“Maaf aku pulang terlambat, Mas. Tadi abis nonton sepak bola motornya Pretty enggak mau nyala. Itu sekarang didorong pakai motor lain,” jelas Sully, berdiri menatap jalanan yang masih kosong. Sosok Pretty belum terlihat. Ia mencoba mengalihkan tatapan Wira dari pria yang baru saja mengantarkannya pulang. Nyatanya Wira tidak ikut menantikan Pretty sama sekali. “Iya, Mas. Tadi motornya Pretty mogok. Sudah setengah jam dicoba enggak bisa juga. Akhirnya didorong aja.” Pria itu mengangguk pada Wira. “Terima kasih sudah antar istri saya,” ucap Wira pada pria itu. Jelas ia mengenali siapa yang mengantar Sully. Penduduk desa itu tak banyak. Yang punya motor bagus pun bisa dihitung. Yang mengantar Sully adalah Fandi. Adik kandung Fariz. Keduanya ganteng membumi dengan perbedaan status lajang dan duda. Fariz dan Fandi juga anak tengkulak tenar. Ditambah paman mereka, Pak Effendi, yang merupakan tengkulak paling kaya dan nomor satu di Desa Girilayang, membuat kedua kakak beradik itu tenar.
Sepanjang malam itu, mereka berdua lebih banyak diam. Makan malam tanpa obrolan apa pun selain Pak Gagah yang berkali-kali memuji inisiatif Sully mengumpulkan lagu-lagu nostalgia untuknya. Sebagai ucapan terima kasih Pak Gagah memberi imbalan yang membuat Sully bergetar. “Besok Bapak ajari cara penanaman kacang tanah. Bapak punya bibit varietas unggul dan bedengan kosong di dekat kandang kambing. Besok kita coba sama-sama,” janji Pak Gagah. Sully mengangguk di bawah tatapan ragu Wira. Detik itu ia mengerti kalau antara dirinya dan Pak Gagah memiliki pengertian berbeda soal kata ‘imbalan’. Menanam kacang tanah? Sully mengulanginya dalam hati. Apanya yang ditanam? Kacangnya? Batang? Atau menggali tanah kemudian langsung dimasukkan pohonnya? Malam nanti sepertinya ia harus memanfaatkan sinyal tersendat-sendat untuk mencari tahu. Sully tak mau terlihat terlalu bodoh di depan Pak Gagah. Di kamar, Sully menyalakan lampu tidur yang siang tadi dipamerkan Wira padanya. Sudah berapa lama ia
Ketika ciuman itu terlepas, Wira refleks membasahi bibirnya.Tangannya masih bertumpu di dekat kepala Sully. Netranya belum bosan melahap visual Sully di bawah redup lampu kamar.“Ayo, aku kunci pintunya sekarang. Nanti Mas ditungguin,” kata Sully, menggeser tubuhnya dan perlahan bangkit. Wira memegangi lengannya sampai ia benar-benar duduk. Pria itu ikut beringsut perlahan.Apa perlu ia mengatakan kalau ada seorang lagi yang akan menemani Saptono di Paguyuban? Kenapa Sully tidak memintanya untuk tetap tinggal? Wira masih memegang lengan wanita itu. Ia belum bangkit dari tepi ranjang. Sully menekuk kaki dan menutup betisnya dengan daster. Apa Sully tidak sadar kalau ia tadi sempat mengusap paha wanita itu. Cepat-cepat Wira berdiri dari tepi ranjang. Bertahan sebentar lagi di kamar itu pasti bisa membuatnya gila. Ia perlu keluar untuk menghirup udara segar.“Kalau mau tidur, tidur aja. Jangan ditunggu. Mungkin bisa lama,” pesan Wira.Sully mengangguk saja sambil mendahului Wira keluar
Kalau bukan karena suara entah apa yang seakan mengitari jendela dan berada di atap kamar itu, Sully mungkin bisa menunggui Wira sepanjang malam menuju pagi. Sully memang penakut. Walau belum pernah bertemu dengan hal-hal ganjil sepanjang hidupnya, ia konsisten menjadi sosok penakut. Jadi, usai Wira pergi dan mendengar suara aneh, Sully membenamkan dirinya di balik selimut. Sampai dengan ponselnya menggelepar di meja dengan bunyi berisik alarm pagi, Sully melihat posisi bantal dan guling Wira masih rapi. Matanya masih mengantuk, tapi bagaimana pun ia harus bangun mengerjakan hal yang sekarang sudah ia masukkan ke dalam daftar kewajiban. Mi instan yang didapat Sully dari lemari dapur ternyata berhasil memukau Pak Gagah pagi itu. Pak Gagah manggut-manggut sepanjang menyendok mi dari mangkuk. “ Enak, Lis,” kata Pak Gagah. Sully sumringah. Setelah mengiris cabai, bawang dan tomat ceri yang diambilnya dari keranjang, akhirnya ia menemukan menu anti gagal yang layak dimakan. “Bagus sudah
Wira menatap punggung Sully yang meninggalkannya bersama Pak Gagah. Awalnya ia mengira Sully akan kesal mendengar ucapannya. Nyatanya, wanita itu malah terlihat kecewa. Sesaat yang lalu, ia memang hanya bertujuan pamit ke Riau pada bapaknya. Kebun Ajeng sudah terjerat dengan tengkulak yang paling berkuasa. Untuk itu, ia harus melakukan hal yang lebih besar. Tak mudah menghadapi Pak Effendi tanpa bukti dan modal memadai. Dan membawa Sully tinggal sejenak di rumah perkebunan, kemungkinan akan semakin menyulitkan wanita itu. Itu perjalanan untuk kepentingan pekerjaan. Bukan liburan. Banyak yang harus dikerjakannya, termasuk menemui wanita bernama Ira. “Gus! Kamu dengar Bapak, enggak? Memang enggak mau bawa Sulis? Kamu enggak lihat istrimu kecewa? Kenapa Sulis enggak pernah ngomel ke kamu? Perempuan itu harusnya ngomel. Kalau sudah diam aja, artinya sudah malas ngurus.” Wira menelan ludah dan melihat Sully berbelok ke kanan. Ia lalu kembali menatap Pak Gagah, “Memang enggak bisa dibawa,
Mungkin baru menit kelima Sully memeluknya dan setengah meneriakkan kata ‘Mas’ baru Wira tersadar akan kehadiran wanita itu. Emosinya memang sangat memuncak mendengar perkataan Sutrisno yang mencla-mencle soal maksud kedatangannya ke rumah Pak Effendi. Ditambah lagi perkataan soal ‘ribut di rumahnya’, membuat Wira semakin kesal. Apa Sutrisno juga berpikir bahwa kebun yang diberikan pada Ajeng sejak sebelum kakaknya itu menikah adalah juga kepunyaan dia? Itu sebabnya Sutrisno dengan seenak jidat menggadai kebun itu untuk keperluan yang belum jelas?“Tadi pakai sandal itu?” tanya Wira, menunjuk sepasang sandal plastik berwarna cokelat kepunyaan Pak Gagah.Sully mengangguk pelan. “Cuma ada sandal itu di teras. Kalau aku sempat ambil sandalku, aku bakal sekalian blow rambut dan pakai sunscreen sebelum ke sini,” jelas Sully dari atas boncengan motor.Wira turun untuk mengambil sandal bapaknya dan menyalakan sepeda motor dengan tangan kiri menjepit sandal. Ia berkendara dalam diam. Menunduk
“Udah, lepasin. Jangan pegang-pegang aku,” kata Sully, menarik kakinya dari Wira namun gagal. “Mas tanya….” Ucapan Wira langsung terpotong. “Memangnya aku ada diajak? Memangnya penting ngajak aku? Memangnya aku siapa? Aku cuma numpang makan dan tidur di sini. Malah dikasih uang jajan. Udah dapat semua itu, lalu aku mau apa lagi? Enggak bersyukur banget aku jadi manusia. Luka ini juga enggak usah diobati. Udah enggak sakit. Permisi,” kata Sully, melepaskan tangan Wira dari kakinya dan beringsut. “Jangan emosi gitu.” Wira melihat Sully kembali berbaring dan memunggunginya. “Riau tempat Mas bakal pergi itu sebuah perkebunan kelapa sawit. Mas enggak tinggal di hotel. Tapi di perumahan karyawan—” Sully berbalik dengan sorot tajam memandang Wira. “Kalau enggak salah pertama kali kita ketemu Mas pernah bilang udah resign dari pekerjaan di Riau. Pulang ke sini karena Bapak Mas yang minta. Mas sendiri yang ngomong kita begini, karena Mas enggak mau dijodoh-jodohkan sama Ratna. Jadi, mau nga
Dalam tidurnya Sully mendengar suara Wira memanggil. Ia langsung menjawab. Tak tahu itu mimpi atau bukan. Tadi pria itu membuatnya kesal. Dan ia menyadari kalau belakangan Wira memang sering membuatnya kesal. Entah karena apa saja.“Baju kamu … yang mana yang mau dibawa?”Sully mengerjap. Ternyata itu bukan mimpi. Wira sedang berdiri di depan lemari dengan sebuah koper besar. Kenapa pria itu tiba-tiba menanyakan pakaiannya? Ia mengusap pipi dan merapikan rambut.“Baju yang mana aja? Buat apa?” Sully menatap malas koper kecilnya yang teronggok di sebelah lemari. Bajunya tak banyak. Yang lebih banyak itu peralatan makeupnya.“Besok kita berangkat ke Riau,” kata Wira, menghempaskan dirinya di tepi ranjang seraya membaringkan koper. Lalu mengambil beberapa lembar kemeja dan meletakkannya ke koper. “Ayo, cepat sini. Biar Mas susun,” katanya.“Aku dibawa? Ini pasti karena Bapak, kan? Bukan karena Mas yang mau bawa aku,” kata Sully.“Bukan karena siapa-siapa,” jawab Wira, memutar tubuhnya me