All Chapters of Istri Nakal Mas Petani: Chapter 51 - Chapter 60
281 Chapters
51. Masih Ingat?
Wira cepat-cepat menangkap tangan Sully yang berusaha mendahuluinya. “Jangan marah. Nanti dilihatin orang,” kata Wira pelan.Sully menghentikan langkah dan melihat tangan Wira di pergelangan tangannya. “Ya, Mas gitu … Jangan pegang-pegang,” kata Sully, menyentak tangan agar Wira melepaskan. Karena tangan Wira bertahan di pergelangan tangannya, Sully melanjutkan langkah.“Iya…iya. Saya panggil Sulis aja,” kata Wira.Sully kembali menoleh Wira dengan sorot mata tajam menusuk.“Mas panggil Sulis aja,” koreksi Wira.Sully kembali melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Ternyata Saptono sudah berada di motornya dengan Hendro di boncengan.“Mmmm … diajak ngomong sama Fariz sebentar aja langsung dipegangi enggak dikasih lepas.” Saptono terkekeh-kekeh memandang Wira yang baru tiba dengan wajah kaku dengan tangan masih menggandeng Sully.“Besok jam sebelas malam aku ke rumahmu,” kata Wira pada Saptono. Mengalihkan fokus Saptono dari genggaman tangannya pada Sully.Saptono memanggil Wira mende
Read more
52. Dalam Lilitan Handuk
Kecuali hal yang sedang dilakukan Sully padanya saat itu. Wira tak pernah merasa wanita itu merepotkannya. Semua pekerjaan fisik dan kerepotan-kerepotan yang dibutuhkan kaum perempuan, sudah biasa ia lalukan untuk ibunya. Terlebih ketika ibunya jatuh sakit. Ia meluangkan waktu tiga bulan lebih mengurus wanita yang melahirkannya itu sampai mengembuskan napas terakhir dalam pelukannya.Kerepotannya pada Sully cuma satu. Ia terganggu kalau wanita itu mulai menempelinya. Tapi itu bukan jenis terganggu sampai ia membenci Sully. Ia hanya tersiksa. Ia juga laki-laki normal yang bisa khilaf.Wira membelokkan sepeda motor ke bagian depan desa. Mulai meninggalkan jalan yang kanan-kirinya berupa kebun dan mulai memasuki pemukiman yang jarak antar satu rumah dan yang lainnya cukup dekat.“Ini bangunan apa, Mas?” tanya Sully dari boncengan. “Ini Balai Desa Girilayang. Biasa warga desa kumpul-kumpul buat acara, atau pemuda-pemudi buat pertunjukan, rapat atau kegiatan sejenis, tempatnya di sini.” W
Read more
53. Jangan Tidur Nyenyak
“Jangan buka baju di sini. Nanti ke kamar mandi bagaimana? Mau pakai handuk aja? Ada Bapak di belakang,” kata Wira. Masih berdiri dengan selembar handuk melilit di tubuhnya. Tangannya meraba-raba rak lemari mencari kaus yang akan ia kenakan lebih dulu.“Ya, kan, enggak mungkin aku telanjang ke kamar mandi. Ada-ada aja,” kata Sully santai. “Aku mau pakai baju tidur yang dikasih Mbak Ajeng. Melepas jeans ketat begini di kamar mandi repot,” jelas Sully, berjalan menuju bagian samping lemari di mana kopernya berada. “Tadi ngomong soal celana pendek Mas. Jeans kamu itu juga terlalu ketat. Bajunya juga enggak mesti diikat gitu. Pria yang lihat pasti mau ngomong iseng.” Wira menepikan tubuhnya saat Sully melintas. Sully tiba-tiba berbalik menatap Wira. Pria itu tersentak dan seketika terdiam. “Cuma karena omongan pria? Bukan karena cemburu?” tanya Sully, menatap lekat mata Wira.“Cemburu?” Wira balik bertanya. “Cuma enggak mau kamu diisengin orang.” “Oh, karena itu. Ya udah, minggir.” Sul
Read more
54. Tangisan Sully
Tak sampai lima menit, Wira kembali ke kamar dengan sebuah lampu teplok mini yang sudah dinyalakan. “Diletak di sini aja, ya.” Wira meletakkan lampu teplok di atas meja kecil yang bersebelahan dengan kaca tinggi. Tak jauh dari kaki ranjang Sully. “Makasih,” kata Sully. Posisinya belum berubah. Masih berbaring miring menghadap pada posisi Wira. Wira duduk sebentar melihat ponselnya. Sedikit kikuk karena lampu yang terang benderang berubah ke pendar kuning redup, Wira berdeham pelan sambil menepuk bantalnya. Sully mulai tak sabar melihat Wira. Ia memahami kenapa pria itu melambat-lambatkan gerakannya. Saat membangunkan pria itu tadi pun, sebenarnya ia bukan benar-benar merasa pengap dengan kain sarung menutup wajah. Ia memang hanya ingin mengganggu Wira karena memang tak enak terbengong sendirian. Tak ada Oky yang bisa ia bangunkan dan biasa meladeni kerewelannya. “Lis …,” panggil Wira saat membaringkan tubuhnya menghadap Sully. Posisi mereka sekarang sama. Saling berhadapan, namun
Read more
55. Harus Tahu Diri
Sebelum kepergian Oky, Sully terbangun karena getar ponsel. Oky mengatakan telah menunggunya di teras. Sebelum keluar kamar ia mengecek pesan dan ternyata sudah ada dua pesan Oky yang belum dibacanya. ‘Lis, udah bangun? Setengah jam lagi aku berangkat.’ ‘Lis, sepuluh menit lagi aku berangkat. Kamu enggak mau titip pesan apa-apa buat ibumu?’ Sully melompat dari ranjang dan menoleh ke sebelahnya. Bagian ranjang yang ditiduri pria itu sudah rapi. Walau langit pagi masih gelap, memang tak mungkin Wira belum bangun, pikirnya. Sambil menggulung dan menjepit rambutnya, Sully menyeret langkah ke teras. “Jadi berangkat juga,” ucap Sully saat melihat Oky berdiri dengan pakaian rapi dan tas pakaian di kakinya. “Mata kamu bengkak. Nangis? Berantem sama Rino atau Mas itu?” Oky melihat Wira masuk ke kamar dengan rambut basah. “Kamu enggak abis diapa-apain sama Mas itu, kan?” “Ck, jangan ngaco. Ini masih pagi,” kesal Sully. “Abisnya mata kamu bengkak, Mas Wira keramas.” Oky tertawa kecil, men
Read more
56. Uring-uringan
Sejenak Wira berdiri mematung di depan pintu belakang. Memandang Sully yang berjalan lurus ke depan dan berbelok ke kamar dan langsung keluar dengan handuk di tangannya. Sully hanya melewatinya begitu saja. Wira lalu berjongkok memperbaiki kayu bakar di tungku. “Sulis mana? Sudah pergi?” Pak Gagah tiba kembali di halaman belakang. “Bapak dari mana?” tanya Wira. “Nganter radio tape buat diperbaiki.” “Bapak minta Sulis masak pakai tungku?” tanya Wira. “Iya, kenapa? Bapak ajarin dia manut, kok. Sekarang Sulis-nya mana?” “Aku suruh mandi. Sudah mau siang. Sulis enggak ada ngomong apa-apa?” tanya Wira. Rasanya memang tak mungkin ia mengatakan kalau Sully baru menangis hanya perihal tungku. “Enggak ada ngomong apa-apa. Bapak malah heran. Dari pagi beresin rumah, cuci piring enggak ada ngomong. Bapak ajarin masak pakai kayu, biar enggak ngelamun aja. Memangnya dia kenapa? Berantem sama kamu?” “Enggak berantem …,” jawab Wira. Pikirannya mengingat Sully yang menangis usai bicara dengann
Read more
57. Jangan Mandiri
“Maaf aku pulang terlambat, Mas. Tadi abis nonton sepak bola motornya Pretty enggak mau nyala. Itu sekarang didorong pakai motor lain,” jelas Sully, berdiri menatap jalanan yang masih kosong. Sosok Pretty belum terlihat. Ia mencoba mengalihkan tatapan Wira dari pria yang baru saja mengantarkannya pulang. Nyatanya Wira tidak ikut menantikan Pretty sama sekali. “Iya, Mas. Tadi motornya Pretty mogok. Sudah setengah jam dicoba enggak bisa juga. Akhirnya didorong aja.” Pria itu mengangguk pada Wira. “Terima kasih sudah antar istri saya,” ucap Wira pada pria itu. Jelas ia mengenali siapa yang mengantar Sully. Penduduk desa itu tak banyak. Yang punya motor bagus pun bisa dihitung. Yang mengantar Sully adalah Fandi. Adik kandung Fariz. Keduanya ganteng membumi dengan perbedaan status lajang dan duda. Fariz dan Fandi juga anak tengkulak tenar. Ditambah paman mereka, Pak Effendi, yang merupakan tengkulak paling kaya dan nomor satu di Desa Girilayang, membuat kedua kakak beradik itu tenar.
Read more
58. Menyesap Rasa
Sepanjang malam itu, mereka berdua lebih banyak diam. Makan malam tanpa obrolan apa pun selain Pak Gagah yang berkali-kali memuji inisiatif Sully mengumpulkan lagu-lagu nostalgia untuknya. Sebagai ucapan terima kasih Pak Gagah memberi imbalan yang membuat Sully bergetar. “Besok Bapak ajari cara penanaman kacang tanah. Bapak punya bibit varietas unggul dan bedengan kosong di dekat kandang kambing. Besok kita coba sama-sama,” janji Pak Gagah. Sully mengangguk di bawah tatapan ragu Wira. Detik itu ia mengerti kalau antara dirinya dan Pak Gagah memiliki pengertian berbeda soal kata ‘imbalan’. Menanam kacang tanah? Sully mengulanginya dalam hati. Apanya yang ditanam? Kacangnya? Batang? Atau menggali tanah kemudian langsung dimasukkan pohonnya? Malam nanti sepertinya ia harus memanfaatkan sinyal tersendat-sendat untuk mencari tahu. Sully tak mau terlihat terlalu bodoh di depan Pak Gagah. Di kamar, Sully menyalakan lampu tidur yang siang tadi dipamerkan Wira padanya. Sudah berapa lama ia
Read more
59. Sebuah Langkah
Ketika ciuman itu terlepas, Wira refleks membasahi bibirnya.Tangannya masih bertumpu di dekat kepala Sully. Netranya belum bosan melahap visual Sully di bawah redup lampu kamar.“Ayo, aku kunci pintunya sekarang. Nanti Mas ditungguin,” kata Sully, menggeser tubuhnya dan perlahan bangkit. Wira memegangi lengannya sampai ia benar-benar duduk. Pria itu ikut beringsut perlahan.Apa perlu ia mengatakan kalau ada seorang lagi yang akan menemani Saptono di Paguyuban? Kenapa Sully tidak memintanya untuk tetap tinggal? Wira masih memegang lengan wanita itu. Ia belum bangkit dari tepi ranjang. Sully menekuk kaki dan menutup betisnya dengan daster. Apa Sully tidak sadar kalau ia tadi sempat mengusap paha wanita itu. Cepat-cepat Wira berdiri dari tepi ranjang. Bertahan sebentar lagi di kamar itu pasti bisa membuatnya gila. Ia perlu keluar untuk menghirup udara segar.“Kalau mau tidur, tidur aja. Jangan ditunggu. Mungkin bisa lama,” pesan Wira.Sully mengangguk saja sambil mendahului Wira keluar
Read more
60. Suka Tapi Benci
Kalau bukan karena suara entah apa yang seakan mengitari jendela dan berada di atap kamar itu, Sully mungkin bisa menunggui Wira sepanjang malam menuju pagi. Sully memang penakut. Walau belum pernah bertemu dengan hal-hal ganjil sepanjang hidupnya, ia konsisten menjadi sosok penakut. Jadi, usai Wira pergi dan mendengar suara aneh, Sully membenamkan dirinya di balik selimut. Sampai dengan ponselnya menggelepar di meja dengan bunyi berisik alarm pagi, Sully melihat posisi bantal dan guling Wira masih rapi. Matanya masih mengantuk, tapi bagaimana pun ia harus bangun mengerjakan hal yang sekarang sudah ia masukkan ke dalam daftar kewajiban. Mi instan yang didapat Sully dari lemari dapur ternyata berhasil memukau Pak Gagah pagi itu. Pak Gagah manggut-manggut sepanjang menyendok mi dari mangkuk. “ Enak, Lis,” kata Pak Gagah. Sully sumringah. Setelah mengiris cabai, bawang dan tomat ceri yang diambilnya dari keranjang, akhirnya ia menemukan menu anti gagal yang layak dimakan. “Bagus sudah
Read more
PREV
1
...
45678
...
29
DMCA.com Protection Status