Semua Bab Ketika Istriku Minta Talak: Bab 11 - Bab 20
206 Bab
Bab 11. Maaf, Mas, Aku Pergi Dulu
  *****   Kuhenyakkan tubuh di kursi meja makan, setelah meletakkan dua jenis obat di atas meja itu. Aku harus menelpon Ray, agar dia tidak lupa dengan tugasnya. Jangan sampai Embun menjadi penghalang rencana ini.   “Iya, Tan?” sahutnya begitu telepon  terhubung.   “Jangan lupa tugasmu! Ingat, harus hamil! Paham, kan, maksud Tante? Perlu, Tante ajari lagi caranya?” perintahku agak berbisik. Kuatir terdengar oleh Mas Rahmad dari kamar.   “Ngerti, Tan. Gak usah diajari!  Kayak anak kecil aja! Tuh,  udah ada  dua cucu Tante buktinya!”   “Bagus, kalau ngerti! Pokoknya jangan gagal, ya!”   “Iya, Tan. Tapi, kenapa empat pembantu itu masih ada di rumah ini, sih? Tadi Tante bilang, akan mengusirnya?”   “Iya, Tante gagal.  Embun agak berubah sekarang. Mulai berani ngelawan. Seyum, diam, tapi menghanyutkan. Kit
Baca selengkapnya
Bab 12. Darry Telah Kembali
Bab 12. Darry Telah Kembali*****“Boleh, saya datang ke rumah, kan, Tante. Tapi, tolong rahasiakan pertemuan kita dari Embun!”“Iya, pasti. Embun tak boleh tak tahu kita bertemu, Tapi, jangan ke rumah Tante, dong. Kan,  ada Papa Embun, suami Tante. Kita bertemu di luar aja, ya?”usulku, hati gembira bukan kepalang. “Kalau ketemu Om Rahmad, saya enggak apa-apa, Tante. Saya enggak pernah bermasalah dengannya, kan? Justru saya telah memenuhi perintahnya untuk menjauhi Embun. Jadi, kenapa saya harus menghindarinya? Justru saya mau bertemu dengannya.” “Oh, jangan! Kesehatannya sedang buruk. Enggak boleh bertemu orang asing sekarang. Jadi, bertemu Tante saja, ya?” “Okelah, kalau memang begitu. Saya nemui Tante di mana?” Kusebutkan nama café langgananku. Pemuda itu menyetujuinya. Bukan main girang hati i
Baca selengkapnya
Bab 13. Mas Darry Tak Mengenalku
Bab 13. Mas Darry Tak Mengenalku POV Embun Entah berapa lama aku terlelap, lalu terbangun saat tangis Radit memekakkan telinga. Ketukan  di pintu terdengar samar. Ingatan belum sepenuhnya normal. Peristiwa tadi malam, kembali melintas. Mas Ray terjungkang ke lantai karena terjanganku. Lalu aku gegas pindah kamar. Ya, aku ingat sekarang, bagaimana  aku berada di kamar tamu ini bersama bayiku. “Bu, Radit nangis. Buka pintunya, biar saya bawa ke luar!” Itu suara Rika, babysitterku. “Ya,” sahutku bangkit dan memutar anak kunci yang menempel di lubang pintu. “Maaf, kenapa Ibu dan Radit tidur di kamar ini?” Rika langsung mengambil Radit dan menenangkannya. “Iya, jam berapa ini?” tanyaku menutup mulut karena menguap. Rasa kantuk belum hilang. “Pukul tujuh, Bu. Bapak sudah berangkat
Baca selengkapnya
Bab 14. Tatapan Sandra
Bab 14. Tatapan Sandra***** Aku tengah berdiri di depan gerbang kampus menunggu taksi online pesanan, ketika sebuah mobil menepi, berhenti tak jauh dariku.  Semula kukira itu adalah Dea, yang sebelumnya menawarkan jasa untuk mengantarku  tapi kutolak. Namun, dugaanku salah. Saat kaca mobil samping dia turunkan, terlihat lelaki sombong itu ada di dalam. Sedang apa dia di situ? Tak hendak hati menyapa, meski jarak kami hanya semeter saja. Dia bersikap sombong, aku harus lebih sombong tentu saja. Aku tahu dia memperhatikanku dari kaca spion samping mobilnya. Kuhela napas lega, saat taksi pesananku telah tiba. Aku turun dari taksi, langsung  menuju ruangan Papa. Sengaja memenuhi panggilannya siang tadi. Tidak biasanya dia menyuruhku datang ke kantor. Hampir semua karyawan kantor menundukkan kepala dengan sopan, saat melihatku. Syukurlah, mereka masih menghargaiku. 
Baca selengkapnya
Bab 15. Dosen killer Itu Cinta Lamaku
Bab 15. Dosen killer Itu Cinta Lamaku***** Wanita itu kaget. Mungkin dia tak menduga aku berani memerintahnya. “Saya masih bicara dengan  Atasan saya, Bu,” ucapnya balik menyergah. Berani dia melawan perintahku. Oh, iya, saat ini aku memang bukan siapa-siapanya. Aku hanya istri dari laki-laki selingkuhannya. Bagaimana mungkin dia mau menuruti perintahku.  Kurasakan ada nada menantang dari ucapannya. Oh, dia memang benar-benar sudah menganggap aku adalah seorang musuh. “Sudah … sudah, kamu kembali sana! Laksanakan permintaanku tadi, ya!” kata Papa menengahi. “Baik, Pak, permisi!” Sandra melenggang pergi. “Sebentar!” ucapku menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik, menatapku tidak senang. “Tidak jadi!” ucapku mengurungkan niat. Kemar
Baca selengkapnya
Bab 16. Perempuan yang hadir di Pemakaman Mama
Bab 16. Perempuan yang hadir di Pemakaman Mama *****Jam pulang kantor, aku dan Dian berpisah.  Setelah dia membenahi pekerjaannya, kami berjalan bersama menuju lif. Kulirik ruangan Mas Ray, sepertinya dia belum pulang. Tas Sandar juga masih tergeletak di mejanya. “Kamu naik apa?” tanya Dian menekan tombol lift. “Taksi,” jawabku sekali lagi menatap ke   arah ruangan suamiku. “Kenapa enggak bareng Pak Ray?” Dian menekan tombol lif lagi untuk menutup dan memilih lantai dasar. “Dia mungkin pulang malam, lembur. Aku enggak bisa nunggu,” jawabku asal. Jujur, semobil saja dengannya aku sudah tak niat. “Terus, kamu mau  mengalah,  ke mana-mana naik taksi? Calon direktur kok!  Kamu harus nyetir sendiri, Embun. Apalagi kamu sibuk banget. Hari ini aku antar kamu pulang, yuk. Naik
Baca selengkapnya
Bab 17. Kurebut Mobil Mamaku
Bab 17. Kurebut Mobil Mamaku***** Aku tak sabar lagi, gegas aku berjalan menuju kamar Papa. Menggenggam kasar handel pintu , lalu mendorongnya kuat. Sia-sia, ternyata pintu dikunci dari dalam. Kenapa Papa mengunci pintu kamarnya? Bukankah dia sendirian di dalam sana? Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya, siapa yang akan menolongnya, begitu pikirku. “Papa! Pa … buka pintunya! Papa baik-baik saja?” teriakku menggedor pintu berulang-ulang. “I-iya, Sayang. Sebentar!” Kutarik napas lega. Setidaknya Papa baik-baik saja. Aku bisa menanyakan tentang perempuan yang bernama Siska itu sekarang juga. Namun, kenyataan yang kulihat justru membuatku tak bisa berkata-kata. Saat pintu kamar terkuak, bukan Papa yang membuka. Perempuan dengan daster berantakan, rambut acak-acakan. Siska. Ya, kata Bik Iyan, perempuan ini bernama Siska. Ngapain di di kamar Papa? Malam-malam begin
Baca selengkapnya
Bab 18. Jangankan Masuk Surga, Mencium Baunya Saja, Haram Bagimu, Embun!
Bab 18. Jangankan Masuk Surga, Mencium Baunya Saja, Haram Bagimu, Embun!**** “Embun! Embuuuuun! Di mana kau, Embuuun!” Seisi rumah tersentak kaget. Suara menggelegar Mas Ray memekakkan gendang telinga. Raya berlari memeluk kakiku, sementara Radit mengoar di dalam box.  Rika, sang babysitter langsung menenangkannya. “Jangan takut, Sayang! Sana sama Mbak Rani!” perintahku menyerahkan tangannya kepada Mbak pengasuhnya. Melangkah agak terburu, aku menyambut  lelaki kesurupan itu ke  arah pintu. Dia baru saja tiba di rumah, malam-malam begini, lho!  Begitu sibukkah pekerjaan di kantor hingga harus lembur setiap hari?” “Embuuuun!” teriaknya sekali lagi sambil melemparkan tas kerjanya ke atas sofa di ruang tamu. “Aku di sini, Mas. Ini rumah, lho, bukan hutan? Penghuninya manusia, bukan binat
Baca selengkapnya
Bab 19. Bukti Pertama Untuk menjatuhkan Mas Ray
Bab 19. Bukti Pertama Untuk menjatuhkan Mas Ray***** Berbagai prasangkan berkecamuk di benak. Dugaanku tertuju pada Rika, babysitter yang sudah bertingkah menjengkelkan sejak awal masuk kerja. Pasti dia yang telah diam-diam mendekati Mas Ray. Karena hanya dia yang paling kepo tentang masalah rumah tanggaku. Apalagi sejak aku pisah ranjang dengan Mas Ray. Sepertinya dia sengaja memancing di air keruh. Jangan-jangan benar kata mama Siska, bahwa jaman sekarang ini banyak pembantu yang merayu majikan. Dia tahu mas Ray sedang kesepian, dia sengaja cari kesempatan. Tapi, masa iya, sih, mas Ray mau dengan Rika? Gadis itu tak ada menarik-menariknya.  Mana mungkin mas Ray mau selingkuh dengannya. Kalau tidak, terus mereka ngapain? Apa yang sedang mereka bicarakan? Sepertinya serius banget. Segera aku bersembunyi di balik tiri jendela samping, ketika mas Ray berjalan meninggalkan si perempuan.
Baca selengkapnya
Bab 20. Rani Korban Obat Perangsang Suamiku
Bab 20. Rani Korban Obat Perangsang Suamiku***** Tanpa ragu, kutukar gelas yang disediakannya untukku dengan gelas miliknya. Untunglah dia berakting adegan nangis segala. Jadi, aku berkesempatan melancarkan aktingku juga. “Makanya saya memberanikan diri mengetuk pintu kamar Ibu, maaf, ya, Bu.” Jangan-jangan anak ini memang pemain. Pasti dia mencuri perhatian Mas Ray pertama kali dengan cara seperti ini. Pura-pura bersedih untuk mencari simpati. “Terus, saya bisa bantu apa?” tanyaku merenggangkan pelukan. “Saya pinjam duit, Buk. Saya bayar  tiap gajihan, potong aja separuh gaji saya. Boleh, ya, Bu?” “Ok, besok pagi saya transfer, ya.” “Benaran, Buk?” “He-em.” “Makasih, Buk, ayuk, kita minum dulu!”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
21
DMCA.com Protection Status