All Chapters of Aku Dimanfaatkan Mertua dan Suamiku: Chapter 31 - Chapter 40
58 Chapters
Bab 31: Permintaan Adinda
Aku tercegang mendengar permintaan memilukan dari bibir Adinda. Ekspresinya lengkap menerangkan jika wanita berbadan dua ini sedang berada di pinggir jurang keputusasaan, sampai-sampai meminta pertolongan dari mantan istri suaminya sendiri.Gegas aku mundur selangkah, menjauh dari Adinda sebab nyatanya hatiku teriris mendengar keinginannya saat ini. Wanita yang sudah membuatku terluka, merebut Bang Teguh dariku dan menyebabkan ibu mertua dengan lantang menghinaku tanpa henti tapi kini datang mengemis padaku.“Harusnya kamu tahu diri, Adinda.” Aku berdecak. Mengucapkan kata-kata yang menyakitkan untuk orang ini rasanya juga percuma. Yang ada dosa-dosaku kian menggunung dan Adinda hanya akan terluka.“Pergilah! Urusan persalinanmu itu, tugasnya suamimu.” Aku mencoba melunak.“Mbak ... Bang Teguh belum bekerja dan kami tidak punya tabungan sama sekali. Apalagi, setiap hari kami diteror sama penagih hutang
Read more
Bab 32: Reuni Penuh Kebencian
Aku menghela napas sedemikian keras saat berhenti di depan sebuah rumah makan yang menyediakan berbagai menu ayam dan sederet pilihan sambal. Menatap ke dalam, tempat dimana orang-orang sibuk mengisi perut mereka.Bayang-bayang akan ucapan Anha di rumah Nita saat itu masih membekas di kepalaku. Bagaimana bisa Gagah sudah lebih dulu meminta nomor ponselku pada Anha saat aku menjalani masa iddah usai bercerai dari Bang Teguh.“Kamu sama Gagah?” Hari itu masih kurekam jelas tatapan Anha, serupa dengan ibu dulu, dia mengisyaratkan jika aku harusnya berhati-hati dalam bersikap.“Tidak, An. Astaga kamu ini! Aku dan Gagah hanya teman, tidak lebih. Dia hanya mengajakku datang ke reuni SMP dulu di kampung. Aku bahkan tidak tahu, kalau orang-orang jaman sekarang senang bereuni termasuk dengan teman SMP.” Begitulah penjelasanku pada Anha, berharap dia percaya dengan apa yang kukatakan padanya.“Tapi Gagah minta nomermu, Gin. Kalian juga
Read more
Bab 33: Ajang Pamer Harta
“Belanja? Ya suka dong, Gin. Hari gini siapa yang enggak doyan belanja?” sahut Ayu cepat.Aku tersenyum tipis, menyadari ada kemungkinan besar sebagian dari teman-teman reuni ini menjadi pelanggan setiaku. Syukurlah, dengan begitu bisa kubungkam mulut tak tahu diri milik Ayu.“Ini nih ....” Ayu segera mengeluarkan gawainya. Dia membuka aplikasi marketplace yang menjadi ladang rezeki untuk gudangku selama ini, lalu memperlihatkan daftar belanjaannya pada kami.Isi keranjangnya penuh sesak, barang yang sudah dibayar berjumlah lima belas pembelian dan lima sedang dalam pengantaran. Lebih dari lima puluh belum diberi penilaian meski sudah diterima. Rupanya, Ayu juga maniak belanja. Berbeda dengan Ayu yang kubaca dari salah satu novel Gadis Tanpa Senyum sekali pintas dulu.“Wah ... uangmu memang banyak, Yu. Pantas, suamimu kan karyawan BUMN.”“Memang Ayu sudah tajir sejak dulu. Apalagi suaminya kaya, dan dia jug
Read more
Bab 34: Pria Cambang Panjang
Kulirik wajah ibu dan kedua adikku, tatapan mereka penuh maksud yang tak bisa kumengerti sama sekali. Senyum aneh di bibir si bungsu, serta rasa haru di mata ibu. Aku yakin ada niat tersembunyi yang sedang mereka tutupi dariku.“Bu?” panggilku karena tidak ada satu orang pun yang menjawab.“Kalian kenapa?”“Kak ... nginap di sini, kan? Yuk masuk!” ujar si nomor tujuh, Lidyana namanya. Wajahnya cantik dan bersih, terawat serta modis. Maklum saja, dia beranjak gadis saat aku sudah punya banyak rezeki dan adik-adikku mulai bekerja dan menikahi pria mapan.Lidyana segera beranjak, dia mengapit tanganku dengan cepat, kemudian menyeretku ke dalam rumah yang masih menguarkan baru menyengat dari cat. Aku menutup hidup dengan menjepitnya, aroma menusuk seperti ini bisa saja membuat kepalaku pusing, apalagi setelah berurusan dengan Ayu dan teman-temannya tadi.“Kamu kenapa, Dik?” t
Read more
Bab 35: Group Chat SMP
Aku terhenyak dengan todongan tiba-tiba dari ibu. Betapa pertanyaan yang tidak pernah kubayangkan kini mendera telinga. Ibu menatapku nyalang, raut marah dan kecewa itu ditunjukkannya padaku segera setelah kepergian Ridwan.“Bu?”“Kamu enggak suka sama Si Ridwan?” Ibu bertanya usai menghela napas. Sepertinya beliau sadar telah salah mengambil langkah, mengenalkanku pada pria tak jelas sikap dan sifatnya meski dia mapan sekalipun.“Iya, Bu. Gina enggak suka kalau kelakuannya model begini. Belum menikah saja sudah banyak aturannya, bagaimana dengan nanti? Memangnya dia siapa, Bu? Dia bilang Gina harusnya diam saja di rumah, biar urusan gudang itu dia dan keluarganya yang turun tangan. Coba Ibu bayangkan sekarang, apa pantas ucapan seperti itu diucapkan? Kami baru bertemu sekali dan belum juga sehari, tapi nuntutnya sudah macam ini!” jelasku pada ibu.Aku ikut menghembuskan napas, lalu melirik Lidya
Read more
Bab 36: Menghajar Ridwan
“Gina? Bikinin minum buat tamu!” ulang bapak sekali lagi. Aku masih tetap berdiri di balik jendela rumah, menyibak gorden demi melihat wajah si cambang panjang itu.Benar-benar menyebalkan sekali pria ini! Apa aku harus membawa gunting sekalian nanti? Mencukur habis cambang yang begitu dibanggakannya itu agar dia tahu kalau aku tidak pernah bercanda dengan perkataanku semalam.“Gina?” Bapak menjerit lagi. Alhasil, ibu yang sedang menyulam muncul dari halaman belakang. Dia menatapku yang masih berdiri diam, lalu mendekat dengan tangan yang terulur dan ctak! Ibu menarik keras anak rambutku yang tergerai.“Aw, Bu! Aku sudah tua, Bu! Kenapa masih dijambak juga!”“Tahu sudah tua, kan? Tapi masih tega bikin bapakmu teriak-teriak!” omelnya dengan bibir bergetar. Bedak ibu yang terlalu putih itu mencong sana-sini, bukannya menurut aku malah sibuk mengusap wajah ibu dengan ibu jariku sendiri.
Read more
Bab 37: Tujuan dari Gagah
Aku memicing saat sosok yang begitu kukenal telah berdiri di halaman rumah. Berbalut kemeja hijau gelap dengan jeans hitam yang sedikit longgar. Gagah tersenyum ke arahku. Dia menyapa dengan sorot mata, juga lambaian tangan, serupa dengan pria kasmaran.Aneh, aku merasakan gelagat aneh dari Gagah. Pria yang belum lama ini kembali hadir di hidupku, lalu lalang karena berurusan dengan pekerjaan, tiba-tiba muncul di depan rumah ibu dan bapak. Tak ada angin dan hujan, bahkan tak ada kaitannya dengan pekerjaan.“Ka-kamu ngapain kemari, Gah?” sambutku seraya menuruni dua anak tangga di teras. Aku melompat cepat, berdiri di depan pria tinggi itu dan menelisik setiap ekspresi yang tertera di wajahnya.Apa-apaan pria ini? Ada urusan apa dia kemari?“Kamu habis ketemu siapa, Gin?” Gagah balik menanyaiku. Dia lagi-lagi tersenyum, lalu menggulung kedua lengan kemejanya hingga otot-otot baja bermunculan di lengan.
Read more
Bab 38: Kelabu di Wajah Gagah
Saat ini, aku memutuskan untuk bersikap tenang. Ibu, bapak, Ibu Juleha dan Gagah, mereka semua kupersilahkan duduk di sofa lebih dulu. Membicarakan sesuatu dengan emosi apalagi saling memaki seperti tadi tidak akan memperbaiki masalah, yang ada aib demi aiblah yang terus mengudara.Kulirik Lidyana dan si bungsu yang berdiri di belakang sofa ibu, dua anak itu bukannya gegas membuatkan minum malah tertarik dengan pembicaraan para suhu. Lihat saja ekspresi Lidyana yang mengerut ke arahku, gadis itu jelas-jelas tidak mau beranjak agar tidak melewatkan gosip meski hanya satu baris kalimat.Sekali lagi aku menatap Lidyana dan si bungsu, menggertakkan gigi dan terus memberi kode agar mereka lekas beranjak. Tetapi bukannya mendapatkan inginku, ibu malah menampar angin di depan wajahku.“Enggak perlu tawarin minum! Teh di rumah abis, gulanya mau Ibu buatkan donat.”“Bu ... jangan begitu sama tamu,” pintaku hampir mem
Read more
Bab 39: Penyerangan
Aku memarkir Si Gagah begitu sampai di rumah Anha jam lima sore. Langit mulai membiru di pucuk sana ke tiba aku tiba, para burung bergantian pulang menuju sarang, serupa denganku yang kembali datang.Wajahku terasa lebih bersinar sore ini. Bukan karena semata-mata menyadari jika Gagah menyimpan niat mulia untukku, tetapi lebih dari itu, empat bungkus martabak yang kutenteng bersama saat ini menjadi alasan paling besar rasa bahagia yang terus merebak di hati.Ekspresi girang dari Ahnalah yang begitu kunanti. Gadis baik dengan seribu rasa sakit yang dipendamnya sendirian selama ini, memang terlihat begitu tegar dan tangguh. Meski nyatanya aku tahu jika Anha menyimpan segalanya seorang diri.Ada malam dimana dia duduk sendirian di ruang tamu, menangis di bawah gelapnya malam sembari memeluk lutut. Aku berpura-pura tidak tahu demi menjaga perasaannya. Aku sadar, meski sudah lama ditinggalkannya dunia kelam itu, tetap saja ada luka yang masih bersar
Read more
Bab 40: Mencoba Mengusir Kami
Aku masih sibuk menyapu lantai yang baru saja menghadapi badai tornado itu saat ketukan pelan dipintu menghentikanku. Gegas aku melirik, seorang pria paruh baya dengan istrinya yang baru saja pulang dari masjid mampir ke rumah kami.Wajah keduanya begitu teduh, melambangkan kebaikan hati dan ketulusan di dalamnya. Mereka tersenyum ke arahku yang masih memeluk gagang sapu, bingung karena tidak terlalu mengenali dua sosok itu.“Assalamualaikum Dik Gina?” Istrinya menyapa lembut.Aku mengernyitkan dahi, sungguh luar biasa jika dua orang yang terasa asing itu bisa mengenaliku dengan cepat. Padahal, aku sudah meninggalkan rumah ini sejak dua tahun lalu setelas melepas status lajang kepada Bang Teguh.“Boleh kami masuk, Dik Gina?” imbuhnya lagi.Lekas aku mengangguk, kemudian meletakkan sapu di sudut ruangan dan menyambut dua tamuku itu. “Silahkan masuk, Pak ... Bu?” sapaku ragu-ragu.
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status