Semua Bab Dimadu Saat Hamil: Bab 31 - Bab 40
86 Bab
Tempat Berbagi 2
Kulirik jam di pergelangan tanganku, masih jam dua siang. Mas Yoga akan kembali sore nanti sesuai ucapannya tadi pagi. Aku masih punya waktu beberapa jam. Aku rasa waktu itu cukup untuk berbicara dengan Mas Candra.Segera aku beranjak keluar rumah, menaiki mobil lalu dengan cepat melajukan kendaraan menuju kafe tempat pertemuan aku dan Mas Candra. Cafenya tidak terlalu jauh, hanya butuh lima belas menit dari rumahku. Aku segera memarkirkan mobil, disisi lain aku lihat mobil Mas Candra sudah terparkir. Berarti dia sudah duluan datang. Aku memasuki kafe, lalu mengedarkan pandangan mencari keberadaan Mas Candra.Dia duduk di pojokan, sedang menyeruput minuman yang ada di depannya. Aku segera berjalan menghampirinya."Mas? Sudah lama?" ujarku sambil menarik kursi yang ada di depannya. Mas Candra mendongakkan wajah melihat kehadiranku."Nggak, baru sampai kok. Haus, makanya langsung pesan minuman. Kamu mau pesan apa? Mau makan dulu?" ujarnya perha
Baca selengkapnya
Menahan Diri
Setelah sampai di rumah, terlihat mobil Mas Yoga sudah ada. Berarti dia sudah pulang. Aku segera keluar dari mobil. Berjalan memasuki rumah. Ternyata Mas Yoga tengah duduk di ruang tamu, sambil menatapku tajam. "Kamu darimana? Dari tadi mas hubungi nomormu tapi nggak bisa masuk. Kenapa keluar rumah tidak memberi tahu, mas?" tanyanya dengan mimik menahan luapan kemarahan."Kenapa Mas marah? Aku keluar dari rumah ini untuk mencari hiburan. Apa salah? Aku juga ingin sedikit melupakan kesedihanku", ujarku tak mau kalah. Egois sekali dia. "Tapi, setidaknya kamu harus mengangkat telpon dari mas. Bukannya seperti ini", ujarnya ketus."Handphoneku mati, lalu bagaimana cara menelponmu?" ujarku berbohong. Padahal aku tidak tahu penyebab kenapa panggilan darinya tidak terdengar olehku. Mungkin handphoneku beneran mati. Aku tidak ada memeriksanya setelah Mas Candra melihat isi vidio tadi."Ya sudah, lain kali kalau keluar rumah. Pastikan daya handp
Baca selengkapnya
Paman
Mas Yoga menepuk lembut pundakku, membuyarkan lamunanku."Kamu kenapa? Kenapa terlihat murung?" tanya Mas Yoga sambil melajukan kendaraan."Aku hanya kepikiran dengan orang yang menabrak kedua orang tuaku, andai saja dia tidak lari. Aku yakin mereka masih bisa di selamatkan", ujarku lemah. Pipiku dibasahi oleh linangan airmata. Tiap kali mengingat kedua orang tuaku, tetap saja aku tak mampu menahan tangis."Sudahlah, jangan menangis. Doakan saja. Semoga kedua orang tuamu mendapatkan tempat yang terbaik disisi Tuhan" ujar Mas Yoga lembut, sambil membelai kepalaku.Aku hanya diam, kesedihan yang kurasakan seperti bertambah hari ini.Mobil Mas Yoga melaju pelan, pemakaman kedua orang tuaku sudah dekat. Aku sudah membawa bunga dari rumah. Aku segera turun saat mobil Mas Yoga parkir di luar pemakaman. Lalu berjalan menuju pemakaman kedua orang tuaku. Mas Yoga mengikutiku dari belakang.Sampai di pemakaman kedua orang tuaku, ternyata sudah bersih
Baca selengkapnya
terbongkar
"Riana kangen Ayah dan Ibu, Paman!" ucapku masih terisak menahan tangis."Sudah, jangan menangis lagi. Doakan mereka agar kuburannya lapang, mendapatkan tempat yang terbaik disisi Tuhan", ujar Paman membelai kepalaku dengan lembut."Kamu kesini bareng Yoga kan?" tanya Paman padaku."Iya, Paman. Dia ada di ruang tamu", ujarku melepaskan pelukan pada Paman."Ayo kita ke depan, Bibimu sudah selesai masak mungkin. Kita makan siang dulu", ujar Paman menggandeng tanganku. Kami berjalan beriringan menuju ruang makan. Ternyata Bibi memang sedang menata makanan di atas meja."Ayo...kita makan dulu, bibi sudah selesai masak", ajak Bibi padaku dan Paman."Sana...panggil suamimu juga", ujar Paman padaku. Aku segera berjalan menuju ruang tamu."Mas...dipanggil Paman. Makan dulu katanya", ujarku pada Mas Yoga yang tengah bermain handphone.Dia berdiri lalu mengikutiku ruang makan. Aku lalu duduk di samping Bibi sedangkan Mas Yoga duduk disam
Baca selengkapnya
Hanya Sementara
 "Hati-hati di jalan ya. Jangan terlalu ngebut. Kasihan istrimu yang sedang hamil ini", ujar Bibi sambil mengelus perutku yang sudah terlihat menonjol sedikit. "Baik, Bi. Aku akan hati-hati berkendara", ujar Mas Toga pada Bibi dan Paman. Mobil Mas Yoga melaju dengan kecepatan sedang. Aku hanya diam. Tak mengajak Mas Yoga bicara sedikitpun. "Kenapa kamu tidak bilang soal perusahaan pada mas, Riana?" tanya Mas Yoga memecahkan lamunanku. Aku menghela nafas berat.  "Kalau Paman tahu kamu punya istri selain aku, apa kamu pikir dia rela kamu memimpin perusahaan?" tanyaku mendalam padanya. "Ya....jangan kasih tahu Paman dong. Kamu kan istriku, seharusnya kamu mendukung karir suamimu ini?" ujarnya tanpa rasa malu. "Aku membiarkan kamu menjadi direktur perusahaan Ayah, tapi kamu tidak berhak bertindak semaumu. Kalau sampai kamu berbuat curang, aku akan katakan semuanya pada Paman. Bukan hanya dipecat dari
Baca selengkapnya
Vidio Itu...
 "Makannya pelan-pelan Riana", Mas Candra menghidangkan segelas air putih disamping piringku. "Makasih, Mas. Aku kelaparan Mas. Maaf ya?" ujarku tetap melanjutkan makan. Mas Candra me lap mulutnya, pertanda dia telah selesai menikmati makanan. Aku juga telah menghabiskan makanan yang ada di piringku. Ku minum jus jeruk pesananku. "Apa kamu tidak bisa menebak sedikitpun apa kesalahan suamimu pada kedua orang tuamu, Riana?" tanya Mas Candra padaku. Aku meletakkan gelas yang berisi jus jeruk dari tanganku ke atas meja. "Aku belum yakin, Mas. Hanya saja saat sama-sama mengunjungi makam kedua orang tuaku. Aku sempat kepikiran. Jangan-jangan Mas Yoga lah pelaku tabrak lari kedua orang tuaku, Mas!" Mas Candra terlihat kaget, sontak dia menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi. "Kenapa kami bisa kepikiran itu?" "Pikiran itu hanya terlintas begitu saja, Mas. Saat melihat mata Mas Yo
Baca selengkapnya
Karma Mas Yoga
Aku mendengarkan dengan seksama percakapan antara perempuan itu dan pria yang ada didepannya melalui vidio yang dikirimkan oleh Bayu."Mas, kalau terusan seperti ini lama-lama aku tidak tahan", ujar perempuan itu terlihat cemberut."Sabar sayang... sesekali kita ke hotel aja kalau lagi kangen", imbuh pria itu menenangkan."Menyebalkan sekali perempuan tua itu. Dia selalu mengancamku. Aku juga risih di rumah. Kayak diawasi terus" perempuan tua yang dia maksud pasti aku."Nanti akan mas balas dia. Kamu tunggu saja. Kalau dia mengancam kamu lagi, hidupnya tidak akan selamat!" balas pria itu."Mas Yoga juga belum bisa seutuhnya aku kuasai. Minta mobil saja dari kemaren belum dapat juga. Baru rumah itu yang atas namaku. Aku sudah bosan Mas, sandiwara terus!" balas perempuan itu."Sabar, semua itu demi anak kita. Nanti, kalau anak kita ini sudah lahir kamu peras semua harta Yoga itu. Dia kan tidak tahu kalau anak yang sedang kamu kandung itu bukan
Baca selengkapnya
Firasat Buruk
"Sayang...sayang...sini bentar dong?" suara Mas Yoga terdengar memanggilku dari arah luar. Padahal hari masih pagi. Aku juga baru selesai mencuci pakaian. Ngapain dia datang sepagi ini?Aku segera membukakan pintu depan, Mas Yoga terlihat sedang berdiri di samping sebuah mobil. Dan itu bukan mobil yang biasa dia pakai."Ma, lihat sini. Bagus kan mobil baru mas?" senyum ceria menghiasi wajahnya. Ku lihat mobil baru yang dia maksud. BMW keluaran terbaru."Kamu beli mobil baru?" tanyaku sedikit penasaran."Bukan, ini mobil dari kantor. Karena sekarang mas sudah jadi direktur. Jadi ini mobil untuk mas pake kerja", balasnya bangga sekali. Ternyata dia sudah naik pangkat. Pak Santoso sepertinya sudah menjalankan permintaanku."Ooo....syukurlah. Selamat ya?" balasku lalu kembali memasuki rumah.Mas Yoga mengikutiku ke dalam rumah."Kamu kok gitu ngasih selamatnya? Kayak nggak ikhlas gitu", dia menarik tubuhku hingga berbalik menghadap padany
Baca selengkapnya
POV Yoga ( Awal Mula)
Aku memasuki ruangan baru tempat kerjaku. Jabatan direktur sekarang ada dalam genggamanku. Aku tak menyangka sedikitpun saat Paman mengatakan bahwa pemilik saham terbesar perusahaan ini adalah mertuaku, tepatnya Ayah dari Riana. Aku merasa beruntung sekali. Tidak sia-sia semua yang aku lakukan selama ini. Kududuki kursi di belakang meja direktur. Rasanya nyaman sekali. Sudah dua hari aku menjadi direktur perusahaan ini. Sekarang, Pak Santoso pasti sudah kembali ke tempat asalnya. Dia bilang, disana juga ada perusahaan miliknya sendiri. Dia ingin fokus disana.  Sekarang akulah yang berkuasa di perusahaan ini. Baru dua hari menjabat saja, semua orang di kantor ini mulai menghormatiku. Kemanapun aku pergi, mereka akan menyapa dengan hangat sambil membungkukkan badan sedikit. Rasanya begitu menyenangkan.  Semua fasilitas yang biasanya dipakai oleh direktur, sekarang adalah milikku. Sekarang apapun yang aku mau akan mudah aku dapatkan. Jan
Baca selengkapnya
POV Yoga ( Lega)
 Aku memperhatikan mereka dari arah jauh. Perempuan yang bernama Riana itu masih menangis di pelukan perempuan yang menolong orang tuanya tadi. Polisi mengintrogasi penumpang mini bus satu persatu.  Mereka sepertinya berbicara dengan serius. Aku sangat takut. Aku berharap kedua korban selamat. Tapi aku juga takut, jika mereka selamat. Laki-laki yang aku tabrak tadi melihat wajahku. Dia bisa memberikan keterangan pada polisi. Mungkin saja dia mengingat nomor polisi kendaraan yang aku tumpangi.  Bisa mendekam di penjara aku, jika itu terjadi. Ditambah lagi aku kabur. Bagaimana ini? Langkah kakiku urung meninggalkan rumah sakit. Aku harus benar-benar memastikan keadaan mereka. Tapi, jika mereka selamat apa yang harus aku lakukan? Aku kembali mendekati ruang ICU rumah sakit, saat polisi pergi meninggalkan rumah sakit. Mungkin sekarang polisi pergi menuju tempat kejadian.Setelah polisi pergi, para penumpang mini bus meminta iz
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234569
DMCA.com Protection Status