Makan malam kali ini penuh kebisuan. Masing-masing dari kami masih saling diam. Biasanya jika tahu aku sedang marah, bang Haikal pasti menyapa duluan. Entah bertanya apa aku masih marah, atau mungkin meminta maaf dan mengalah.Namun kali ini tampak berbeda. Sedari tadi raut wajahnya terus gelisah. Seperti ingin berbicara, namun urung karena ragu. Membuat perasaanku makin tak menentu dan kembali timbul rasa curiga.Sebentar-sebentar mata itu menatapku, lalu kembali menyendok nasi dari piring ke mulutnya. Hatiku yang masih dilanda rasa amarah berusaha untuk tetap tenang. Semoga saja kali ini tak ada hubungannya dengan Kania."Dwi." Akhirnya terdengar panggilan itu dari mulutnya."Iya?" Aku berusaha menyahut selembut mungkin."Maaf soal tadi siang." Aku tertegun. Rupanya dia kembali mengalah dan merasa bersalah karena telah membuatku menangis."Abang sudah bilang tak bertemu dengannya. Tak apa. Anggap saja aku salah lihat." Aku mencoba untuk tersenyum.Aku ikut mengalah, demi membuatnya
Mata itu kembali menatapku dengan sendu. Kembali menolak seperti waktu itu. Namun hati ini terlanjur sakit dan tak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya."Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Kenapa kau masih membahas soal perceraian. Tak baik sering-sering mengucapkan kata itu, Dwi." Suaranya terdengar lirih."Abang harusnya mengucap syukur. Aku sudah berbaik hati membebaskan Abang. Jangan lagi mempermainkan perasaanku dengan berpura-pura menolaknya." Tangisku tertahan tanpa suara."Pernikahan bukan mainan, Dwi. Jelas-jelas aku sudah bertanya tentang keyakinanmu. Menerima segala kekurangan dan mungkin perasaanku saat itu. Lalu sekarang apa? Kau membuatku terlihat seperti penjahat."Suamiku benar. Sebelum menikah dia telah mengungkapkan semuanya. Tentang perasaannya yang hanya menganggapku sebagai adik. Dia juga terang-terangan mengungkapkan betapa besar rasa cintanya pada Kania. Sangat sulit untuk berpaling dan tak ingin menyakitiku. Memintaku mengurungkan niat dan membatalkan pernikahan
"Abang mau apa lagi?" tanyaku yang masih berdiri di ambang pintu yang setengah terbuka."Pembicaraan kita belum selesai," sahutnya. Masih dengan mode lembut.Aku kembali melangkah menuju tempat tidur, membiarkan pintu itu tetap terbuka. Bang Haikal ikut masuk, lalu berdiri di hadapanku yang kini sudah duduk di tepi ranjang."Pikirkan lagi, Dwi. Jalan kita masih panjang. Masih punya banyak waktu untuk memperbaiki semuanya. Aku berjanji akan berusaha melupakan Kania." Dia terlihat bersungguh-sungguh. "Mana mungkin bisa, jika setiap hari Abang bertemu dan berbicara dengannya. Sedang saat berjauhan pun Abang selalu mengingatnya!" jawabku tegas."Aku tidak mungkin tiba-tiba mengundurkan diri. Bagaimana nanti aku memenuhi tanggung jawab untuk menafkahimu jika tak punya pekerjaan?""Abang hanya beralasan! Abang punya ijazah Sarjana. Ada banyak pekerjaan di luar sana. Aku juga tak pernah menuntut apa pun pada Abang, kan?""Tidak semudah itu, Dwi. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Ak
Ini hari ke tiga aku di rumah ayah dan ibu. Tak sekali pun suamiku mengirim pesan atau berusaha membujukku. Setidaknya dia harus memberi kabar meski belum sampai empat hari. Dengan begitu aku masih memiliki harapan kalau dia benar-benar berniat mempertahankan rumah tangga kami.Jahat!Kata-katanya semua palsu. Dia pasti begitu bahagia hidup tanpa aku. Padahal aku di sini hampir mati menahan rindu. Pasti saat ini dia sedang membayangkan bagaimana hari-harinya bersama Kania di kantor itu.Kurasa memang seperti inilah jalan takdirku. Menikah dan menyandang status janda masih di tahun yang sama. Bahkan umur pun belum bergerak dari angka yang lama.Satu tahun sejak lulus SMA membuatku memantapkan hati menjadi seorang istri. Tak peduli pada titel sarjana atau jenjang karir di luar sana. Isi kepalaku hanya dipenuhi oleh hari-hari bahagia bersama bang Haikal saja. Mencuci bajunya, memasak makanan kesukaannya, bahkan memijatnya jika dia merasa lelah. Sesederhana itu cita-citaku. Pikiran itu s
"Aku tak menyangka kalau kau sudah menikah." Dia membuka percakapan, setelah memesan segelas ice Americano.Aku terdiam. Andai tak ada masalah dalam rumah tanggaku saat ini, aku pasti akan menjawabnya dengan penuh percaya diri. Namun apa yang harus kukatakan. 'Ya, tapi sebentar lagi akan bercerai.'Apa aku harus mengatakan hal memalukan seperti itu?"Ah, maaf." Dia seolah mengerti situasiku. "Aku tak bermaksud mencampuri urusan pribadimu," ucapnya. Sepertinya dia merasa sungkan."Tidak apa-apa. Aku hanya bingung harus menjawab apa. Semua orang punya jalan hidup masing-masing, bukan?" "Kau benar. Hanya saja... " Matanya menyipit. "Sangat disayangkan jika kau tidak melanjutkan pendidikanmu. Apa suamimu melarang?" Aku kembali terdiam. Sungguh, ini pertama kalinya aku berbicara berdua dengan teman pria. Apa lagi pemuda asing seperti Bima yang tidak begitu kukenal karakternya. Aku jadi bingung harus menjawab apa. Apa pertanyaan seperti itu memang boleh ditanyakan pada seseorang yang ti
Mataku langsung membesar mendengar ucapan bang Haikal. Bukan tuduhan itu yang membuatku terkejut dan merasa jengkel. Tapi karena ada sesosok Bima yang akhirnya mendengar apa yang seharusnya tidak boleh dia ketahui.Dengan ragu aku menoleh ke arah pemuda itu. Memandangnya yang kini terdiam, seolah ikut prihatin dengan apa yang terjadi pada kami. Matanya langsung menyipit memandangku. Seperti menjawab semua kecurigaannya saking seringnya melihatku dalam keadaan menangis."Kenapa kau di sini?" tanya bang Haikal dengan nada tegas. Baru kali ini kulihat wajahnya sampai memerah menahan marah."Aku ada janji dengan Dea," sahutku pelan."Dea? Aku tak melihat ada Dea di sini. Siapa pria ini?" Dia mengangkat dagu dengan sinis. "Pacarmu?" "Abang!" Aku memekik kesal. "Ho, dia pemuda yang ada di pesta itu, kan? Kalian sering bertemu, rupanya. Pantas saja kau mencari alasan untuk__.""Abang! Hish!" Aku kembali memekik. Begitu kesal karena dia tak memberi kesempatan padaku untuk menjawab pertanya
Apa dia benar-benar sudah mengambil keputusan dan meninggalkan pekerjaannya demi aku?Tidak, tidak. Aku pasti salah. Aku tidak boleh terlalu percaya diri. Aku masih terlalu bodoh untuk bisa mengartikan kata-katanya barusan. Apa maksud ucapannya bahwa kini dia seorang pengangguran.Apa dia sungguh-sungguh dipecat? Atau perusahaan itu bangkrut karena aku mengutuknya saat berdoa? Tak memperbolehkan perusahaan itu jadi tempat penampungan pasangan yang sedang berselingkuh?Ya, aku terpaksa berdoa seperti itu agar Kania tak bisa hidup tenang dengan suamiku. Dengan ragu aku memberanikan diri memegang tangannya. Menanyakan sekali lagi apa maksud ucapannya tadi."Abang benar-benar resign dari kantor?" Aku meyakinkan diri. Dia tertawa kecil, lalu mengangguk."Sungguh?" Dia semakin tertawa, lalu kembali mengangguk.Tak bisakah dia menjawab dengan mulutnya saja agar aku merasa lebih yakin? Kenapa suka sekali membuatku berpikir keras untuk mendapatkan jawaban."Iya, Dwi. Aku resmi mengundurkan di
Aku tersenyum sendiri melihat wajah suntuk suamiku. Sudah seminggu ini dia resmi menyandang status sebagai pengangguran. Beberapa lamaran dia kirimkan secara online. Namun hingga saat ini belum juga mendapat panggilan.Terus terang aku menikmati saat-saat seperti ini. Aku jadi punya banyak waktu bersamanya meski hanya sebatas memandang. Bang Haikal bukan tipe pria yang suka berkumpul dengan teman-teman di luaran sana. Jadi bisa dipastikan jika tak ada keperluan, dia bisa dua puluh empat jam berada di rumah bersamaku.Hubungan kami memang tak banyak berubah. Masih tetap seperti anak kost yang tinggal di satu atap, namun memiliki ruangan masing-masing. Namun itu bukan masalah. Asal dia bersikap baik padaku, itu sudah cukup.Aku tak mau lagi menuntutnya terlalu banyak. Aku harus mengerti. Mengubah rasa sayang sebagai kakak dan adik menjadi perasaan yang baru memang bukan hal yang mudah. Apa lagi sempat ada wanita lain yang hadir di antara kami. Jadi melihat usahanya saat ini pun aku suda