Semua Bab Pendekar Tengil: Bab 41 - Bab 50
387 Bab
Bab 41: Penghinaan dari Murid Pancasagara
“Kok tiba-tiba sepi ya?” tanya Indra sembari melirik ke arah Rima. “Mungkin mereka sedang beristirahat,” jawab Rima tanpa menoleh sedikitpun. Mereka berdua terus berjalan menuju lokasi perguruan, samar-samar di kejauhan terlihat beberapa orang pendekar sedang duduk-duduk di bawah pepohonan. Tak jauh dari tempat mereka duduk tampak ada sebuah lapangan besar, di sekitar lapangan terlihat banyak pondok-pondok sederhana berukuran sedang. Di tengah-tengah pondok-pondok tersebut tampak sebuah rumah sederhana dari bambu namun berukuran besar dengan teras luas menghadap ke arah lapangan. Di sekitar lapangan dan di beberapa pondok sederhana itu juga terlihat beberapa pendekar sedang berbincang bersama temannya, kebanyakan pendekar yang Indra lihat di sana adalah perempuan. Rima berjalan di paling depan sementara Indra berjalan di samping kanannya agak di belakang. Tiba-tiba saja para pendekar yang tengah d
Baca selengkapnya
Bab 42: Mahaguru Pratiwi
“Hihihi.. memang benar aku bukanlah dari perguruan besar, aku juga tidak membawa kabar penting untuk disampaikan. Tapi ada satu hal penting bagiku yang harus aku tanyakan kepada Mahaguru kalian,” tukas Indra sambil tertawa. “Oh iya, mungkin saja kalian tahu. Apa kalian pernah melihat pendekar yang memakai ikat pinggang seperti ini?” tanya Indra sembari menunjukan ikat pinggang bergambar tengkorak dari sakunya. “Kami tidak peduli,” jawab Jatmika pendek. “Hihihi.. kalau tidak taumah bilang saja, pake jawab nggak peduli segala,” kata Indra sambil tertawa dan memasukan kembali ikat pinggang bergambar tengkorak itu ke saku celananya. “Kau meledek diriku?” tanya Jatmika dengan tatapan marah, tangan kanannya langsung mencengkram leher Indra. “Hihihi.. maaf kalau bajuku tidak memiliki kerah,” kata Indra dengan tetap
Baca selengkapnya
Bab 43: Kemarahan Mahaguru Pratiwi
“Salam kenal mahaguru. Nama saya Indra Purwasena,” kata Indra. “Kami sudah mendengarmu tadi dari Rima. Aku benar-benar berterima kasih karena telah menyelamatkan cucuku,” tukas Pratiwi. “Silahkan duduk,” timpal Nisri. Saat itu juga Pratiwi langsung mundur lagi bersama Nisri dan duduk di teras, Rima juga duduk di sebelah ibunya. Namun tiba-tiba saja Indra langsung duduk di tanah yang ada di bawah teras. “Di sini saja,” ucap Pratiwi sembari menunjuk teras tempatnya berdiri. “Tidak Mahaguru, sebuah kehormatan bagi saya karena telah bertemu dengan anda. Karena itu saya tidak ingin mengotori peristiwa ini dengan sikap yang kurang sopan kepada anda,” jawab Indra. Mendengar perkataannya itu Pratiwi tampak tersenyum. “Kelihatannya gurumu mengajarkan ajaran yang baik,” puji Pratiwi. “Memang
Baca selengkapnya
Bab 44: Serangan Mematikan Mahaguru Pancasagara
“Kalau begitu, matilah disini!” tegas Pratiwi yang tiba-tiba sudah ada di depan Indra sambil melayangkan cakar tangan kanannya. Namun Indra yang sudah waspada langsung melompat mundur ke depan para murid Pancasagara, namun dada Indra terasa begitu perih. Saat dilihat ternyata di dadanya terdapat tiga goresan bekas kuku Pratiwi, Indra benar-benar terkejut padahal dia merasa sudah melompat secepat yang dia bisa. “Nenek? Ada apa ini?” tanya Rima sembari bangkit, tapi Nisri langsung menahan tubuh putrinya. “Mahaguru, apa yang terjadi?” tanya Indra dengan wajah bingung, jelas-jelas serangan Pratiwi tadi bisa saja membunuhnya. “Jangan pura-pura bodoh! Aku yakin si keparat Braja Ekalawya menyuruhmu datang kemari untuk menghancurkan Perguruan Pancasagara, sama seperti yang dilakukannya tiga puluh tahun yang lalu!” tegas Pratiwi sambil berdiri dengan tatapan pen
Baca selengkapnya
Bab 45: Diusir dari Pancasagara
“Dia bertingkah seperti itu karena kalian tidak pernah mengatakan semua kebenarannya kepada Rima dan Gina!” bentak Pratiwi. “Tapi jika aku mengatakannya, maka mereka berdua juga akan berakhir seperti Darga Lodaya!” jawab Suradwipa. Saat itulah Pratiwi tampak tersentak kaget dan mulai tenang. “Aku yakin Rima memiliki alasan untuk melindungi pemuda itu,” sambung Suradwipa. “Aku yakin pemuda itu sudah berpura-pura baik kepada Rima, semua itu bertujuan agar bisa masuk ke perguruan ini dan menghancurkannya dari dalam,” ucap Pratiwi sambil berjalan mendekati Indra yang berusaha bangkit. “Ibu, bisa saja muridnya memang berbeda dengan Braja,” kata Suradwipa. “Tidak mungkin. Aku yakin semua sikapnya tadi hanyalah kebohongan untuk menarik simpatiku saja. Yang namanya sikap murid pasti tidak akan jauh seperti gurunya, Braja p
Baca selengkapnya
Bab 46: Penjelasan Cucu Mahaguru
“Mau apa kau kemari? Apa kalian masih kurang puas menghinaku serta guruku hah?” tanya Indra dengan waspada. “Tidak, justru aku datang kemari untuk meminta maaf. Sebenarnya kedatangan kisanak bersama kakakku sudah disadari oleh ayah waktu kami berlatih ilmu kanuragan. Kami juga memperhatikan kalian dari kejauhan, namun saat ayah melihat nenek begitu marah dia langsung turun untuk meredamnya. Tapi sebelum itu dia menyuruhku untuk menghadangmu dan meminta maaf kepadamu,” tutur Gina. “Meminta maaf?” tanya Indra tanpa menurunkan kewaspadaannya. “Ya, saat ayah tahu bahwa kau murid Braja Ekalawya dia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Dalam waktu singkat dia menceritakan kepadaku bahwa kakekku tiga puluh tahun yang lalu sudah dihabisi oleh Braja Ekalawya, aku tidak tahu siapa itu Braja Ekalawya dan kenapa dia menghabisi kakek. Namun hanya itu yang dikatakan ayah dalam waktu sin
Baca selengkapnya
Bab 47: Keberadaan Target Pertama
“Maaf kisanak tapi saya sedang tidak semangat untuk diajak bercanda,” kata Indra sambil kembali berjalan. “Sayang sekali, padahal aku pernah melihat orang yang memakai ikat pinggang hitam bergambar tengkorak,” ucap Ki Maung Lara sembari duduk di sebuah batu. Indra langsung menghentikan langkahnya seketika dan berbalik menatap Ki Maung Lara. “Apakah yang Aki katakan itu benar?” tanya Indra. “Tentu saja, aku pernah melihat seorang pendekar memakainya,” jawab Ki Maung Lara sambil terkekeh. “Di mana Ki?” tanya Indra dengan antusias. “Aku melihatnya di sekitar Desa Jambe, Kadipaten Talaga, tapi aku tidak tahu mereka masih ada di sana atau tidak,” ucap Ki Maung Lara. “Tunggu, tapi darimana Aki bisa tahu kalau saya sedang mencari pendekar dengan ikat pinggang bergambar tengkorak?” ta
Baca selengkapnya
Bab 48: Kediaman Geni Paksa
Esok harinya pagi-pagi sekali Indra sudah berpamitan kepada Manan untuk melanjutkan perjalanannya. Dengan cepat Indra berjalan menuju ke arah utara, hutan belantara dengan pepohonan tinggi besar sudah terlihat di kejauhan. Diantara ujung Kampung Lanjar dengan Hutan Alas Roban terdapat sebuah jurang yang cukup dalam, di bawahnya tampak mengalir sungai yang tenang. Sebuah jembatan kayu tua terlihat masih tertambat menyambungkan kedua tebing, namun dari penampilan dan kondisinya jembatan itu pasti sudah lama tidak diurus dan dilintasi oleh orang. Indra menghirup udara dalam-dalam untuk menggunakan ajian hampang raga untuk mengurangi berat masa tubuhnya. Indra dengan cepat berlari melintasi jembatan, saking ringannya tubuh Indra jembatan tua yang rapuh itu bahkan tidak terlihat bergerak saat kaki Indra menapak diantara kayu lapuk jembatan. Indra dengan lincah langsung melompat ke sisi tebing lain tepat di pinggir hutan setelah melewati jembatan.
Baca selengkapnya
Bab 49: Indra vs Geni Paksa
“Aku pikir kau Darjasena, siapa kau kisanak? Kenapa kau memiliki ikat pinggang kami?” tanya Geni tanpa bergerak sedikitpun. “Aku adalah malaikat mautmu!” tegas Indra yang sudah tidak bisa menahan amarahnya lagi. ‘Bbbrrrakkkhh’‘Dddaaakkhh’ Kursi yang diduduki oleh Indra mendadak hancur berkeping-keping saat Indra melayangkan pukulannya ke wajah Geni. Tapi dengan cepat Geni menahan pukulan Indra dengan telapak tangannya, suara benturan terdengar keras. Meja dan kursi lainnya yang ada di sekitar mereka langsung hancur karena benturan tenaga dalam yang terjadi. Para wanita yang tadi keluar bersama Geni langsung menjerit dan berbalik lagi masuk ke dalam rumah, Indra langsung menundukan tubuhnya dan melayangkan kaki kanannya mengincar wajah Geni. Tapi Geni dengan gesit menghantamkan kakinya ke kaki Indra hingga serangannya hanya melebar ke samping.
Baca selengkapnya
Bab 50: Rahasia Enam Tapak Iblis
‘Dddaakkhh’ “Heuk..” kali Indra memekik kesakitan seiring dengan tubuhnya yang terjungkal ke belakang, dari hidungnya juga mulai mengalirkan darah. Saat itulah Indra mulai memahami rahasia dibalik enam tapak iblis yang digunakan oleh Geni. Tapi Geni tidak membuang kesempatan, dia langsung menendang perut Indra yang masih melayang di udara hingga terpental menabrak sebuah rumah sampai rumahnya ambruk karena semua tiang penyangganya patah. Indra kembali mememkik kesakitan, dari mulutnya kembali mulai mengeluarkan darah. “Hahaha.. padahal aku baru menggunakan gerakan tapak pertama dari gerakan enam tapak iblisku. Kelihatannya aku terlalu berharap banyak hanya karena kau adalah murid Braja Ekalawya,” ejek Geni sambil tertawa puas. Indra dibawah puing-puing rumah langsung bergerak bangkit kembali, tubuhnya benar-benar terasa sakit. Namun kini dia akhirnya mengerti semua
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
39
DMCA.com Protection Status