Semua Bab BEDA ISTRI BEDA REZEKI: Bab 31 - Bab 40
82 Bab
31. Janji Suci
"Ayah kangeeen banget sama kalian,” ucap Panji bergitu melerai pelukan. “Kenapa kalian jarang main ke rumah?”“Gak usah ditanya lagi, Mas! Sudah pasti dilarang oleh ibunya,” sahut Hani tanpa sungkan.Layla tersenyum. “Aku gak seperti kalian, Han,” ujarnya berusaha tidak terpancing omongan julidnya Hani, “buktinya kalian bebas masuk ke sini buat nengokin anak-anak. Memangnya aku yang mesti manjat tembok buat ketemu Ziel.”Sindiran telak dari Layla membuat Panji menunduk. Pria itu merasa bersalah. Namun, tidak dengan Hani. Perempuan itu justru menusuk Layla lewat tatapannya.“Gak nyangka yah, muka sok adem kek kamu hatinya penuh dendam,” tuding Hani berani.Layla menipiskan bibir. “Sampai kapan pun kejad
Baca selengkapnya
32. Malam Pertama
Panji memegangi dadanya yang terasa sesak. Napasnya terasa tercekat kala melihat Banyu mengecup kening Layla. Ini benar-benar menyakitkan baginya.Tidak bisa dipungkiri biarpun sudah berpisah selama enam tahun, rasa cinta untuk Layla masih ada di palung hatinya Panji. Tidak kuasa menahan rasa perih di hati, Panji memilih menepi. Dirinya melewati pintu samping. Ada sebuah taman kecil dengan kolam renang di rumah Banyu. Pada sebuah ayunan bangku Panji menyendiri.Berbeda dengan Panji yang tengah mengharu biru, hati Hani justru merah panas membara. Kuping wanita itu terasa panas mendengar mas kawin yang Banyu berikan untuk Layla. Dia merasa iri. Dua kali menikah, belum pernah dia mendapatkan mas kawin se-fantastis itu.“Aku harus bisa bersalaman dengan Banyu. Dan aku harus bisa membuat dia menatap mataku.”  Dalam hati
Baca selengkapnya
33. Dua Garis Biru
"Sial! Sial! Siaaal!” maki Hani seraya memukuli jok yang ia duduki. Dia sedang dalam perjalanan pulang dari pestanya Layla. “Kenapa sih kalo singgah di tempat wanita jelek itu, aku selalu ketiban apes mulu?” geramnya kesal.Wanita itu meraih kotak tisu di atas dasbor. Tangan Hani mulai mengelap wajahnya yang masih terasa lengket dan berminyak. Di sampingnya, Panji hanya melirik sekilas.“Sepertinya Layla sengaja merencanakan ini,” tuduh Hani mulai membabi buta, “dia pasti iri lihat aku cantik dan dipuji banyak orang, makanya nyuruh karyawan-karyawan katering yang bego itu buat nabrakin aku.”Panji menarik napas. Dia menggeleng pelan mendengar tudingan istrinya yang halu.“Jahat banget itu orang, semoga kena karma!” umpat Hani dengan kasar, “mana aku udah kondangan gede lagi, eh malah gak ditawari makan.”“Emang kamu ngamplop berapa?” tanya Panji terus fokus pada arah jala
Baca selengkapnya
34. Nasib Bela
Layla membuka mata. Dia menoleh ke samping. Bantal kepunyaan Banyu kosong.Wanita itu mengedarkan pandangan. Kamarnya lengang tidak tampak sosok sang suami. Layla bangun dari rebahannya.Hawa dingin dari pendingin ruangan langsung menerpa kulit. Layla kaget mendapati dirinya masih dalam keadaan polos. Seketika bibirnya menyunggingkan senyum mengingat aktivitasnya bersama sang suami satu jam yang lalu. Lelah membuatnya ketiduran.Layla bahagia. Penantian enam tahun dirinya menemui ujung. Wanita itu merasa benar-benar bersyukur dapat memiliki seorang imam sebaik Banyu.Sayup-sayup Layla mendengar suara gemericik air. Dia menduga jika suaminya tengah membersihkan badan. Perlahan wanita itu beringsut turun dari ranjang.Layla memunguti pakaiannya yang tercecer
Baca selengkapnya
35. Kesadaran Panji
Panji merasa ada seseorang yang menarik-narik lengannya. Pria itu membuka mata. Ternyata si mungil Zea yang membangunkan.Tangan bocah berambut panjang itu menunjuk pintu. Sepertinya dia ingin keluar. Sekali sentak, Panji sudah terbangun duduk.Di sebelahnya, Hani masih melongo dengan posisi terlentang. Air liur membasahi pipi wanita itu. Panji mendesah. Sudah biasa dirinya terbangun lebih dulu dari Hani.Berbeda sekali saat masih beristrikan Layla. Dulu setiap Subuh wanita lembut itu akan membangunkannya. Mengajak Panji beribadah dan secangkir kopi pun telah tersedia.Sayang ... semenjak usahanya mengalami peningkatan, Panji menjadi malas beribadah. Lelah dan tidak ada waktu adalah alasannya. Apalagi sejak bertemu Hani. Pria itu benar-benar meninggalkan sholat.
Baca selengkapnya
36. Tekad Atha
"Stop! Stop ... hentikan!” teriak Atha tidak tega melihat gadisnya meraung kesakitan.“Ini maksudnya kumaha atuh?” Si nenek bertanya dengan bingung.“Hentikan urutnya! Aku nggak mau Bela mati,” perintah Atha tegas.Si nenek menatap Atha dengan tajam. Bela sendiri langsung bangkit. Dia menyambar tas selempang yang terletak di sebelah tempat ia berbaring. Gadis itu langsung berdiri di samping Atha.Wajah Bela masih terlihat pucat. Sementara bibirnya juga meringis menahan nyeri. Tangan gadis itu terus mengusap-usap perutnya yang tadi sempat diurut oleh si nenek.“Kita pergi,” putus Atha yakin.Air mata Bela menitik. Gadis itu mengangguk bahagia. Tanpa ragu-ragu dia memeluk belahan jiwanya.
Baca selengkapnya
37. Kekeliruan Kenzi
"Ayo, Pak, kita periksa rumah Ibu Hani! Saya yakin pasti anak saya bersembunyi di rumah ini,” tutur Bapaknya Bela tanpa ragu.“Tunggu-tunggu!” Hani menginterupsi, “atas dasar apa Bapak nuduh kami yang menyembunyikan putri Bapak? Bapak punya bukti? Tunjukan!” tantangnya berani walau pun masih dalam gendongannya Panji.“Saya sudah mencari Bela di rumah teman-temannya dan keluarga kami. Tapi gak ada kami temukan,” balas Papa Bela lantang.“Hanya karena itu Bapak menuduh kami menyembunyikan Bela? Hah ... picik sekali,” ejek Hani dengan senyum merendahkan.“Ibu Hani, Bapak Beni melaporkan putra Ibu yang telah membawa kabur putri beliau. Untuk kepentingan penyidikan, kami minta tolong kerja samanya,” pinta seorang petugas dengan sopa
Baca selengkapnya
38. Bersembunyi
Atha dan Bela tengah menyaksikan siaran televisi. Keduanya baru saja menyantap pop mie. Mereka sedang asyik menikmati camilan yang dibeli di Indoapril.Keduanya duduk berdempetan. Tawa canda mewarnai kebersamaan mereka. Rasa kalut dan bingung beberapa waktu lalu telah sirna. Kini Atha dan Bela merasa dunia hanya milik berdua.“Tha, emang mulai kapan kamu nyari kontrakan?” tanya Bela dengan bibir mengunyah jajanan.“Tar lah kapan-kapan,” sahut Atha enteng. Tangannya mencomot jajanan ringan yang tengah dipegang Bela. “Nunggu diusir dulu. Tapi aku yakin sih, Kenzi gak bakalan ngusir asal kita pandai ambil hatinya. Apalagi anak itu gak tegaan.” Cengiran mewarnai bibir Atha.“Terus ... kapan kamu nyari kerjanya?”“Ahhh ... i
Baca selengkapnya
39. Ketegasan Ayahnya Bela
Banyu terus melangkah. Dia menapaki tangga besi itu tahap demi tahap. Tiba di atas dirinya tidak menemukan apa pun.Banyu membutuhkan penerangan untuk memperjelas penglihatan. Dia merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel. Pria itu mulai menyalakan senter pada benda pipih tersebut. Tangannya mengarahkan ponsel tersebut ke segala penjuru.Banyu terus melangkah. Benar-benar tidak ada orang. Lelaki itu kembali memeriksa sekeliling.Sementara di dalam penampungan, Bela dan Atha sudah mulai merasa kekurangan udara. Apalagi airnya cukup dingin. Seperti air dari dalam lemari pendingin. Bela sampai menggigil karenanya.“Aku gak kuat, Tha,” rengek Bela merasa ketakutan.“Ssst!” Atha langsung membungkam mulut Bela dengan tangannya. “Jangan sampai
Baca selengkapnya
40. Di Rumah Sakit
"Mamaaa!" Atha terus memanggil ibunya. Dia menepis pegangan tangan polisi. “Biarkan saya ngomong sama Mama, Pak. Sebentar saja. Saya mohon,” izinnya dengan menangkupkan kedua tangan.“Ya sudah sana jangan lama-lama!” Polisi berbadan tinggi itu mengizinkan.Atha mengangguk senang. Anak itu berlari dan langsung menghambur mendekap Hani.Hani yang tidak siap ditubruk sedikit oleng karenanya. Beruntung Panji menahan. Sehingga wanita itu tidak terjatuh.Untuk mengambil hati Hani, Atha bersujud dan mencium kaki wanita itu.“Tolong maafkan aku, Ma,” ucap Atha dengan air mata buaya. Persis Hani jika sedang bersandiwara. Anak itu berdiri. Dia mengambil dompetnya. Anak itu menggenggamkannya pada Hani. “Ini uang sama ATM Mama aku balikin.&rdq
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234569
DMCA.com Protection Status