Semua Bab FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang): Bab 31 - Bab 40
132 Bab
31. Menagih Perjumpaan
Di rumahnya Ali gelisah mendapati pesan yang dikirim tak kunjung dibalas oleh Nadya meski dua centang abu telah berubah menjadi biru. Dia sadar, terlalu tak tahu diri jika mengharapkan Nadya di tengah keadaannya saat ini. Sejak awal, dia mencintai perempuan bersuami. Ali membuang napas lelah. Ponsel di tangan belum juga dia letakkan kembali. Pandangannya masih tertuju pada layar di mana nama Nadya tersemat seakan tak ingin melewatkan apa pun yang akan masuk ke sana. Lebih dari itu, balasan pesan dari perempuan itu, meski setelah sekian jam berlalu harapan itu kian terkikis. Pandangan Ali kemudian tertuju pada ujung layar di mana jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sunyi kian menyiksa kala hati menagih kembali perjumpaan yang tak seharusnya. Maka di sanalah dia berada sekarang. Bersandar pada pintu mobilnya, Ali berdiri memandang rumah minimalis berlantai dua yang berdiri megak di hadapannya. Rumah yang tampak berkilau mewah oleh hiasan lampu taman di tengah sepinya malam. Pramono
Baca selengkapnya
32. Pertemuan dengan Annisa
Ali masih memandang ke arah dua orang yang berdebat di seberang jalan. Diam-diam mengamati tanpa berniat ikut campur, hanya untuk berjaga karena perdebatan tak selalu berakhir baik-baik saja. Tampak perempuan berjilbab jingga itu mengabaikan lelaki di sampingnya meski sang lelaki terus berbicara. Kemudian Ali terburu-buru bangkit ketika perdebatan sengit di ujung sana tak lagi bisa dia toleransi karena sang lelaki mencoba menarik paksa Annisa ke dalam mobilnya. “Woy, lepas!” Suara bariton memecah perdebatan sengit, mengalihkan kedua orang itu ke arah Ali. Lalu sama-sama mendelik, terkejut. “Mas Al—“ Annisa menjeda ucapan karena seseorang yang menggenggam pergelangannya menekan lebih kuat. Dia menoleh pada Annisa dengan ekspresi tak percaya. Laly kembali memandang Ali. “Kau siapa? Jangan ikut campur!” Sang lelaki menuding ke arah Ali bersamaan dengan tarikan pada tangan Annisa ke belakang tubuhnya. Gadis itu nyaris terjatuh, sampai Ali mempercepat langkah kemudian dengan tangan kiri
Baca selengkapnya
33. Rencana Perjodohan
Empat belas jam sebelumnya. “Nisa, ayah bisa ngomong sebentar?” Dada Annisa berdengap. Beberapa jam sebelumnya sang ibu sudah mengatakan bahwa salah satu kerabat jauh menghubungi untuk meneruskan rencana perjodohannya dengan Rijal. Rencana itu sebenarnya telah tercetus cukup lama, namun Annisa tak menyangka bahwa itu benar-benar akan terealisasi. Dengan langkah gemetar, Annisa mendekati sang ayah kemudian duduk pada salah satu kursi rumahnya, menunggu apa pun yang akan ayahnya katakan. “Kamu pasti sudah tahu dari ibu, ‘kan?” Annisa melirik sang ayah sesaat, sebelum pandangannya kembali tertuju pada kedua tangan yang saling bertumpu di pangkuan. “Dulu, Rijal pernah melamarmu,” kata sang ayah. “Dan sekarang, dia mau melanjutkan itu. Kamu kenal dia dari kecil pasti tahu bagaimana perangainya, ‘kan?” Meski benar, tetap saja gadis itu tak bisa mengabaikan rasa kecewa pada laki-laki yang menerima lamaran tanpa terlebih dulu menanyakan pendapatnya. Dua tahun lalu, Rijal melamarnya dan
Baca selengkapnya
34. Cemburu Bukan Pada Tempatnya
Nadya memicing. “Minta tolong?” ‘Minta tolong? Malam-malam begini? Apa yang bisa kulakukan?’ Tak biasanya Nadya mendengar kata-kata itu dari Ali. Seiring dengan kesadaran yang terkumpul, Nadya menengok jam di dinding. Jarum pendek baru akan menuju angka sebelas. Nadya bangkit dan bersandar pada kepala bed. “Tolong apa, Mas?” Setelah terjeda beberapa detik, terdengar jawaban dari ujung telepon. “Apa Annisa bisa menginap semalam di rumahmu?” “Apa?” Sekali lagi Nadya menatap jam di dinding. ‘Annisa?’ Nadya mematikan ponsel setelah mendengar maksud Ali dan mengizinkan. ‘Apa bisa, katanya?’ Perempuan itu tersenyum getir. Bahkan jika Annisa ingin berlama-lama di rumahannya pun, akan dengan senang hati dia izinkan. Yang mengganggunya adalah, kenapa harus Ali yang meminta izin? Apa gadis itu tak bisa bicara sendiri? Apakah dia pikir ‘aku’ akan dengan kolot menolak dia? Apa yang sebenarnya terjadi pada Annisa? Bagaimana malam-malam begini mereka bisa bersama? Nadya menghela napas dalam
Baca selengkapnya
35. Annisa El Lathiefa
Beberapa menit yang lalu. “Berapa hutangnya?” Annisa menoleh ke arah sumber suara dan menerka maksud pertanyaan yang baginya terdengar lancang itu. Namun, tak dia temukan apa-apa. Laki-laki itu seringkali terlalu misterius untuk dimengerti. “Kalau memang masalahnya hutang, seharusnya selesai setelah semuanya lunas, bukan?” tanya Ali kemudian pandangan mereka beradu sebelum sama-sama berpaling. Meski harus mempermalukan diri, Annisa menjawab apa adanya. Enam puluh lima juta boleh jadi sedikit bagi sebagian orang, tapi tidak bagi mereka. Sepetak tanah yang dimiliki Ayahnya telah dijadikan jaminan dan akan lunas andai dilepas. Tapi bagi Annisa itu harta satu-satunya. Jaminan mereka bisa hidup nyaman tanpa intimidasi siapa pun. “Akan kubayar,” sahut laki-laki itu akhirnya, memaksa perempuan di sampingnya menatap tajam yang kali ini disertai sorot tak percaya. Tentu Annisa bukan tidak mendengarnya. Kalimat itu terdengar cukup jelas di tengah sunyinya malam. “Jika itu bisa melepaskan
Baca selengkapnya
36. Berubah Pikiran
“Keluarlah, biar kubawakan.” Ali melepas dekapannya, lalu menyematkan helai rambut yang terlepas dari ikatan ke belakang telinga Nadya. Perempuan itu mengatur napas. Merapikan ikatan rambut yang sebenarnya sama sekali tak berubah sejak dia keluar tadi, kemudian melangkah keluar mendahului Ali yang menyunggingkan senyum melihat tingkah perempuan manja itu. Tiba di ruang tengah, Nadya mendengar isak tertahan dan samar bayangan tangan yang mengusap wajah. Menepikan rasa cemburu yang sempat tersemat, yang kemudian membuatnya malu ketika mengingatnya, Nadya menekan sakelar lampu, dan tampaklah wajah sembab berbalut pasmina cream di sofa. Annisa memaksakan senyum. “Maaf jadi merepotkan Mbak Nad.” Setelah melihat apa yang terjadi, Annisa tahu, Nadya terpaksa mengizinkannya menginap. Nadya membalas senyum. “Mbak dengar dari Mas Ali apa yang menimpa kamu. Sabar, ya,” ucapnya masih sambil berdiri menunggu Ali meletakkan tiga cangkir itu di meja. Kalimat itu dia ucapkan ramah seperti biasan
Baca selengkapnya
37. Kepulangan Pramono
“Bayangkan jika Mas adalah suami dan istrimu bermain di belakang dengan cinta lamanya. Apa yang akan Mas lakukan? Apa Mas tidak terluka? Apa Mas rela berbagi wanita dengan laki-laki lain?” Annisa berpaling. Menghirup napas dalam sebelum kembali bicara. “Aku bukan bermaksud menggurui. Sedalam apa cinta kalian, aku pun tidak tahu. Hanya terlanjur menganggap kalian adalah keluarga maka aku takut sesuatu terjadi dan kalian terlambat menyadari kesalahan.” Ucapan Annisa tiba-tiba mendesak kesadaran Ali. Mengubah ruang gelap yang semula mengurung menjadi terang dalam pandangan. Ali terjaga. Sesak di dada seolah akan meledak, memaksanya seketika bangkit dari tidur. Ali mengusap wajah gusar. Sering kali ucapan sederhana pun menjadi sangat melukai saat hati begitu peka. Menoleh ke kanan, Nadya masih terlelap di sampingnya. Pandangannya berpaling pada jam di dinding kamar, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Ali bangkit. Setelah membersihkan diri dan mengenakan lagi pakaiannya, laki-laki it
Baca selengkapnya
38. Sebagai Tumbal
Nadya melangkah menuruni tangga saat terdengar bel rumahnya berbunyi. Bersamaan dengan itu, terdengar pula dering panjang dari telepon yang memang sudah di tangan. Itu Pramono. “Ya, Mas?” “Buka pintunya, Dek!” Kalimat Pramono serupa perintah bagi Nadya yang membuatnya menurut begitu saja. Di ruang tamu dia sempat mengikuti arah perginya Ali dan mendapati dia berbelok ke dapur, tempat di mana Annisa berada. ‘Ayolah, Nad, ini bukan saatnya cemburu.’ Nadya memejamkan mata demi meredam gejolak rasa yang tak tak pada tempatnya. Kemudian seperti tulang di tubuhnya lenyap, Nadya gemetar nyaris tak sanggup menopang langkah sendiri hanya dengan membayangkan kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimana jika Pramono tahu? Bagaimana jika keributan di rumahnya? Memikirkan apa yang akan dia katakan pada suaminya nanti menimbulkan sensasi mual di lambung. Tiba di depan pintu, telepon terputus. Nadya menghirup napas dalam sebelum membukanya. Klak! Pintu terbuka. Wajah Pramono benar-benar muncul
Baca selengkapnya
39. Dua Lelaki dalam Semalam
“O—oh, waw, kenapa kalian nggak cerita?” Memandang Annisa dan Ali bergantian, Nadya kemudian menunduk setelah menanggapi sekedarnya. Seperti diingatkan pada niat awalnya mempertemukan mereka, niat yang juga diketahui oleh Pramono, Nadya merasa terjerembap pada lubang yang dia ciptakan sendiri. Membuat lukanya menyakiti bukan hanya tubuh tapi juga jiwa. Nadya mengusap kepala yang mendadak terasa pening. Di sebelahnya, Pramono dan Annisa masih sibuk membicarakan masa depan yang entah bagaimana mendadak menjadi topik menarik bagi mereka. Sementara di sudut lain, Ali menatap kuatir tanpa bisa berbuat apa-apa. Dia menebak, Nadya tak baik-baik saja sebab berita yang baru saja dia dengar. Nadya mulai menggigil. Mendadak udara terasa dingin baginya. Bukan hanya, oleh kabar yang baru saja dia dengar, tapi juga oleh pakaian tanpa lengan yang dikenakannya. Nadya memeluk diri sendiri. “Kenapa, Dek?” bisik Pramono saat akhirnya menyadari gelagat tak biasa Nadya. Dia menggenggam tangan sang ist
Baca selengkapnya
40. Cemburu Buta
Pukul empat pagi, Nadya terjaga oleh suara gemercik air dari kamar mandi. Tak berselang lama seseorang keluar dengan aroma khasnya. Itu kali ke dua Pramono mandi sepagi ini. Nadya kemudian kembali memejamkan mata saat merasakan seseorang mendekat dan duduk di tepian ranjang. Lalu sebuah kecupan terasa hangat di pelipisnya yang tertutup helaian rambut. “Subuh, Dek.” Pramono mengusap lengan Nadya lalu melangkah keluar dengan pakaian koko lengkap dengan sarungnya setelah memastikan istrinya bangun. Setelah membersihkan diri, Nadya tetap menjalankan salat meski dia tahu Tuhan pasti telah murka oleh perbuatannya. Satu hal yang dia yakini, ada kewajiban yang tak bisa ditinggalkan sebejat apa dia telah berbuat—meski berakhir dengan pertanyaan menggantung, ‘Lalu apa esensi aku melakukan semua ini jika tetap tak mencegah perbuatan keji?’ Nadya menunduk ketika menyadari bahwa bukan aturannya yang salah, namun benaknya yang keliru. Dia tak berada di tempat saat peraduan dengan Allah berlangs
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
14
DMCA.com Protection Status