All Chapters of Lima Samurai Batavia: Chapter 21 - Chapter 30
40 Chapters
Bab XX : Nyawa Kedua
Hideyoshi menatap genggaman tangannya pada sebilah pedang kokohnya. Cukup lama perhatiannya tertuju pada senjata baru kesayangannya ini. Jiwanya terasa terhisap ke dalamnya. Dia meraba ukiran pada pegangannya, lalu menjalar ke sebilah besi dari sisi tajam maupun tumpulnya. Dingin. Begitu menaklukan. Besi tipis hasil karya pengrajin katana ini begitu dingin dan menaklukan hati. Hideyoshi jadi penasaran dengan kondisi hati pengrajinnya pada waktu membuatnya. Sungguh mengingatkannya kembali pada udara malam pegunungan saat duel satu lawan satu sampai mati itu bergulir. Rasanya memang serupa. “Hi….de? Apakah kau siap?” karena menyadari Hideyoshi begitu lama memperhatikan setiap detail katana yang digenggamnya, Jin yang mungkin tak sabar untuk latihan duel dengan Hide menyapa. Nada bicaranya meragu. Mungkin Jin masih sungkan jika mengganggu jalan pikiran Hide saat ini. Padahal, tak ada salahnya jika dia memang ingin mencoba membuyarkan lamunan silam Hide yang kelihatannya belum bisa dit
Read more
Bab XXI : Naluri Garis Nasib
Nara 1925 Papan Yayasan Yatim Piatu “Himawari” terjatuh ke tanah akibat kobaran api yang semakin menjalar. Di sudut kamar tidur, seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun hanya bisa memeluk lutut. Peluh membasahi kulit, bagaikan lilin yang mencair karena api yang menyala di sumbu. Kalau sudah terpojok seperti ini, memang tak ada yang dapat dilakukan selain menunggu lidah api menjilat nyawa. “Hideee! Hideeee!” suara pemilik panti terdengar di telinga mungil Hide. O bāchan alias nenek pemilik yayasan yatim piatu itu begitu mengkhawatirkan keselamatan anak-anak pantinya. Semuanya sudah berhasil dituntun keluar. Hanya satu orang yang entah di mana keberadaannya. Namanya Hide. Kegemaran dari anak yang usianya paling muda di panti ini adalah melamun. “Hideeee! Aku tahu kau tak senang berbicara! Tapi, aku mohon kali ini berteriaklah untuk membuatku tahu di mana keberadaanmu saat ini!” lengkingan suara O bāchan berusaha menembus asap-asap yang dihasilkan dari kobaran api. “Uhuk! U
Read more
Bab XXII : Babak Baru Penyelidikan
Langkah kaki Fadjar gontai saat dirinya berdiri di depan bangunan kosong dengan pintu besar bergembok. Toko Jepang Banzai rupanya sudah tutup selama seminggu. Sungguh menjadi kenyataan yang sulit untuk diterima. Mungkin akan lebih gampang mengakui jika memang sejak dahulu kala, toko Jepang ini tidak pernah ada. “Ti….dak mungkin,” Betapa terkejutnya Fadjar atas fakta yang tersaji di hadapannya. Toko Banzai tutup, bukan sementara waktu, melainkan untuk selamanya. Tak ada lagi pembeli yang saling bercengkrama satu sama lain di depan pintu toko. Berlalu sudah pemandangan bagaimana para pelanggan pribumi, berdarah peranakan, maupun keturunan Eropa saling berinteraksi mengenai pembelian perabot rumah tangga. Tentara-tentara pribumi, maupun Hindia Belanda, berikut dengan para pegawai negeri sipil tak lagi dapat mencuci seragam di binatu yang juga disediakan oleh toko Banzai ini. Poernomo yakin, banyak orang yang kehilangan dengan keberadaan toko ini. Melihat tidak adanya kehidupan sekecil
Read more
Bab XXIII : Pendosa yang Tak Berdosa
 Banyak kata terlontar.Banyak jalan diarahkan.Aku hanya menunduk dan menemukan bayanganku di daratan.Bahagia dapat berdiri tanpa sandaran.Kata didengar telinga.Jalan dilampaui kaki.Namun, suka-suka hati dan pikirku ingin mendengar dan melampaui yang mana.***Untuk kedua kawanku bernama mata....Janganlah kau sebegitu percayanya dengan apa yang kau lihat!Tempat-tempat itu....Kota-kota itu....Bagaimana jika hanya fatamorgana?Tak masalah jika kebangkitanmu tidak sempurna dan penuh goyah.Daripada kau terus terperosok di titik itu.Dunia ini penuh gravitasi.Jatuh itu ke bawah.Penangkalnya hanya....Bangkit!Karena bayanganmu di bawah kaki sana berharap kau ta
Read more
Bab XXIV : Pion-Pion Tanpa Papan Catur
Permainan catur tak berpapan…. Apakah permainan bisa dilanjutkan jika papannya tak ada? Menurutku, tak masalah. Selama ada pion, kekuatan apa pun bisa dihimpun. Tak hanya dihimpun. Bisa juga dilawan. Pertanyaannya sekarang, siapa yang ingin dilawan? Apakah kawan? Bisa jadi. Karena bagaimana pun juga, permainan catur tak serupa dengan permainan dunia. Warnanya bukan putih suci, maupun hitam pekat seperti pada pion catur. Wajar jika jadi banyak kerancuan prasangka. -Kang Jang Hyuk- *** Ruang tamu kantor pemerintah Hindia Belanda kedatangan tamu sore ini. Bukanlah suatu hal yang kelewat membanggakan bagi calon dokter bernama lengkap Fadjar WongsoTjitro atas kehadirannya di ruangan berubin tegel ini. Pemuda asli pribumi ini justru begitu was-was. Dia merasa wajib untuk memenuhi panggilan dari pemerintah pusat, tetapi dia sendiri ketakutan akan sesuatu yang hendak disampaikan kepadanya. Derit pintu memancing Fadjar untuk menoleh ke arah pintu masuk. Seorang pelayan pribumi b
Read more
Bab XXV: Tanah Batavia Milik Kami
Kedua mata Fadjar hanya tertuju pada sorot mata Jang Hyuk yang datar. Bibir kelu dalam beberapa detik. Rasa-rasanya, berbagai kata dan percakapan dapat menyudutkan setiap langkah. Fadjar lebih memilih untuk membiarkan Jang Hyuk bercerita banyak. “Apa tanggapan je sejauh ini?” Jang Hyuk masih berbicara dalam Bahasa Belanda yang mulai dicampur bahasa Indonesia. Dia melontarkan kalimat tanya seperti ini karena dapat membaca situasi. Dia sadar jika Fadjar enggan membuka mulut untuk sementara waktu. Tentu saja dia merasa dirugikan. Bagaimana pun caranya, dokter muda itu harus membuka mulut saat ini juga. “Hmm,” Fadjar menurunkan pandangnya, “tanggapan apa?” kemudian, dia kembali menatap Jang Hyuk. Jang Hyuk membuka mulut, tetapi tak ada kata yang terlontar. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Dia berprasangka jika ada sesuatu yang Fadjar sembunyikan darinya. “Maaf,” Jang Hyuk sedikit menundukkan kepala. Lalu, dia menaruh sikutnya di atas meja dan memajukan badannya. Dia mulai berbisik kepa
Read more
Bab XXVI: Menghidupkan Kehidupan
Ombak menggulung angkuh sampai menerjang dinding bebatuan pelabuhan Sunda kelapa. Berkali-kali. Seandainya saja deburan itu bisa berkomunikasi, akankah tujuannya memang ingin menghancurkan dinding bebatuan yang sebenarnya tak kokoh ini? Pemerintah Hindia Belanda terlihat setengah hati membangunnya. Sudah banyak laporan yang masuk untuk memperbaiki, tetapi eksekusi tak kunjung datang. Dr. Fadjar WongsoTjitro duduk bersila menghadap timur. Dia memincingkan mata, mencoba menerobos kaki langit yang sedari kecil ingin dia ketahui ada apa saja di atas sana. Konon orang mati naik ke atas langit. Jika memang begitu adanya, apakah Fadjar harus mati sekarang agar dia dapat melihat apa yang ada di atas langit sana? Tidak! Fadjar belum boleh mati dan belum mau mati, bahkan tidak pernah akan mau mati. Tugas dokter muda ini masih terlampau banyak. Dia harus memerdekakan bangsa dan negaranya. Baru setelah itu, mungkin boleh untuk mati. Tidak juga. Fadjar ingin ilmu yang dia pelajari selama ini
Read more
Bab XXVII: Negosiasi Tak Alot
"Tuan Dokter Fadjar WongsoTjitro, maaf saya mengganggu waktu je lagi,” suara Kang Jang Hyuk menggema di ruang tamu kantor pemerintahan Hindia Belanda. Ruangan ini tentu tak asing bagi Fadjar. Setiap kali dia bertemu dengan mata-mata Hindia Belanda asal Joseon ini, tempatnya selalu di ruang penuh foto para gubernur Jenderal Hindia Belanda ini. Kedua mata Fadjar tertuju pada rokok yang dijepit jemari telunjuk dan jari tengah Jang Hyuk. Bara merah kekuningan itu merontokan puntung rokok. Semakin lama, ukurannya semakin kecil. Tentunya bukan karena dihisap oleh Jang Hyuk, tetapi karena pemuda Joseon itu tengah menantikan sesuatu sejak tadi. Sesuatu yang dapat menyudahi keheningan di antara Jang Hyuk dan Fadjar. Apalagi kalau bukan pernyataan Fadjar yang begitu penting, tak hanya bagi Jang Hyuk, tetapi juga jajaran pemerintah Hindia Belanda. Bisa dikatakan bahwa pada saat ini, banyak pihak yang tergantung pada Fadjar. Mirisnya, bagi Fadjar sendiri, dia tak tahu alasan apa yang membuat sem
Read more
BAB XXVIII: Orang Baik Di Negeri Masing-Masing
"Aku yakin jika aku beserta orang-orang Joseon yang dipaksa menjadi tentara, orang-orang Hindia Belanda di kantor pemerintah ini, je, atau bahkan tentara-tentara Nippon beserta mata-mata yang menjadi pelayan toko itu sebenarnya adalah orang-orang baik. Saking baiknya, kita semua ingin negara masing-masing yang memenangkan perang dunia ini. Karena alasan inilah, pada akhirnya, membuat kita semua saling menghabisi,” Perkataan Kang Jang Hyuk terniang-niang di benak Fadjar. Dalam perjalanan menuju kediamannya dengan menggunakan kendaraan umum, Fadjar memandangi hiruk-pikuk kota Batavia di hadapannya. Di balik jendela angkutan umum, banyak hal yang menarik perhatiannya. Salah satunya adalah toko Banzai yang kini telah menjelma menjadi bangunan kosong. Hinagi….. Hati Fadjar kembali memanggil nama gadis Jepang itu. Apa kabarmu? Di mana kau sekarang? Apakah kau masih berada di Batavia? Atau sudah berada di luar Batavia. “Lima Samurai Batavia adalah pelaku pembunuhan Dokter Barend,” Di
Read more
Bab XXIX : Naluri Sesama Manusia
Senja hampir tergerus oleh kegelapan langit malam. Malaikat dan iblis masih berada di sisi manusia, sebagai pembimbing ke arah yang lebih baik, lebih buruk, atau tidak keduanya. Jika tak memilih keduanya, bukan berarti seorang manusia tidak mempunyai sikap. Justru, berarti dia telah menjelma menjadi seorang manusia yang jauh dari rayuan kedua makhluk lain, apalagi julukan munafik.“Hah? Apa ini?” Fadjar menemukan beberapa dokumen di luar rumah sakit CBZ. Tumpukan itu disatukan dalam sebuah map cokelat yang kelihatannya sering dibuka oleh seseorang. Hal ini terbukti dari tak adanya debu pada map ini. Tentunya tak seperti dokumen-dokumen lainnya di berbagai tumpukan map yang Fadjar sendiri yakin tak akan berurusan dengan tumpukan itu. “Hah? Ini?” dia merasa dokumen yang dia temukan ini begitu penting. Judul utama dari mapnya lebih menarik rasa penasaran. Jika Fadjar mencoba menyalakan pemantik sebagai penerangan, tampaklah tiga kata yang terarsir di hala
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status