Semua Bab Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku: Bab 11 - Bab 20
58 Bab
Bab 11: Pilihanku
Bang Teguh yang baru saja pulang menatapku kaget. Tatapannya matanya yang semula tersenyum jadi bulat besar. Kebingungan seakan menyelimuti pria itu, hingga tidak mampu beranjak dari ambang pintu.“Masuk, Bang ... pintunya ditutup, dong!” paparku lagi dengan senyum yang menyiratkan banyak makna.Aku sudah tidak mau lagi bertahan dengan pria ini dan keluarganya. Segala dusta yang telah mereka berikan, sudah cukup sebagai alasan untukku segera angkat kaki dari sini, melepaskan diri dari belenggu yang terus menjerat tanpa akhir.“Ka-kamu kenapa, sih? Makin hari makin aneh?” balas Bang Teguh seraya mendekatiku.Pria itu mengulurkan tangannya, hendak membelai wajahku. Tetapi aku, lebih dulu bergeser dan menjauh. Kutatap dia dengan pandangan tak suka, memberinya kejelasan jika aku tidak sudi disentuh olehnya, apalagi dengan tangan yang baru saja mencetak banyak noda dan dosa di rumah misterius tadi.“Gin!” Bang Teguh t
Baca selengkapnya
Bab 12: Tepatkah Pilihanku?
“Mbak, tinggal di sini, Nita mohon ....” Rintihan Nita semakin keras di sore yang menggelap ini.Rupanya, matahari sudah tenggelam, dan bulan mulai mengintip malu-malu.“Mbak, Mbak tega ninggalin Nita?” Isak tangis Nita kian mengeras meski malam mulai datang. Aku khawatir jika apa yang dilakukan oleh Nita akan membuat tetangga bertanya-tanya, kapan rumah ini bisa tenang dan bebas dari masalah.“Mbak harus pergi, Nit. Sudah tidak ada alasan lagi untuk tetap di sini,” jelasku pada Nita. Sama seperti sebelumnya, Nita keberatan, pelukannya menjadi semakin erat.Aku membuka pelan dekapan wanita itu, lantas menundukkan sedikit wajah demi menatap parasnya yang telah basah. Ada sekelebat rasa syukur yang melintas saat sadar jika di bawah atap yang dihuni oleh orang-orang berhati jahat ini, masih ada satu hati suci nan putih yang kian bersemi. Seandainya saja, wanita ini bisa kubawa pergi dari sini ....“Mbak, nanti
Baca selengkapnya
Bab 13: Luka Baru dari Temanku
Aku mengemudi hampir satu jam lamanya di jalanan sendirian, tidak pernah terasa begitu kesepian seperti ini, karena aku menyadari mulai detik ini hidupku akan sendiri lagi. Tidak akan ada lagi suami yang bisa kujadikan sandaran hidup atau keluarga tempatku pulang, yang tersisa hanyalah diriku sendiri.Tapi tidaklah mengapa, lebih baik begini daripada harus selalu makan hati. Suami yang seharusnya menjadi pelindung, memberiku nafkah serta menyayangiku tidak pernah melakukan semua itu. Segala hal yang terjadi malah sebaliknya, dimana aku yang menjadi tameng untuknya dan keluarganya, mereka senang menerima nafkah dariku serta membenciku saat keinginan mereka tidak terpenuhi.Sepanjang perjalana ini kuusap lagi air mata yang terus mencuri celah, lalu memdekte diriku jika Bang Teguh dan keluarganya tidak pantas untuk ditangisi sama sekali. Mereka sudah memberiku luka sedalam ini, menghina dan menertawakan nasibku yang baru menikah di usia tiga puluh tahun. Padahal mereka se
Baca selengkapnya
Bab 14: Kisah yang Tersembunyi
“Sejak kapan kamu begini, An?” Aku berucap seraya menahan deraian air mata.Sudah tiga puluh menit berlalu, Anha juga telah bersuci dan memakai pakaian tidurnya yang bermotif beruang coklat dengan dasar merah muda. Seprei dari kasurnya sudah diganti, termasuk sarung bantal dan guling karena malam ini aku yang akan menemaninya.“Kenapa, Anha? Harusnya kamu mencariku ....” Linangan air mataku kian menjadi hingga kalimat itu menjadi terhenti. Begitu banyak permasalahan yang menumpuk di pundak hingga aku tidak lagi tahu alasan kenapa tangis ini tidak mau berhenti.“Aku putus asa, Gin. Aku mencari pekerjaan ke sana ke mari dengan modal ijazah SMA. Mencari pelayan di kafe saja aku tidak terima, Gin!” kisahnya. Anha menahan perasaannya sendiri, hingga setiap kali dia berbicara suaranya yang terdengar sengau dan sedih.“Aku juga tidak mau begini awalnya, Gin. Tapi aku dijebak orang, hingga akhirnya mulai menikmati jalan b
Baca selengkapnya
Bab 15: Membalas Jerat
Pagi ini sesuai dengan kesepakatanku bersama Anha semalam, begitu jam bertengger di angka setengah enam pagi, aku dan gadis itu bergerak dengan mobil jazzku menuju gudang lebih dulu. Niat hati dengan sengaja untuk menukar mobil mungil ini dengan Range Roverku yang gagah perkasa terlebih dulu.Jarak rumah Anha tidak terlalu jauh, karena itulah kami tiba tidak lama kemudian dan mendapati dua pekerja lelaki yang tinggal di gudang baru selesai berolahraga. Keduanya menatap heran padaku dan Anha yang nongol di depan gerbang, padahal jam kerja masih sangat jauh untuk dimulai.Salah satu dari keduanya segera membuka gerbang selebar mungkin, memberi jalan untukku membawa mobil mungil itu ke garasi gudang yang luasnya bisa diisi oleh tiga mobil berukuran besar. Baik aku dan Anha, turun setelah mesin mobil kumatikan, kami berdua tersenyum senang pagi ini karena membayangkan rencana yang berjalan dengan mulus nantinya.“Bu?” Pria muda itu, lulusan salah satu ka
Baca selengkapnya
Bab 16: Mencoba Membawa Nita
“Apa, Bu ... kenapa teriak pagi-pagi?”Aku mengintip dari balik jendela mobil, dua anak-beranak yang mungkin baru saja bangun pagi itu sudah keluar dari dalam rumah. Sama halnya dengan ibu mertua yang terperanjat terhadap si gagah, kedua mata Bang Teguh juga membulat saat melihat mobil yang serupa dengan impiannya itu berdiri megah di garasi.Aku segera beristigfar di dalam hati saat bongkahan kecil itu menaruh bahagia atas apa yang kulihat sekarang. Perilaku tidak pantas untuk pamer di depan keluarga Bang Teguh yang matre ini tidak seharusnya kulakukan, tapi entah kenapa aku malah menuruti bisik dari iblis dan akhirnya membawa si gagah ke rumah ini.“Enggak tahu, Bu ... mobil siapa ini masuk ke rumah kita? Mobil bagus ini, Bu ... mahal juga! Si Gina enggak akan sanggup beli,” sahut Bang Teguh yang ternyata membuat Anha terkikik.Aku segera keluar dari persembunyian karena tidak sanggup mendengar pria itu menjelekkanku, lalu menemu
Baca selengkapnya
Bab 17: Double Gagah
Begitu kami tiba di gudang, kegiatan dan pekerjaan untuk hari ini sudah dimulai. Beberapa pekerja bahkan sudah dikelilingi gunungan paket-paket yang terbungkus rapi dan dipisahkan menurut marketplace.Melihat antusias para pekerja di gudang, Anha dan Nita tersenyum semringah. Mata mereka berbinar melihat seisi gudang yang berhamburan barang-barang.Tidak ada yang berbicara apapun, keduanya sibuk melirik kiri dan kanan meski aku terus berceloteh ria, mennjelaskan struktur bangunan dan bagaimana sistem kerja yang sudah berjalan selama ini.Aku berdehem, saat Anha dan Nita mengekoriku hingga ke bagian pengemasan. Bu Mala yang menjadi kepala tim di sini segera bangkit, meski tugasnya mengepak pengiriman masih sangat banyak yang harus dia lakukan.“Kenapa, Bu?” sambutnya meski Bu Mala jauh lebih tua dariku.“Ini, Bu ... aku bawa anggota baru ke sini. Anha dan Nita.” Bu Mala menolehkan wajah saat mendengarku menjelaskan alasan dar
Baca selengkapnya
Bab 18: Gagah dan Bang Willy
“Aku Gagah, Gin!” ucapnya lagi.Aku masih mencoba mengenali paras pria ini, menemukan kemiripan dengan salah satu temanku saat masih SMP dulu. Tapi, bagaimana mungkin di usiaku yang sudah di angka tiga puluh dua ini, salah satu teman SMP yang tidak pernah kutemui lagi masih nyantol di kepala?Ah ... semakin rumit saja semuanya.“Aku Gagah, Gin! Kamu ingat enggak, anak kecil yang kencing di celana karena enggak bisa jawab soal matematik di depan kelas?” Pria yang mengaku bernama Gagah itu semakin bersemangat.Aku mencari-cari lagi keberadaan pria ini di setiap lapisan ingatan-ingatanku, sudah pasti nama Gagah di masa lalu tidak meninggalkan kesan apapun padaku hingga aku tidak mengingatnya meski sudah berusaha. “Gagah? Nama mobilku juga Gagah.” Aku berbasa-basi.“Kamu lupa, kan? Ah ... ngaku saja, Gina! Lagian, kamu sudah sukses begini, mana mungkin ingat sama bocah miskin kayak aku,” lanjutnya dengan
Baca selengkapnya
Bab 19: Jangan Jadi Bodoh
Aku meminta Nita untuk ikut bersamaku menuju kantor. Membicarakan sesuatu yang begitu sensitif begini hanya akan menjadikan kami bahan gunjingan di belakang. Bagaimanapun, para pekerja yang ada di bawah kekuasaanku juga manusia, mereka suka berbicara dan bergosip layaknya orang-orang pada umumnya. Kulirik Anha yang baru menyusul, sepertinya gadis itu sibuk mengganggu Gagah dan temannya bekerja hingga tidak langsung kembali. Aku memberikan isyarat pada Anha agar lekas mengikuti langkahku ke kantor dan memastikan membawa Nita bersamanya. Kami meniti anak tangga menuju lantai dua, melewati ruang admin yang begitu sibuk melayani keluhan, jumlah pesanan yang membludak dan mengeprint pesanan yang tidak berkesudahan. Aku bersyukur tanpa henti mampu menggaji tiga orang sekaligus untuk duduk terus-menerus di depan komputer, dan puluhan orang lainnya yang bekerja tak kalah giat di bawah sana. Pintu dari kantorku yang berseberangan dengan ruang admin kudorong pelan. Beg
Baca selengkapnya
Bab 20: Keluarga Tanpa Rasa Malu
Aku memandang Bang Teguh yang berlagak seperti pemilik sungguhan. Tangannya mengudara, memberi perintah untuk keluarganya mengutil setiap barang yang ada di gudang.Kulihat pekerja-pekerja yang merasa terganggu. Pesanan orang yang sudah mereka ambil di gudang belakang, kondisinya sudah dicek dengan baik dengan semudah itu diambil begitu saja.“Uwa juga mau, Guh! Ini loh, yang lagi viral itu,” ucap wanita yang mirip dengan ibu mertua. Sebagian rambutnya mulai memutih, tapi tidak sebanyak ibu mertua.“Ambil, Uwa. Ambil sebanyak yang Uwa mau. Kapan lagi Uwa datang ke sini, kan? Kapan lagi Teguh bisa bahagiain Uwa dengan semua yang Teguh punya. Lagian, ini enggak akan habis kalau Cuma diambil segitu.” Bang Teguh kian menjadi-jadi, dan lagaknya itu didukung penuh oleh ibu mertua yang sama tidak tahu malunya.Memang benar, keluarga Bang Teguh yang di tinggal di Bandung ini tidak tahu apapun soal aku yang memiliki gudang dan berprofesi se
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status