Semua Bab FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang): Bab 41 - Bab 50
132 Bab
41. Rasa yang Tersembunyi
Mendengar pertanyaan itu, dua perempuan di dapur menoleh. Dari pintu hubung tampak Pramono berjalan mendekat. Seperti maling ketahuan, Nadya menunduk akibat dentaman keras di dadanya. Di seberang meja, Annisa mencoba mencari jawaban yang tepat agar apa yang keluar dari mulutnya tak menjadi masalah bagi rumah tangga orang lain. Namun, akhirnya kembali Pramono yang bicara. “Udah mateng, Dek? Mas laper banget.” Pertanyaan itu tak langsung dijawab, karena Nadya seperti tak mendengarnya. Dia masih menunduk menatap entah pada apa di meja, sampai Pramono mengulang pertanyaan disertai sebuah usapan di pucuk kepalanya. “Ya, Mas? Apa?” Pramono mengernyit. Dia menatap Nadya heran. Membuat perempuan itu sedikit gugup sebelum mengingat pertanyaan yang samar dia dengar dari suaminya. “S—sudah, Mas. Mau sekarang?” “Ya, Mas laper banget.” “Tapi, cuma ada tempe goreng sama sambal bawang. Nggak apa-apa? Nad nggak belanja kemarin karena nggak tahu Mas akan pulang.” Dari pintu yang sama Ali muncul
Baca selengkapnya
42. Mengikuti Alur
“Apa?” Nadya menatap Ali dan Annisa bergantian. Mendadak sensasi ngilu itu muncul kembali di sudut hati Nadya. Menampilkan tawa getir di wajah itu. “Oh, waw. Sudah serius rupanya kalian ya ... sampai Mbak pun nggak tahu.” Ekspresi Nadya berubah. Dia mengatakan itu dengan raut kesal yang tak ditutup-tutupi. Membuat gadis di seberang meja menunduk luruh. “Kalau cuma enam puluh lima juta, Mbak pun ada. Kenapa Ali? Apa Mbak bukan saudara kamu? Kenapa semudah itu menerima bantuan dari—“ Kalimat Nadya berhenti saat sebuah sentuhan hangat terasa di lengan kanannya. Dia menatap dua tangan yang bertumpu itu sebelum membuang muka jengah karena menyadari reaksinya berlebihan. “Dek, dia menerima bantuan dari calon suami, apa salahnya?” tanya Pramono menoleh ke arah Nadya. “Biarkanlah. Justru bagus kalau masalahnya cepat selesai, bukan?” Remasan pelan Nadya rasakan di jemarinya. Dari ujung mata, Ali yang sejak tadi hanya diam, melirik pada Annisa. Kasihan pada Annisa yang terpojok, dia memb
Baca selengkapnya
43. Salah Paham
“Dek, mereka pamit, tuh? Kamu nggak keluar?” tanya Pramono tepat setelah pintu kamar tertutup. Nadya tak menyahut. Setelah menangis sepanjang berada di kamar, dia merasa tak ingin melakukan apa pun kecuali berbaring untuk meredakan rasa pening kepalanya. “Are you ok, Nadya?” Pramono bertanya hati-hati. Saat sensitif, salah bertanya akan menjadi masalah baginya. “Aku capek, Mas. Boleh aku tidur?” Sebaliknya, Nadya menjawab sedikit ketus dari balik selimut, lalu memijit pelipisnya. Mendadak dia kesal pada perhatian Pramono yang menurutnya sedikit berlebihan. Pramono memandang wanita di ranjang dan mencoba mencari solusi untuk masalah itu. Sayangnya solusi dari masalah hati wanita sering kali hanya dia yang tahu. Maka ketika ... “Mau dipanggilkan tukang urut?” Pertanyaan Pramono kembali keluar, tapi jawaban Nadya tetap sama. Dia menggeleng. “Baiklah. Mas keluar ya.” Nadya tak menanggapi. Pramono menghela napas. Setelah membetulkan letak selimut istrinya, dia melangkah menuju ruang
Baca selengkapnya
44. Reaksi Berlebihan
Beberapa hari lalu. “Ali agak telat, Bu. Ibu tunggu atau naik taksi?” “Ibu tunggu aja di depan ya, dekat parkiran.” “Ok.” Sambungan telepon terputus. Roro memasukkan kembali ponsel ke dalam tas, tapi kecemasan segera menguasai hati perempuan paruh baya itu sebab dia tak mendapati dompetnya di sana. Roro mengedar pandang ke penjuru lantai berharap menemukan barang yang dia cari di sana sebelum seorang gadis muncul di belakangnya dengan tangan terulur. “Ibu cari ini?” Perempuan muda bersetelan kasual menyodorkan dompet berwarna coklat tua kepada Roro yang seketika menatap tangan terulur itu. Dan ya, dia kenal benar benda dalam genggaman gadis itu adalah barang yang dia cari. Pandangan Roro kemudian berpaling pada sosok yang membawanya. Dia kembali berbicara, “Saya menemukan ini terjatuh di lantai, dan mengikuti Ibu sampai di sini. Punya Ibu, ‘kan?” Perempuan muda itu mengulum senyum yang dalam pandangan Roro tampak tulus tanpa dibuat-buat. Entah karena dia telah bosan mendekati
Baca selengkapnya
45. Kehilangan Bag. 1
“Apa ada hubungannya dengan Ali?” Pramono menatap lekat wajah melengos Nadya yang dalam pandangannya seperti upaya mengingkari kenyataan, bahwa memang ada yang tengah dia sembunyikan. Mendengar pertanyaan tak terduga dari Pramono, Nadya menoleh cepat. “Apa maksud Mas?” Perempuan itu memindai wajah sang suami. Pupilnya bergetar karena pikirannya kini mulai liar membayangkan kemungkinan Pramono tahu semuanya. Dan menunggu apa kira-kira yang akan terjadi selanjutnya. Setelah sekian detik berlalu, belum juga ada jawaban dari Pramono. Laki-laki itu masih diam dan menatap kosong ke sudut lain. Detik berikutnya dia bangkit dan berjalan ke arah balkon lalu kembali berbalik untuk memandang istrinya dari luar jendela. “Kalau sudah baikkan, ayo kita turun. Tasya menanyakan kamu. Kamu perlu juga kenalan sama Mbak Asih.” Laki-laki itu kemudian berbalik dan kembali menatap keluar rumah seolah ada pemandangan menarik di luar sana. Sementara Nadya mengumpat dalam hati. Dia tak suka merasa risau
Baca selengkapnya
46. Kehilangan Bag. 2
Pramono meletakkan sebingkai foto berukuran 3R yang baru diambilnya dari dalam tas ke atas meja kerja. Foto itu sengaja dia bawa untuk mengisi space di meja kantor barunya. Beberapa saat sebelum tangan itu terlepas dari kayu yang membingkai, dia sempat menatap seraut wajah di dalamnya cukup lama. Sesosok wanita dengan rambut panjang yang terikat asal, tertangkap kamera tengah duduk di depan layar laptop yang menyala di bawah rindangnya pohon beringin. Di satu sisi wajahnya, terlihat rambut yang terlepas dari ikatan berkibar tertiup angin. Selarik senyum terlukis tipis dan terkesan dipaksakan mengiringi pandangan ke arah kamera. Anehnya meski kaku wanita itu justru tampak ayu di mata Pramono. Itu adalah foto lama. Dia ingat benar kapan tepatnya foto itu diambil. Saat itu, Nadya adalah gadis yang sulit didekati seakan sebuah dinding tebal menghalangi siapa pun mendekat termasuk Pramono. Tapi bukan Pramono namanya, jika mudah menyerah. Laki-laki itu punya cara untuk memiliki Nadya tan
Baca selengkapnya
47. Kehilangan Bag. 3
“What?” Risa berseru. Kedua matanya nyaris keluar mendengar penuturan Pramono. Laki-laki itu menatap tangan kanannya di meja. Kunci mobil yang awalnya berada di saku celana entah kenapa dia keluarkan, dan menimbulkan suara gemercik karena dimainkan. “Kamu yakin? Sudah coba selidiki?” Risa memastikan. “Aku nggak tahu apa itu perlu. Dan andai benar, bukankah artinya aku mempermasalahkan masa lalu Nadya?” **** Waktu menunjukkan pukul empat sore saat Pramono melirik jam di tangan kirinya. Dia bermaksud menyelesaikan tumpukan terakhir sebelum memutuskan melangkah keluar. Itu bukan benar-benar tumpukan terakhir, tetapi batas yang dia targetkan harus selesai untuk hari ini. Buku terakhir selesai ditandatangani. Pramono kembali melirik jam di tangan sembari menutup kembali pena berwarna keemasan di tangan. Masih ada empat puluh menit sebelum pertemuan dengan John yang dia janjikan. Laki-laki itu meraih ponsel di meja, lalu mulai menggulirkan ibu jari mencari kontak Nadya. Seperti biasa
Baca selengkapnya
48. Tawaran Menarik
Usai menidurkan Tasya, Pramono mendekati Nadya yang berbaring di kamar. Waktu menunjukkan pukul sembilan malam dan dia yakin Nadya belum tidur. Sebab laki-laki itu melihatnya masuk kamar, belum lama tadi. “Hei.” Pramono menjatuhkan dirinya di tepi ranjang. Nadya tak menyahut. “Apa yang membuatmu sekesal itu? Bisa jelaskan?” Pramono bertanya hati-hati. Nadya berbalik. Dia menatap kesal laki-laki yang bersandar pada kepala bed. “Dia minta bertemu dan main dengan orang yang bukan ayahnya. Menurut Mas itu bukan sesuatu yang salah?” “Itu salah. Tapi tak harus sekeras itu, bukan? Sampaikan baik-baik, dia akan mengerti, bahwa tidak semua hal yang dia inginkan bisa didapatkan.” Nadya tercenung. Mendengar jawaban sang suami yang sebenarnya tidak keliru, dia sadar telah terbawa emosi. “Lagi pula, Dek, Mas heran. Biasanya anak akan dekat dengan seseorang, jika sering berinteraksi. Bagaimana Tasya bisa langsung dekat dengan Ali? Apa dia sering ke sini?” Pramono menatap lekat sang istri. So
Baca selengkapnya
49. Terbelit
“Jadi ... Mas ingin orang mengira kita ada hubungan dengan menawarkan itu?” Annisa akhirnya memilih mengutarakan pendapat alih-alih menerima tawaran itu. Dia bukan orang yang mau mengambil kesempatan setelah dibantu. “Tidak perlu. Aku bisa pulang, dan serahkan uang itu pada ayah. Terima kasih sebelumnya. Aku usahakan bayar secepatnya.” Ali mengangguk. Tak masalah bagi Ali kapan Annisa akan membayarnya. Dia percaya Annisa akan menepati ucapannya walau mungkin sedikit lebih lama. “Lalu, kapan Mas akan jelaskan ke Mbak Nad? Aku ... merasa bersalah.” Annisa menatap ponsel di tangan yang sebenarnya tidak ada apa-apanya selain samar pantulan wajah di layar yang gelap. Seraut wajah yang awalnya dia anggap cantik, kini begitu menyedihkan setelah jatuh cinta dan kandas begitu saja. “Aku belum tahu,” jawab Ali. Dia pun ingin menjelaskan secepatnya, tapi mengingat Pramono di rumah, dia tak ingin Nadya mendapat masalah. “Abaikan saja dulu. Kupastikan dia paham bahwa kita tidak ada apa-apa.”
Baca selengkapnya
50. Menagih Janji Bag. 1
“Gimana ceritanya, Bulik?” tanya Annisa pada wanita di ambang pintu. “Bulik dengar masalahnya hutang, dan kamu mengingkari perjanjian nikah dengan anaknya.” Erna berpaling, lalu kembali menatap Annisa. “Kenapa, Nduk? Mbok nurut saja. Kasihan bapakmu.” Annisa kembali tergugu mengingat percakapan beberapa menit yang lalu. Di sepanjang jalan menuju rumah Rizal, dengan pandangan buram dia menatap deretan nomor telepon yang diberikan Erna padanya. Itu nomor yang orang tuanya berikan sebelum meninggalkan rumah akibat pengusiran yang diterima. ‘Pengusiran? Kejam sekali.’ Annisa tak menyangka bahwa orang yang mereka anggap keluarga tega memperlakukan Narto sekejam itu. Tangis Annisa belum reda saat laki-laki yang menyetir turun di depan sebuah bank dan melangkah gesit ke arah mesin Anjungan Tunai Mandiri di ujung halamannya. Lalu kembali keluar dan berjalan cepat ke mobil dengan segenggam uang, setelah berada di dalamnya cukup lama. Tangis Annisa semakin menjadi saat melihat laki-laki yan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
14
DMCA.com Protection Status