"Marta …," panggilnya sekali lagi.
Aku masih berdiri di balik punggung Pak Arka, dan Akmal menatapku dengan tatapan … pasrah?
"Marta sepertinya tidak ingin berbicara dengan Anda." Pak Arka berkata setelah kami terdiam sekian detik.
"Saya hanya ingin meluruskan beberapa hal saja. Jika Marta tak nyaman bicara berdua dengan saya, Anda bisa menemaninya."
Suara Akmal terdengar lemah. Tak seperti Akmal yang ku kenal dulu. Raut wajahnya juga terlihat kuyu. Bukankah seharusnya dia merasa bahagia?
Bisa lepas dariku yang dicap mandul oleh ibunya?
Pak Arka menoleh ke arahku, "Bagaimana? Kamu mau?" tanyanya.
Aku ingin,
Pak Arka mengajakku pamit pada Bu Anggi dan suaminya. Tak lupa dia juga mohon maaf karena Pak Har pulang setelah meninggalkan sedikit kekacauan. Wanita anggun di depanku itu tersenyum, "Kamu tadi sudah ketemu Tika?" Pak Arka mengangguk. "Ya sudah, Tika sangat antusias menunggu kamu tadi. Eh, sekarang malah Tante nggak tahu anak itu ada di mana." Pak Arka tersenyum sama sebelum memberiku isyarat untuk keluar dari rumah itu. Di depan pintu kami kembali berpapasan dengan Akmal dan Ibunya. Kali ini mereka menunduk. "Tolong pastikan Raina baik-baik saja. Jangan sampai dia strees, karena itu sangat mempengaruhi kondisi janinnya." Aku mendengar dengusan Pak Arka sebagai jawaban atas ucapan Akmal. Meskipun baru bebe
Panji tidak membawaku ke pasar. Dia juga tak menjawab saat ditanya, kenapa mobil mengarah ke jalur lain.Dengan tenang dia melajukan kendaraan. Sesekali ku lihat mata Panji melirik ke arahku.Mobil putih yang kami tumpangi berhenti di sebuah hunian minimalis. Batu alam tertata rapi membentuk pilar-pilar kecil. Beberapa tanaman mempercantik tatanan taman mungil di depannya."Rumah siapa, Ji?" tanyaku sambil menatap kagum pada tatanan rumah yang apik."Arka.""Wow, benarkah? Laki-laki sepertinya mempunyai rumah sebagus ini?""Dia laki-laki seperti apa?" Terdengar nada tak suka dari ucapan Panji."Galak, sombong, angkuh …, hmm, ya seperti itu.""Kamu suka?""Hm? Maksudnya?"
Aku memaksa Pak Arka untuk membawaku menemui Raina. Namun lelaki itu malah berbalik memaksaku untuk berjibaku dengan wajan dan kompor.Tanganku berjuang keras meracik bumbu nasi goreng spesial seperti yang dia mau.Aku memasak, sementara otakku berkeliling liar mencoba menggali setiap waktu yang dengan bodoh ku lalui.Beberapa ucapan Pak Arka tadi cukup mengguncang. Berputar tentang Akmal, Raina dan Pak Har. Entah lakon apa yang mereka bertiga perankan.Panji dan Pak Arka tengah sibuk berbicara tentang pengembangan kafe. Sepertinya Panji menawarkan kerjasama dengan iming-iming jika perputaran uang kafe lebih cepat. Dan juga kafe banyak diminati segala usia, meskipun lebih menyasar pada pasar anak muda.Kurang dari setengah jam, nasi goreng berhasil ku hidangkan."Enak," puji Pak Arka. Semen
Aku melihatnya, perempuan berbadan kurus dengan perut yang membuncit. Mungkin kandungannya sudah berumur sekitar tujuh bulan. Tapi kenapa badannya begitu kurus?Panji menepuk bahuku, memberi isyarat padaku untuk mendekat ke arah perempuan yang sedang duduk di gazebo. Matanya terpejam, dan mungkin tidak menyadari kedatanganku dan Panji.Aku menarik tangan Panji, namun ditepisnya dengan halus. Sekarang tangan kami bertautan."Dia membutuhkanmu, aku tunggu di sini. Ingat, jangan marah, jangan sia-siakan perjuanganmu untuk sampai di titik ini," ucapnya pelan."Apa aku bisa, berhadapan dengannya tanpa rasa marah?""Pasti bisa, kamu ingat … aku pernah bilang kalau kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan?"
"Ada apa ini?" Suara berat Pak Har tiba-tiba terdengar.Aku mengalihkan tatapan tajam ke arah lelaki setengah baya yang sudah berdiri di samping Raina.Panji dan Pak Arka yang dari tadi menjaga jarak dari kami kemudian mendekat."Kamu yang membawa mereka kemari?" tanya Pak Har pada keponakannya."Om sendiri sering merecoki butikku, bahkan memintaku menerima Marta jadi pegawai."Pak Har menatap malas ke arah Pak Arka dan di balas dengan kedikan bahu. Dapat ku rasakan udara di sekitarku memanas."Kenapa kamu selalu ikut campur!" Keluh lelaki tua itu."Mereka datang tadi pagi dan merengek agar aku mau mengantar kemari. Aku bisa apa?" ucap Pak Arka tanpa rasa berdosa.Ku lihat dengan jelas, jika Raina berusaha menjauhi Pak Har.
Sampai malam aku masih berharap Panji menghubungiku. Tapi sayangnya itu tidak terjadi.Aku hanya seperti menggenggam angin.Tanpa sadar aku tertidur. Meninggalkan jejak basah di atas bantal.Aku menangis? Sayangnya iya. Aku tidak ingin, tapi entahlah. Air dari mataku mengalir tanpa permisi. Aku pun tak bisa mencegahnya.Tak bisa, sekuat apapun aku didepan orang lain, nyatanya aku rapuh dan tidak bisa menghadapi diriku sendiri.Hingga pagi, tak ada satu pesan pun menyinggahi ponselku. Aku mendesah pelan.Baiklah … selamat pagi hari yang baru.Mulai hari ini aku janji. Hanya akan ada aku dan bahagiaku.Semangat Marta!!!
Jam dua belas, dan aku segera merapikan kertas-kertas yang terserak di meja. Sempat ku lirik Bos menyebalkan itu, dia sedang asyik melakukan sesuatu dengan komputernyaSesekali dia mengurut kening. Berdecak kesal, ataupun mendengus. Dan aku mulai terbiasa dengan raut wajah itu. Saat seperti ini, dia tidak mau diganggu. Salah gerak pun, amarahnya akan meledak.Lebih baik aku segera beristirahat.Tanpa permisi aku melangkah keluar. Makan bersama karyawan lain, sepertinya menyenangkan. Karyawan butik berjumlah lima orang, dan mereka biasa istirahat siang bergantian."Dasar, jaman sekarang tuh jadi atasan kayak nggak ada harganya." Pak Arka seperti dengan sengaja mengeraskan suara.Terpaksa aku melongokkan kembali kepalaku, "Bapak ada perlu dengan saya?""Nggak," jawabnya ketus."Oh, baik. Kalau begitu saya pamit makan siang dengan anak-anak di depan, Pak." Aku segera keluar kembali."Tunggu!"Yang terdengar selanjutnya hanya seperti beberapa buku dan alat tulis lainnya dirapikan dengan t
Aku duduk diantara rumput, setelah berhasil menarik kaki kanan yang tertimpa badan motor.Beruntung aku tidak salah membedakan rem dan gas. Dan motor tetap bisa ku kendalikan walau akhirnya terjatuh juga. Jatuh tepat di atas rumput tebal.Pak Arka, dia menatapku tajam tanpa berniat membantu. Sedikit kejam, tapi ku pikir itu wajar karena ini salahku. Lagi pula ini tak parah. Kakiku baik-baik saja.Sedikit ku goyangkan kaki kananku, sedikit nyeri. Mungkin ada sedikit urat yang tertarik. Selebihnya tak ada masalah."Kenapa, patah?" Nada Pak Arka terdengar seperti menahan geram."Tidak," jawabku santai."Huhh … kenapa nggak patah sekalian. Biar tau rasa. Sok jagoan. Kamu pikir ini arena balap liar?""Doanya jelek amat, Pak."Pak Arka masih menggerutu. Aku memilih diam dan berpura tak mendengar. Aku beringsut mundur. Menyandarkan punggung di tebing.Perlahan nyeri mulai merambat. Yang awalnya tak terasa sakit, sekarang seperti nyeri, panas dan seolah menebal.Pak Arka menegakkan motor mili