All Chapters of Penjelajah Benak: Chapter 41 - Chapter 50
62 Chapters
Bab 40
Dihadapan kami berdiri sesosok peri memakai baju berwarna perunggu sambil menenteng busur di tangan kiri dan menyandang tabung berisi anak panah di punggungnya. Di atas baju yang ia pakai itu ia mengenakan mantel berwarna hitam dengan tudung menutupi seluruh kepalanya. Namun yang membuat kami terkejut adalah, yang tadinya kami pikir wajah yang dingin tanpa ekspresi, ternyata sebenarnya adalah topeng yang senada dengan baju perunggu yang ia pakai.“Bagaimana keadaan kalian?” tanya peri itu lagi dengan nada lebih lembut sepertinya menyadari bahwa kami masih dalam keadaan terguncang. Aku dan Ashlyn saling pandang lalu tersenyum lega. Sadar bahwa peri asing ini tidak berniat buruk.“Kami sakit semua.” Kata Ashlyn dengan senyum lemah.Peri itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya memapah Ashlyn. Peri yang satu lagi mendekat lalu mengulurkan tangan berniat membantuku berjalan. Dengan ragu-ragu aku menerima bantuannya karena tubuhnya yang seaka
Read more
Bab 41
“Sudah berapa lama kalian berada di sini?” Pertanyaan Flaresh yang tiba-tiba saat kami makan malam membuatku hampir tersedak. Ini adalah hari kedua kami melakukan perjalanan bersama Flaresh dan Lynx. Biasanya ia tidak akan bicara bila tidak ditanya. Apalagi Lynx. Tapi hari ini tiba-tiba ia menanyakan hal tidak terduga. Meskipun aku tahu maksud sebenarnya dari pertanyaannya, tapi aku tidak mau gegabah. “Bukankah kita sama?” “Kalian tahu yang aku maksud.” Flaresh menatap kami. Bahkan dari balik topengnya aku bisa merasakan pandangan matanya yang menusuk. “Apa maksudmu?” “Sudah berapa lama kalian di dunia ini? “ “Apa? Dunia apa?” Arah pembicaraan ini seperti yang aku khawatirkan. Flaresh menghela nafas tidak sabar. “Untuk ukuran manusia, kau pembohong yang buruk Axel.” Aku melongo mendengar perkataan Flaresh. Hanya dalam waktu dua hari ia bisa mengungkapkan fakta bahwa aku adalah manusia dan terlebi
Read more
Bab 42
  “Kapan kita sampai?” Ashlyn bertanya saat kami semua sedang menikmati sarapan. Flaresh memicingkan mata ke hamparan padang rumput di hadapan kami. “Sebelum siang kita akan sampai di perbatasan Anila.” “Syukurlah.” Aku mendesah lega. Perjalanan kami kali ini memakan waktu yang sangat lama karena letak Anala yang cukup jauh. Tapi aku bersyukur tidak ada halangan berarti yang menimpa kami selain kejadian Darkash terakhir kali. Luka dan lebam di tubuh kami hampir sembuh seluruhnya. Dan Firroke juga hampir pulih meski masih tidak bisa menggunakan sayapnya. “Apa kita akan melewati stepa ini?” Tanya Ashlyn lagi. “Ya.” Jawab Flaresh pendek. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru stepa di hadapan kami. Sejauh mata memandang yang terlihat hanya hamparan rumput tanpa ada pepohonan yang bisa digunakan untuk tempat berteduh. Pasti akan panas sekali siang nanti. Aku menoleh ke belakang kami, ke sabana yang menjadi temp
Read more
Bab 43
 Rasa kesal dan lelah yang kurasakan mau tidak mau menghilang. Pemandangan indah di hadapan kami membuatku merasa lebih santai. Angin sepoi yang hampir tak pernah berhenti berhembus berhasil menyegarkan baik tubuh dan pikiranku. “Apa kita nanti melewati danau itu?” Tanya Firroke. “Apa kau ingin lewat sana?” Flaresh balik bertanya.  “Sepertinya akan menyenangkan.” Flaresh mengangguk.  
Read more
Bab 44
“Lynx.” Lynx yang mendengar panggilan Flaresh segera berdiri menyambutnya. Tampak di belakangnya dua orang peri muda yang sedang duduk di sekeliling api unggun. Aku dan Ashlyn mendekatinya. “Kalian tidak apa-apa?” Tanyaku. Sepasang anak muda itu menatapku dengan tatapan waspada. Mereka jauh dari kesan lemah meski sebelumnya Flaresh berkata mereka terluka. Mereka hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaanku. “Apa yang terjadi?” Tanya Flaresh. “Kami tidak tahu. Kami tiba-tiba saja diserang saat kami baru saja beristirahat.” Jawab peri muda itu. Ia peri laki-laki dengan rambut ikal sebahu berwarna madu. Kulitnya terlihat putih bahkan dalam kegelapan. Flaresh menatapnya agak lama seakan meragukan perkataannya lalu berjalan pergi diikuti Lynx. “Kalian sudah makan?” Tanya Ashlyn yang mulai mengeluarkan barang-barang kami. Lagi-lagi kedua peri muda itu menggeleng. Ashlyn tanpa berkata-kata menyiapkan makanan dan memberikannya pada merek
Read more
Bab 45
Seperti yang dikatakan oleh Flaresh sebelumnya, meskipun kami menemukan banyak tumbuhan di sepanjang jalan Gunung Yamora, tanaman-tanaman itu tidak bisa dikonsumsi. Setidaknya untuk kami. Karena menurut Firroke sebenarnya tanaman-tanaman itu masih bisa dikonsumsi oleh Daunas tertentu. Sedangkan sumber air sama sekali tidak kami temui. Entah bagaimana tanaman di gunung ini bisa hidup tanpa adanya sumber air. Semakin tinggi perjalanan kami, udara yang kami hirup semakin tipis. Hijaunya tanaman pun semakin berkurang dan digantikan lapisan kristal putih seperti salju yang terasa sejuk saat disentuh. Dan pemandangan di sekeliling kami yang tadinya pemandangan lembah Anila berubah menjadi hamparan awan yang bergumpal bagai kapas. “Sebentar lagi kita sampai di distrik Kumo.” Kata Esen membuyarkan kesibukanku mengagumi pemandangan di hadapanku. Aku hanya mengangguk. Toh aku tidak tahu distrik Kumo itu apa. Kami berjalan selama beberapa menit saat akhirnya sampai di p
Read more
Bab 46
“Kami antar sampai sini saja ya.” Kata Esen saat kami sampai di depan pintu gerbang sebuah istana megah dengan dinding berkilau seperti dinding kaca. Kami bertiga, aku, Ashlyn dan Firroke berdiri di depan pintu gerbang dan melongok ke dalam halaman istana dengan kekaguman dan rasa ingin tahu seperti turis. Flaresh dan Lynx entah pergi kemana dan hanya mengatakan bahwa akan segera menyusul kami. “Ini adalah pintu masuk ke dalam istana. Kalian bisa langsung masuk karena istana bagian depan terbuka untuk umum. Jika ingin bertemu dengan Ratu Samirana kalian bisa mengatakannya pada penjaga.” “Ratu Samirana memiliki kebiasaan membacakan buku untuk anak-anak setiap menjelang senja di akhir minggu. Jika kesulitan menemuinya, kalian bisa menemuinya lebih mudah saat itu.” Tambah Era. “Tapi akhir minggu masih dua hari lagi.” Kata Firroke. Era mengangkat bahu. “Hanya itu satu-satunya jalan untuk menemui Ratu jika kalian tidak bisa menemuinya di Hari Penyampaian.”
Read more
Bab 47
Kami diantarkan prajurit penjaga memasuki sebuah aula yang luas. Di ujung aula terdapat telundakan yang mengarah ke singgasana sementara di lantai yang lebih rendah terdapat kursi-kursi di sisi kanan dan kiri. Di atas singgasana tergantung panji-panji dan bendera berwarna putih dan perak.Kami sedang duduk di kursi sambil memandang sekeliling saat pintu di belakang kami terbuka hampir tanpa suara. Hanya sikap Lynx yang tiba-tiba berubah membuat kami mengetahuinya.Mulutnya membentuk kata, Ratu Samirana.Aku dan Ashlyn buru-buru merapikan pakaian dan bangkit berdiri dari kursi kami.Seorang wanita tinggi semampai dengan rambut perak ikal panjang memasuki ruangan dengan langkah ringan seakan terbang. Rambutnya begitu panjang sehingga hampir menyentuh tanah. Wajahnya cantik dengan mata besar berwarna emas yang mengingatkanku pada mata seekor rubah.Aku tidak pernah melihat satu orang manusiapun yang memiliki warna kulit seperti dia. Warna kulitnya sep
Read more
Bab 48
Suara Ratu Samirana menggema dalam benakku dengan keras dan jelas seperti dentang lonceng. Kali ini aku benar-benar terkejut hingga menarik tanganku.Ashlyn memandangku dengan ekspresi setengah bertanya dan setengah mengecam.“Maafkan aku Ratu.” Kataku menyadari sikapku yang tidak sopan. Ratu Samirana tersenyum.“Apakah suaraku terlalu keras?”Dengan gugup aku mengangguk.“Ba, bagaimana Anda tahu? ““Mengapa aku harus tidak tahu? “ Ratu Samirana memandangku dengan tatapan menyelidik. “Berada di dunia kami membuat kemampuanmu meningkat, bukan?”Aku mengangguk. Setelah dipikir-pikir lagi, aku memang semakin sensitif sesampainya di dunia ini. Sentuhan sekecil apapun membuatku mendengar hal yang tidak seharusnya kudengar.Ia mengalihkan pandangannya ke Ashlyn.“Bagaimana denganmu, Ashlyn?”“Eh, bagaimana Ratu? “ tanya Ashlyn bingung.
Read more
Bab 49
“Mengenai kalung ibu kalian.” Ratu Samirana akhirnya memecahkan kesunyian diantara kami. “Apakah itu seperti ini?” Ia mengulurkan kedua tangannya sehingga kami bisa melihat gelang yang melingkar di pergelangannya. Kami semua menjulurkan kepala guna melihat lebih dekat dan dengan segera mengenali batu berwarna merah yang bersinar indah itu. Batu Ruby dari tambang Grahreb. “Ya. Ini sama.” Kata Ashlyn. Aku mengangguk setuju. Ratu Samirana berpandangan dengan Lord Caelus. Lord Caelus mengangguk lalu melepaskan ikat pinggang sekaligus pedangnya dan meletakkannya di meja. “Itu artinya, kalung ibu kalian juga sama dengan ini.” Pedang Lord Caelus yang tipis dan ramping menarik perhatianku pertama kali. Namun saat kuperhatikan lagi, yang ia maksud adalah ikat pinggang dan sarung pedangnya. Ikat pinggang yang sepertinya terbuat dari kulit itu dihiasi beberapa batu ruby. Begitu pula dengan sarung pedangnya. Batu ruby itu memang ditempatkan di benda yang
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status