirror, tampak Olive membuang muka
Read more
Part 26
Kedua mata Max memerah pasca mengantar kedua anak itu pulang ke rumah. Sejenak ia melirik ke arah mansion McCall, tepatnya ke arah lantai dua yang memiliki dua balkon. Itu dulu kamar tidur sekaligus ruang kerjanya. Satu balkon mengarah ke jalan, dan satunya lagi ke kolam renang yang berada di samping rumah. “Seperti apa kamar tidur itu sekarang? Apa mungkin menjadi tempat Vanessa dan Ramford untuk berbagi kasih?” gumamnya sambil memegang setir motornya kuat-kuat. Kemudian ia menghirup napas dalam-dalam dan memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya mengemudikan motor sportsnya menuju kediaman Ramford.                     *** “Woi woi lihat siapa yang datang?” seru Bill ketika Max memarkir motornya di tempat parkir untuk karyawan. Kedatangan Max tentu saja mem
Read more
Part 27
Rex langsung menyambut tamu yang mendatangi kediaman Tuan Ramford. Dia adalah seorang perempuan berwajah bulat yang datang dengan membawa paper bag. “Hmm rupanya kau,” kata Rex. Rex yang sudah lama bekerja dengan Tuan Ramford tentu saja tahu siapa perempuan itu, dia sering datang kemari untuk membawa makanan. Walaupun mereka tak pernah bercakap-cakap, tapi Rex sudah hapal akan sosoknya. “I … iya apa kabar Tuan Rex?” sapanya ramah. “Kabarku baik, kau sendiri bagaimana. Sudah lama aku tak melihatmu kemari. Ah ya aku tahu, pasti karena musibah itu,” kata Rex mencoba untuk bersikap ramah. Perempuan itu hanya mengangguk malu-malu. Ini pertama kalinya ia berbicara dengan Rex, sebelumnya ia hanya tersenyum padanya ketika mereka beradu pandang. Semuanya dilakukan atas nama kesopanan. Di balik kacamata hitamnya, Rex memandang
Read more
Part 28
Rex yang tersungkur jatuh pun segera bangkit dan menantang sosok yang baru saja melayangkan tinju. Ia terlihat menyeringai karena menahan rasa sakit pada rahangnya. “Sial, kau sudah berani rupanya?” seru Rex geram. “Memangnya aku harus diam melihat apa yang kau lakukan?” Sementara Jade hanya berdiri sambil menutupi dadanya dengan paperbag yang ia bawa di tangannya. Perempuan muda itu terlihat ketakutan. Cuih! Rex meludah ke samping, menunjukkan rasa muak pada orang sok jago yang baru saja memukulnya. “Kau kira kau sudah hebat sampai berani memukulku? Apa kau sudah pantas, hanya karena Tuan Ramford memanggilmu dan mengajakmu bicara?” tanya Rex sambil memaksakan diri untuk membuka mulut. Pukulan itu terasa sangat menyakitkan, tapi Rex enggan untuk mengakui kalau pukulan itu adalah pukulan yang kuat dan dapat mematikan dirinya
Read more
Part 29
“Sudah kau tak perlu takut, selama ada aku, apa yang dikatakan oleh Rex tak akan pernah terjadi padamu,” kata Max berusaha menenangkan istrinya. Jade masih diam, sepertinya ia shock dengan apa yang dikatakan oleh Rex. Jade yang tahu bagaiamana kehidupan kerja suaminya pun benar-benar takut kalau hal itu benar-benar terjadi. Sebagai seorang istri ia yakin kalau suaminya pasti akan mempertahankan dirinya, bagaimanapun caranya. Namun sebagai manusia, ia berpikir realistis, suaminya bukan lelaki kuat, tak mungkin bisa mengalahkan Rex. “Kuantar kau ke mobil,” ajak Max sambil menyentuh punggung istrinya. Masih terisak, Jade pun mengangguk lemah, merapatkan jas MAx agar menutupi seluruh bagian depan tubuhnya. Baru berapa langkah saja, Max sudah merasakan ada dorongan udara di balik punggungnya, ia pun tahu apa yang harus ia lakukan. “Tunggu sebentar, duduk saja di kursi dulu, k
Read more
Part 30
Di Negeri langit …. Roh Maxim Williams tengah menunggu hari penghakiman. Ia mengantri selayaknya jiwa-jiwa yang tengah menunggu gilirannya. Was-was tentu saja, tapi selagi ruh yang berbaris itu menunggu giliran, mereka semua mendapatkan kesempatan untuk melihat keadaan di dunia. Mengenang orang-orang yang mereka tinggalkan, mengetahui siapa sebenarnya ynga menjadi kawan ataupun lawan baginya, tak terkecuali Max. Saat ini ia mengepalkan tangannya dan sorot matanya menatap tajam. Ia melihat apa yang selama ini terjadi pada tubuhnya. Kesal karena ada roh lain yang mendiami tubuhnya. Ia pun mencoba keluar dari barisan dan mencari penghuni langit untuk ditanya, bagaimana semua ini bisa terjadi padanya. “Halooo … haloo!” teriaknya menggema di negeri langit. Maxim terus saja berjalan mengitari negeri langit, kesemuanya serba putih. Keadaan
Read more
PREV
123456
...
22
DMCA.com Protection Status