All Chapters of Jerat Casanova Insaf: Chapter 71 - Chapter 80
118 Chapters
71. Saya Serius
"Mbak," panggil Bayu. Lelaki yang baru beranjak dewasa itu menemukan Sakti dan Gendis di sudut koridor rumah sakit. "Bayu." "Mbak dicari bapak," ujar Bayu. "Bapak sudah bangun?" "Sudah. Kata bapak, bapak mau ngomong sama Mbak," ujar Bayu melirik Sakti. "Kalo gitu aku masuk dulu, ya," ujar Gendis melepaskan genggaman tangan Sakti dan melangkah cepat. "Bapak," panggil Gendis yang tiba di ambang pintu. Hendro tersenyum ringkih, wajahnya masih nampak lemah. Tubuhnya belum sepenuhnya normal, tapi sebisa mungkin dia tidak ingin membuat Gendis terlalu khawatir. "Kamu jadi nggak kerja," lirih Hendro. "Enggak apa-apa, Gendis sudah izin. Bapak gimana? udah enakan?" "Masih nyeri sedikit," kata Hendro pelan. "Bapak jadi nggak enak, Nak Arya juga jadi libur kerja." Hendro tersenyum pada Arya yang berdiri di ujung tempat tidur. "Bapak nggak usah terlalu banyak berpikir," ujar Arya. Hendro mengangguk, lalu matanya mencari-cari sesuatu. "Bapak cari siapa?" tanya Gendis. "Nak Sakti pula
Read more
72. Rencana
Wati sudah menunggu di meja makan malam itu. Setengah jam yang lalu Sakti dan Gendis baru saja tiba dari rumah sakit bergantian gan Arya. Arya menepati janjinya untuk menjaga Pak Hendro bersama Bayu. "Dis, ajak Nak Sakti makan dulu," panggil Wati. "Iya, Bu. Sebentar." Gendis muncul dari dalam kamar membawakan beberapa baju dan handuk untuk Sakti yang masih di dalam kamar mandi. "Dia mandi atau berendam sih?" tanya Wati. "Berendam kayaknya, Bu." Gendis tertawa, sudah lebih dari 15 menit Sakti berada di dalam kamar mandi rumah Gendis yang berada di ruang belakang. Jarak kamar mandi dengan rumah itu terpisah sekitar 10 meter lebih. Kamar mandi yang terbagi menjadi dua itu jelas membuat Sakti bingung saat pertama kali melihatnya. "Kenapa kamar mandi nya ada dua? Sebelahan lagi," tanya Sakti bingung. "Yang ini untuk mandi, yang sebelah situ buat buang air besar," jelas Gendis. "Ribet bener tukangnya kasih pembatas ya," kekeh Sakti. "Berisik buruan mandi, biar gantian," ujar Gendis
Read more
73. Sapi dan Kambing
"Gimana, Man? Beres?" tanya Sakti pada Norman asistennya. "Mereka sudah ok, Pak. Projek ini akan kita mulai minggu depan. Tapi itu artinya staf kita akan memantau di sini selama seminggu ke depan," jawab Norman di seberang sana. "Bagus, kamu urus saja semua keperluannya. Saya kembali ke Jogja kemungkinan lusa, nanti kita sama-sama bertemu lagi dengan mereka. Saya urus dulu masalah pribadi saya dulu di sini." "Baik, Pak." Sakti mengakhiri sambungan telepon itu. Ini adalah hari kedua Sakti berada di Gunung Kidul. Hendro sudah mulai terlihat membaik, hasil pemeriksaan pagi tadi, dokter mengatakan jika tidak ada lagi yang serius lusa Hendro bisa pulang ke rumah. "Sibuk, ya? Harusnya kamu bertemu klien, malahan ikut-ikutan tinggal di sini." Gendis sudah berdiri di belakang tubuh Sakti. "Udah beres kok, kan ada Norman. Urusan perusahaan kalo sudah dia yang handle aku udah tenang, anak itu cepat belajar," ujar Sakti. "Bapak sudah makan?" "Baru selesai, lagi ngobrol sama ibu dan Mas Ar
Read more
74. Gagal Lagi
Hendro terkejut ketika melihat poto yang diperlihatkan oleh Gendis malam itu. Kandang ternaknya sudah terisi kembali, Sakti juga membayar orang untuk menjaga dan merawat hewan-hewan itu. "Ya ampun, Bapak terimakasih sekali, Nak Sakti," ujar Hendro. "Sudah kewajiban saya, Pak. Jadi sekarang Bapak nggak usah mikir apa-apa lagi. Keluar dari rumah sakit Bapak sudah bisa beraktivitas kembali, tapi ... dokter tadi bilang Bapak belum boleh mencari rumput di ladang untuk makan sapi dan kambing." "Lalu gimana hewan-hewan itu makan kalo Bapak nggak nyari rumput," ujar Hendro. "Sudah ada yang mengerjakan, Pak. Bapak hanya memantau saja, nggak usah susah-susah lagi," kata Gendis tersenyum lalu merangkul Wati yang berdiri di sebelahnya. "Aduh, Bapak udah nggak bisa ngomong apa-apa lagi ini, Bu. Anakmu ini memang selalu penuh kejutan." Mata Hendro berkaca-kaca. "Makasih, Nak Sakti," ucapnya lagi. "Sama-sama, Pak. Selagi masih di sini, rencana saya besok akan kembali ke Jogja. Gendis juga kemba
Read more
75. Tunggu Aku Di Jakartamu
"Pagi," sapa Gendis pada beberapa teman satu ruangannya. "Pagi, Dis." Bowo berjalann di belakang Gendis. "Eh, Pak Bowo. Maaf," ucap Gendis sambil tersenyum. "Diantar siapa, Dis?" tanya lelaki itu. 'Oh itu—" "Bapak kamu gimana? Sudah baikan?" tanya Bowo lagi. "Sudah, Pak. Sudah sehat." Gendis menarik kursi kerjanya. "Ok, selamat bekerja, semua." Bowo memasuki ruangannya. Gendis menggulir layar gawainya, ada beberapa pesan masuk diantaranya Arya dan Sakti. Pesan dari Arya menanyakan apakah Gendis sudah sampai dan mulai bekerja. Sedangkan pesan masuk dari Sakti, Sakti meminta Gendis untuk menemuinya di kamar hotel saat jam makan siang. "Dasar." Gendis menarik sudut bibirnya, dia membalas pesan itu pada Sakti. Saat jam makan siang, Gendis melintas melewati ruangan Ami. Gendis hanya melihat sekilas ke dalam ruangan gadis itu. Tatapan mereka beradu, Gendis mencoba melemparkan senyum pada Ami. Bukan membalas senyum Gendis, gadis itu memalingkan wajahnya ke tempat lain. Gendis hanya
Read more
76. Peluang Itu Masih Ada
Matahari pagi bersinar cerah, halaman kecil itu terlihat begitu indah dengan hamparan rumput hijau dan tanaman yang menghiasi. Siraman pagi itu belum juga kering ketika langkah kaki wanita itu memasuki pekarangan rumah. "Pagi." Sapaan Ami membuat Arya menoleh. "Hei, pagi," jawab Arya. Matanya mengedar ke belakang. "Sama siapa?" tanya Arya. "Sendirian. Ini, aku bawain sarapan buat kamu." Ami memberikan bingkisan berwarna putih itu pada Arya. "Motornya masih mogok?" "Oh, nggak. Sudah di servis kemarin di bengkel, sempat mogok saat Gendis pake. Tapi ini udah oke kok." Arya membersihkan tangannya lalu mengambil bingkisan yang Ami berikan. "Kamu repot-repot, masuk yuk." Untuk seorang laki-laki yang tinggal sendiri dan tanpa ada orang lain yang membantu membersihkan rumahnya, rumah ini selalu saja rapi dan bersih. "Sarapan bareng, Mi," seru Arya dari ruang makan. Ami melangkah mendekati Arya yang sedang membuka bungkus lontong sayur itu. "Satu buat kamu, satu buat aku. Kamu mau kopi
Read more
77. Kangen Kamu
"Ma," panggil Sakti. Pelan dia membuka pintu kamar Hanna, wanita yang melahirkannya itu terbaring di tempat tidur dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya. "Ma," ucap Sakti lagi, namun Hanna masih belum menjawab. "Mama sakit sudah dua hari ini." Suara Tari membuat Sakti menoleh. Gadis itu membawakan bubur dan juga teh hangat untuk Hanna. Belakangan ini, Tari memutuskan untuk memanggil Hanna dengan sebutan mama dan bukan ibu lagi. "Sakit apa?" Sakti duduk di sisi tempat tidur. "Mama bilang nggak enak badan. Ma ... bangun yuk, makan dulu." "Papa?" tanya Sakti pada Tari. "Papa seminggu terakhir sibuk mengurus pembatalan penanaman modal di perusahaan— siapa Mas, itu yang kemarin mau di jodohkan sama Mas Sakti." "Oh, ya sudah nanti kita ngobrol lagi. Ma, bangun dulu." Sakti menggerakkan lengan Hanna dan berhasil membuat wanita paruh baya itu membuka matanya. "Kamu udah pulang," lirih Hanna. "Kapan? gimana Jogja?" Hanna pelan menggerakkan tubuhnya, menyandarkan punggungnya di sand
Read more
78. Bala Bantuan
Jakarta dengan kemacetannya pagi itu, membawa Sakti mengarahkan laju mobilnya menuju kantor pusat milik Satyo Anggara. Pembicaraannya dengan Hanna kemarin membuatnya berpikir siapa lagi yang akan berpihak pada Satyo kalau bukan dia. Hanya untuk kepentingan perusahaan, ini juga demi Hanna. Beberapa pasang mata memandangnya dengan tatapan intimidasi, sebagian lagi seperti merasa lega akan kehadiran Sakti. Setidaknya Sakti hadir untuk membantu Satyo dalam melawan Billy yang mengajukan gugatan pencemaran nama baik dan penipuan. "Pagi, Pa." Sakti memasuki ruangan itu. Satyo mengangkat wajahnya, ada semburat senyum menghiasi wajahnya pagi itu. Satyo yakin jika Sakti cepat atau lambat akan menemuinya. "Kapan pulang?" tanya Satyo. "Kemarin lusa," jawab Sakti lalu melangkah dan menempati sofa ruangan itu. "Mama nggak cerita?" "Papa pulang mama kamu sudah tidur, tadi pagi-pagi sekali Papa juga sudah berangkat," ujar Satyo beranjak dari tempat duduknya menghampiri Sakti. "Kemarin mama ceri
Read more
79. Pukulan Telak Untuk Lawan
Sakti memasuki ruang sidang, sidang itu sudah berjalan setengah jam yang lalu. Dia sedikit telat karena menyelesaikan meeting terlebih dahulu dan tidak bisa dia tinggal. Mendengarkan jaksa penuntut dan para pengacara yang saling adu debat sebenarnya sedikit membuat Sakti pusing. Apalagi Billy yang mengiba menuntut haknya karena sudah merasa di rugikan. Di pojok ruangan, mata Sakti bersitatap dengan wanita yang beberapa waktu lalu memintanya untuk menikahi dengan alasan agar perusahaan mereka semakin berkembang pesat. Maya terduduk diam di sana, dia langsung menunduk saat sadar matanya bersitatap dengan Sakti. Seorang anak perempuan yang menginginkan segala sesuatu yang terbaik bagi keluarganya hingga tanpa sadar melakukan dan mendukung cara yang salah. "Berdasarkan bukti yang kami punya, jelas di sini klien kami tidak dapat mengabulkan permintaan dari saudara penuntut. Bukti tanda tangan serta perjanjian pun belum menorehkan tanda tangan pemegang saham terbesar yaitu istri dari kli
Read more
80. Pelampiasan Rindu
"Sebentar," ujar Gendis menyahuti ketukan pintu kamar kost-nya. "Siapa, sih?" Waktu menunjukkan jam sembilan malam saat itu, siapa tamu yang datang malam-malam begini. Gendis membuka pintu perlahan. "Hai," sapa lelaki tersenyum, dia masih mengenakan pakaian kantor siang tadi. "Sakti? Astaga ... kok nggak bilang kalo mau ke Jogja," ujar Gendis kegirangan. "Surprise," ucapnya. "Sengaja nggak kasih tau kamu, tadi dari sidang kasus papa aku langsung ke bandara. Aku nggak di suruh masuk?" Sakti memasang wajah memelas. "Sudah jam sembilan, enggak enak sama yang lain," ujar Gendis. "Tapi yang lain enak-enak aja sama kamu," kekeh Sakti sambil melirik sepasang kekasih yang baru saja memasuki gerbang kost Gendis. "Sebentar tapi," ujar Gendis. "Hhmm ...." Sakti memasuki kamar yang ukurannya hanya setengah dari kamarnya itu,. "Aku buatin kamu kopi, mau?" tanya Gendis. "Enggak usah. Sini ... pacarnya dateng bukannya di manja," goda Sakti. "Gimana sidangnya?" tanya Gendis, duduk di sisi
Read more
PREV
1
...
678910
...
12
DMCA.com Protection Status