Semua Bab MADU SATU MERTUA: Bab 141 - Bab 150
181 Bab
Bagian 6
“Mau pergi naik mobil, siapa sopirnya?” tanya Rano saat Rasti menelpon dan berpamitan.“Aku sudah punya sopir yang bisa aku ajak. Dia bekerja pada Pak Aris,” jawab Rasti.“Kalau sopirnya orang lain, kamu akan tergesa-gesa di sana. Belum lagi kalau ada sesuatu hal yang terjadi. Kamu berangkat saja sama Huda. Lebih enak. Nanti, saya yang akan bilang sama Maryam,” usul Rano.Rasti tidak langsung menjawab. Ia berjanji akan memikirkannya. Sejak tinggal di rumahnya sendiri, ia jarang bertemu Huda. Menjadikan dia kurang nyaman untuk pergi bersama lelaki yang usianya lebih muda darinya itu.“Tidak apa-apa, Mbak. Mbak akan lebih nyaman pergi bersama Mas Huda. Aku dan emak juga tidak akan merasa khawatir,” desak Maram saat ia bermain ke rumah Rasti. Wanita itu sudah tahu tentang hal tersebut dari ayah mertuanya.Rasti tidak langsung menjawab desakan yang disampaikan Maryam. Namun, tak berapa lama, akhirnya dia mengangguk pelan. “Apa kamu tidak apa-apa, Mar?” tanyanya ragu.“Tidak sama sekali, M
Baca selengkapnya
Bagian 7
Part 76“Rasti, masuk dulu,” ujar Rano.Rasti tersadar dan berkali-kali mengusap air matanya.“Mbah, ini Rasti namanya. Dia anaknya Pak Rusdi, alias cucu Mbah,” ucap Rano menerangkan.“Anake Rusdi? Cucuku?” tanya Si Mbah dengan bahasa campur. Ia kini yangb berganti memeluk Rasti sambil menangis dan terus menerus berbicara, menyatakan segala ungkapan hati yang dipendamnya selama puluhan tahun.“Kok baru ke sini, ha? Kok ra eling Simbah? (kok tidak ingat simbah) Kok gak pernah pulang kenapa? Mendi bapakmu? (mana bapakmu)” tanya Si Mbah beruntun.Rasti menangis tergugu di pelukan wanita yang dekapannya sangat ia rindu sejak dulu kala. Nadine dan Raline pun ikut menangis melihat sang ibu berperilaku demikian.Setelah puas menumpahkan rasa haru, ibunda Rusdi mengajak mereka masuk.Lantai keramik yang sangat dingin terasa di kaki Rasti dan anak-anaknya. Musim kemarau dengan angina yang sangat kencang memang membuat udara terasa dingin meski matahari bersinar terang.Wanita tua yang bernama
Baca selengkapnya
Bagian 8
Rasti bernapas lega karena ia tidak perlu memulai pembicaraan itu.“Terus, bagaimana mereka menikah, Mbah?” tanya Rasi penasaran.“Astuti sakit parah karena berusaha dipisahkan dari Rusdi. Akhirnya tidak ada pilihan lain selain menikahkan mereka. Tapi, bapakmu benar-benar tidak dianggap di rumah mereka. Maklum, mereka keluarga paling terpandang di desa ini. Sebuah aib, anak simbah yang miskin sampai menikahi anak gadisnya. Setelah menikah, mereka berusaha dipisahkan, itu sebabnya Rusdi mengajak Astuti kabur.”“Sekarang, mereka bagaimana sama Simbah?” tanya Rasti.“Ya, masih belum mau bertanya kalau ketemu. Mereka itu ada di RT sebelah. Masih satu dusun. Tapi ya, tetap angkuh. Wong Simbah ini tidak pantas untuk jadi besan. Mereka masih hidup, orang tua Astuti masih lengkap. Mas-nya Astuti, pak dhe kamu, jadi kepala KUA. Adiknya ada dua, yang satu polisi, dan yang satu perempuan jadi bidan.”Rasti paham, bahwa profesi pegawai di desa yang jauh dari kota adalah sebuah hal membanggakan. M
Baca selengkapnya
Bagian 9
Part 77“I-iya,” jawab Rasti terbata.“Aku, aku adalah ibu Astuti,.” Muryani memperkenalkan diri. “Ayo, kita ke rumah,” ajak Muryani.Rasti bergeming. Merasakan keanehan dari cara neneknya mengajaknya. Tidak seperti orang yang baru saja bertemu. Penyambutan yang jauh berbeda dari saat ia bertemu Watri. “Ke rumah siapa?’ tanya Rasti kaku.“Ke rumah ibumu,” jawab Muryani sambil mengusap sudut mata yang basah.“Rumah ibuku ada di Jogja,” jawab Rasti.Muryani celingukan. Bingung hendak berkata apa. “Ke rumah eyang kamu,” jawabnya kaku pula.“Eyang siapa? Aku belum mengenal siapapun di sini,” jawab Rasti jujur.“Ini ibu dari ibumu, Nduk,” jelas Watri. Padahal Muryani sudah memperkenalkan diri sebelumnya.“Ayo, kemasi barang-barang kamu. Kita pindah ke rumah eyang. Rumah ibumu masa kecil dulu. Eyang Kakung sudah menunggu di rumah.” Sebuah ajakan yang kurang sopan dilontarkan Muryani.Watri yang merasa tidak sepadan dengan Muryani, memilih diam. Merasa tidak sepadan jika ikut dalam perbincan
Baca selengkapnya
Bagian 10
“Alhamdulillah iya, Eyang. Bapak memberiku banyak kasih sayang dan nasehat untuk selalu menghargai orang lain, bagaimanapun keadaannya. Termasuk juga, harta yang banyak. Bapak meninggalkan harta yang sangat banyak untukku. Asal Eyang tahu, ibu berlimpah harta hidup bersama bapak. Bapak memiliki showroom mobil yang besar di sana.”Muryani membelalak tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh sang cucu.“Menjadi kaya tidak harus orang yang berpendidikan tinggi, Eyang,” imbuh Rasti.“Ya sudah, kamu memang mirip dengan bapak kamu. Kalau kamu tidak mau, tidak usah ceramah banyak hal.” Usai berkata demikian, Muryani bangkit dan meninggalkan rumah Watri.***“Kami pulang ya, Mbah? Kapan waktu, kami ke sini lagi,” ucap Rasti saat bersiap untuk masuk mobil. Huda sudah datang sejak semalam untuk menjemput mereka.Watri mengusap mata yang basah. Berat rasanya melepas kepergian cucunya. “Jangan lupa pulang ya, Rasti. Ini rumah kamu,” jawab Watri terbata.“Pasti, Mbah ….”Mereka berpelukan seb
Baca selengkapnya
Bagian 11
Part 78“Mama kenapa Tante Firna seperti itu” tanya Raline ketakutan.“Iya, biarkan saja. Kalian kalau ada yang menggedor pintu keras, jangan pernah membukanya, ya?” pesan Rasti.Nadine dan Raline mengangguk paham.Firna akhirnya pulang dengan tangan kosong. Langkahnya terseok karena menahan lapar.“Aku tidak akan sekolah lagi hari ini, Bunda?” tanya Yasmin saat ibunya pulang dengan wajah murung.“Sayang, tahun ajaran baru ternyata belum dimulai. Ini anak-anak lain baru selesai tes. Kita nunggu beberapa hari lagi, ya?” jawab Firna lembut.“Bunda janji, ya?” ucap Yasmin.Firna mengangguk lemah.‘Aku harus mencari pekerjaan apapun agar anakku bisa sekolah,’ tekadnya dalam hati.Rasti yang takut dengan perilaku Firna, datang menemui Aris. Berkonsultasi dengan lelaki yang sudah dianggapnya sebagai pengganti ayahnya itu.“Jika dia melakukan hal yang anarkis, kamu langsung telpon ya? Untuk menghadapi Firna, sepertinya tidak perlu penjaga rumah. Karena dia hanya seorang wanita lemah. Dia jug
Baca selengkapnya
Bagian 12
Rasti memandang Hanung dengan perasaan kasihan. Ia tidak menyangka, lelaki yang terkenal berani jika di ruang sidang itu, nyatanya memendam sebuah penderitaan yang dalam.“Semoga bapak dan Alea kuat.” Rasti memberikan support.“Terima kasih,” jawab Hanung sambil tersenyum.“Saya pamit, Pak,”“Hati-hati,”“Tante ….” Alea memanggil saat Rasti hendak mengambil tas yang ada di sofa.“Ya, Sayang?”“Besok ke sini lagi temani aku, ya?” pinta Alea memelas.Rasti mengangguk lalu berkata, “iya, sayang. Sekarang, Tante harus pulang menjemput anak-anak Tante.”Semenjak hari itu, setiap hari, Rasti selalu menyempatkan diri datang ke rumah sakit. Liburan anak-anaknya telah tiba, tapi rumah sakit melarang untuk anak-anak masuk. Jadi, rasti memilih menitipkan mereka di rumah Sumarti. Ia sudah memberikan pengertian pada Nadine dan raline bahwa anak temannya harus menunggu ibunya yang sakit parah seorang diri. Nadine dan raline memahami hal itu, meski mereka agak kehilangan waktu b=ibunya selama hari l
Baca selengkapnya
Bagian 13
Part 79Alea masih menangis di samping pusara sang ibunda. Hanung pun demikian. Namun, lelaki itu terlihat lebih tegar dari sang anak. Rasti yang memilih tidak pulang usai pemakaman, berdiri dengan didampingi Nadine dan Raline. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan Alea dan ayahnya diberikan ketegaran dan kekuatan.“Pak Hanung, Alea, saya pamit, ya?” ucap Rasti. Ia masih menggunakan bahasa formal jika berbicara dengan lelaki yang berprofesi sebagai pengacara itu.“Tante, jangan pulang. Tante ikut aku ke rumah dulu,” cegah Alea dengan terbata karena menangis.Rasti memandang Nadine dan Raline secara bergantian. Meminta peryimbangan dari kedua anaknya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah dua pasang mata yang balas menatap. “Baiklah,” ujar Rasti memutuskan.“Mbak Rasti naik mobilku saja.” Hanung memberikan tawaran.“Tapi saya bawa sopir, Pak,’ jawab Rasti.“Suruh pulang saja sopirnya. Nanti pulangnya biar diantar sama sopir saya,”Rasti mengangguk pasrah. Karena niatnya memang ingi
Baca selengkapnya
Bagian 14
Nadine dan Raline sedari datang hanya bergandengan tangan. Mereka bingung hendak bermain apa. Karena Alea sesekali masih merengek, menangis dalam pelukan Rasti. Bahkan saat di kamarnya pun, ia masih berbaring dengan memeluk Rasti.“Mama, jenuh, lapar,” celetuk Raline saat Hanung masuk ke kamar.“Oh, lapar, ya? Sebentar, mau makan apa? Biar Om bilang sama bibik suruh masakin,” jawab Hanung yang mendengar.“Aku mau ayam goreng saja,”“Nadine mau apa?” Hanung melihat putri sulung Rasti.“Sama kayak Raline saja,” jawab Nadine.“Baiklah,” ujar Hanung singkat lalu pergi.Usai makan di ruang makan, Nadine dan Raline kembali dilanda bingung. Tidak ada yang menyapa mereka, meski beberapa orang berlalu lalang. Tidak ada tempat untuk bermain. Sementara ingin mengajak pulang Rasti, tubuh ibunya serasa disandera oleh Alea.“Kak, apa Kak Alea akan minta mama kita?” tanya Raline pada sang kakak dengan berbisik. Mereka berdua masih duduk di meja makan.“Setelah ini, kita larang mama datang kesini,” j
Baca selengkapnya
Bagian 15
“Maaf mengganggu waktu Mbak Rasti,” kata Hanung.“Jadi Pak Hanung yang menungguku?”“Iya. Soalnya Mbak Rasti tidak mau mengangkat telepon kami.”Dengan setengah memaksa, Hanung mengajak Rasti minum kopi bersama di sebuah café mewah yang ada di dekat butik. Di sanalah Hanung bercerita banyak tentang Alea yang selama ini tidak mau sekolah dan sulit makan. “Ia sempat masuk rumah sakit,” ucapnya.“Maaf, Pak, saya tidak tahu. Dan maaf saya tidak mengangkat telepon Anda,” ucap Rasti sambil menunduk.“Kenapa? Apa boleh tahu alasannya?”Rasti diam sejenak, menatap Hanung lalu berujar, “anak-anak saya meminta saya untuk tidak datang ke sana. Mohon maklum dan mohon maaf sebelumnya, Pak, sebenarnya mereka merasa kehilangan kasih sayang dari saya sejak saya sering ke rumah sakit. Dan saat melihat Alea manja terhadap saya, mereka mengatakan tidak suka. Saya mengatakan ini agar Anda tidak merasa jika saya menghindar. Anak-anak saya adalah segalanya bagi saya, Pak.”Hanung mengangguk paham atas keju
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
19
DMCA.com Protection Status