All Chapters of Nama Perempuan Lain di Buku Harian Suamiku: Chapter 31 - Chapter 40
99 Chapters
Bab 31
"Jodoh tak akan ke mana, kita pasti akan dipertemukan kembali," ucap Mas Haris yang membuatku mengangguk. Benar, jodoh tak akan ke mana. Aku pun berbalik, lalu bersama Nadia melangkah menuju mobil. Setiap langkah, tak hentinya aku beristighfar. Sekarang, status kami sudah lain. Aku dan dia, sudah beda jalan. Bukan karena membenci, namun karena mencintai. Miris. Nadia menggandeng tanganku, ia terus menguatkan hingga akhirnya kami sampai di mobil dan pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku melihat beberapa tetangga memperhatikanku. Wajar, mereka pasti masih penasaran kenapa Mas Haris di luar rumah, saat itu. Bunda memelukku. Menguatkan dan mengatakan bahwa akan ada kebahagiaan setelah ini. Aku mengangguk seraya meng-aamiinkan. Ah, Bunda. Beruntungnya aku memiliki orang tua sepertimu dan Ayah. Aku masuk ke dalam kamar. Di kamar, aku menangis lagi. Ah, padahal aku sudah janji untuk tak mengeluarkan air mata. Namun jika begini, rasanya sangat sakit.Allahu Rabbi... --Esok hari. Aku b
Read more
Bab 32
Aku terdiam. Bingung harus menjawab apa? Masa iya kujawab jika aku adalah calon istri Mas Haris? Apa kata mereka nantinya? Duh, mentalku kena. Dasar ibu-ibu nggak ada kerjaan. Setiap hari pemandangan yang kulihat adalah Mas Haris yang seperti orang tak memiliki tujuan hidup. Kegiatannya selalu kerja, pulang, mandi, makan, salat. Ia semakin mengabaikanku. "Mas, kenapa kamu berubah?" tanyaku saat Mas Haris tengah duduk di teras, pandangannya lurus menatap ke bintang dan bulan yang ada di langit. "Siapa yang berubah, Rum?" tanya Mas Haris sambil mendorong kursi rodaku. "Kamu sekarang menjadi pendiam. Berbeda sekali dengan dulu. Dulu, kamu bahkan selalu-""Dari waktu ke waktu, tumbuhan yang segar pun bisa berubah menjadi layu lalu mengering. Semua manusia, nggak mungkin sama sifat dan sikapnya dari waktu ke waktu." "Begitupun perasaanmu sama aku?" tanyaku pada Mas Haris. "Nggak. Aku masih sayang sama kamu." "Sebagai?" Lama Mas Haris terdiam, kemudian tersenyum dan mengajakku masuk
Read more
Bab 33
Aku mengambil ponsel, lalu mencari nomor seseorang di masa lampau. Setelah dapat, segera kukirim pesan padanya.[Oke. Tapi sekarang sudah beda harga.] [Sip.]Aku tersenyum, lalu memasukkan ponsel ke saku celana lagi, dan membantu Ibu memasak. Aku, tak pernah seumur hidupku tak mendapatkan apa yang kuinginkan. Jika aku sudah menginginkan sesuatu, aku pasti akan mendapatkannya. Siang hari. Aku sedang menyiram bunga kesukaan Ibu di halaman, saat kulihat Gina lewat. Gina, satu-satunya teman perempuan Mas Haris. Aku sangat tak suka dengannya. Perempuan yang selalu bisa membuat Mas Haris menolak ajakanku dengan alasan pertemanan. Meski kami tak pernah bertemu, tapi beberapa kali aku pernah melihat wajahnya sehingga dengan mudah mengenali."Gina!" teriakku. Gina menoleh, lalu menunjuk dirinya sendiri. Ia pun mendekat, mungkin tak menyangka jika aku memang mengenalinya. "Maaf, Mbak, panggil saya?" "Iya, nama kamu Gina, kan?""Oh, iya. Mbak yang namanya Arumi juga kan? Yang saudara jauhn
Read more
Bab 34
"Lelaki yang mana, Bu?" "Itu..." Aku melihat ke depan. Saat sampai, aku sedikit terkejut. Kenapa dia masih di sini? "Rumi nggak tahu, Bu. Jadi takut, sebaiknya kita tutup saja pintunya. Daripada dia berbuat yang enggak-enggak. Apalagi belakangan ini Rumi mendengar banyak sekali kejahatan yang merajalela." "Iya kah? Waduh, Ibu takut juga." Ibu pun menutup pintu dan jendela, lalu duduk di sofa sampai lelaki itu pergi. Maafkan Rumi, Bu, Rumi nggak bermaksud untuk berbohong, bathinku. Ibu menghela napas lega saat lelaki itu pergi, lalu mengelus tanganku. "Ibu takut kamu kenapa-napa, apalagi tadi Ibu lihat, kamu habis dari luar." "Ibu tahu?" tanyaku sedikit terkejut. Bagaimana jika Ibu tahu kalau aku memesan air itu? "Iya. Kan Ibu melihat kamu di pintu mau masuk. Sementara lelaki itu berdiri tak jauh dari kamu. Ya udah, Ibu mau baring-baring dulu di kamar. Capek." Aku mengangguk. Setelah Ibu masuk kamar, aku membuang napas lega. Hampir saja. Andai aku mengobrol dulu dengannya, bu
Read more
Bab 35
Aku berbalik menuju mobil, lalu menatap Arum yang sedang memakan rujak. Entah apa yang Kinos katakan, hingga wanita itu tertawa begitu lebar. Apakah kamu sudah melupakan aku, Rum? Apa kamu, sudah berhasil move on dan memilih Kinos? Apa kita tak bisa bersama? Kenapa, Rum? Kenapa kamu tak bisa menungguku? Kunyalakan mobil, lalu melaju melewatinya. Entah karena sengaja atau tidak, tepat mobilmu melewatinya, Arum menoleh dan memeperhatikan. Dia, tak mungkin tahu aku di dalam sini, kan? Mobil kulajukan ke tukang buah. Rumi mengirim pesan untuk membelikan buah sebagai cuci mulut setelah makan. Ah, Rumi. Kenapa perasaan ini habis tak bersisa untukmu? Seakan aku tak pernah mencintaimu, padahal dulu kami melewati hari dengan selalu bersama-sama. "Jeruknya sekilo, sama anggurnya dua kilo, ya, Pak," ucapku. "Ini, Pak." "Berapa?""Dua ratus lima belas ribu." Kuulurkan uang dan membawa buah itu ke dalam mobil. Pantas mahal, ternyata anggurnya kualitas super. Besarnya saja melebihi jempolku
Read more
Bab 36
Tok! Tok! Kuketuk pintu. Tak lama kemudian, wajah Ayah yang pertama kali kulihat. Beliau sedikit terkejut melihatku datang, lalu memelukku. "Ayah sudah bilang, kalau mau main, main aja. Asal siang hari. Kenapa tak pernah datang." "Sibuk, Yah," jawabku. "Ayo duduk, biar Ayah panggilkan Bunda." Aku mengangguk. Dulu, aku bisa bebas keluar masuk rumah ini. Namun sekarang rasanya berbeda, aku terasa canggung berada di sini. Apalagi statusku sekarang adalah tamu. Ke mana Arumi? Kenapa tak kelihatan? Apa tak di rumah, ya? Tak lama Bunda keluar, menghampiriku dan memeluk. Mereka berdua, meski baru beberapa tahun hidup bersama, namun sudah seperti orang tua kandungku sendiri. "Kok gak kasih kabar mau ke sini, Ris? Kan Bunda bisa masak dulu." "Nggak papa, Bun. Lagian Haris cuma sebentar saja." Bunda mengangguk. Lalu kami mulai bercerita. Hingga lama aku tak melihat Arumi keluar, sepertinya dia memang sedang tak di rumah."Arumi ke mana, Bun?" "Arumi? Di-dia, lagi pergi ke luar sebenta
Read more
Bab 37
"Kenapa dia semarah itu, sih, cuma gara-gara tehnya diminum sama kamu, Han?" tanyaku pada Hana. "Misinya gak berjalan lancar," gumam Hana, namun aku bisa mendengarnya dengan jelas. "Hah? Misi apa?""Eh? Enggak, kok. Mas salah denger. Udah ah, aku mau ke kamar, mau belajar. Besok ada ulangan." "Belajar yang rajin ya, adikku," ucapku sambil nsngacak rambutnya. "Ish! Kebisaan," ucap Hana sambil membenarkan rambutnya.Hana sikapnya berubah padaku sejak tahu kalau aku menikahi Arum hanya untuk balas dendam. Ya wajar, sih. Ia pasti kecewa. Karena ia paling dekat dengan Arum. Yang mengetahui tujuan pernikahanku adalah Ibu dan Lina saja. Aku pun masuk ke dalam kamar, menatap langit-langit kamar sambil merebahkan diri. Ucapan Kinos tadi terngiang di kepala. - Flashback, On-"Bunda, sebenarnya, Kinos ingin menikahi Arum." Terdengae ucapan Kinos pada Bunda sewaktu aku datang kembali ingin memberikan buah dan kue. "Menikah?" "Iya, Bunda. Apakah Bunda setuju?" "Tapi, Arum belum selesai
Read more
Bab 38
"Apa, Bu? Menikah?" "Iya. Kamu dan Rumi kan sudah lama menjalin hubungan. Sudah saling tahu satu sama lain," ucap Ibu yang membuat senyumku mengembang. "Haris pikirkan nanti, Bu." Saat mendengar suara langkah kaki dari dalam, aku segera memutar kursi rodaku menuju dapur dan berpura-pura mengambil minum. Saat menoleh, Mas Haris tengah memprerhatikanku. "Kenapa, Mas?" tanyaku. "Oh, nggak. Aku mau beli sarapan, kamu mau nitip?" tanyanya. "Boleh, apa aku boleh ikut, Mas?" tanyaku. Kami dulu sering sekali jalan-jalan bersama. "Nggak usah, Rum, biar aku saja." Aku mengangguk, meski kecewa. Sepertinya Mas Haris memang malu jalan denganku. Yah, siapa yang tak malu jika memiliki pasangan yang hanya punya sebelah kaki dan sebelah pergelangan tangan? Tak lama kemudian, Lina keluar sambil memakai jaket, ia tersenyum menatapku. "Mbak, mau ikut jalan-jalan pagi?" tawarnya. "Apa kamu nggak malu, Lin?" tanyaku. "Ngapain malu? Mau, nggak?" Aku mengangguk. Setelah beberapa hari tinggal di
Read more
Bab 39
"Ha-Hana?" "Lagi bikin apa, Mbak? Kenapa ga panggil Hana? Kan nanti dibantuin," ucapnya. "O-oh, ini mau bikin teh buat Mas Haris," jawabku. "Oh, dia ngelamun lagi, ya? Kayaknya memang cinta banget sama Mbak Arum, makanya sampe ngelamun terus," ucap Hana sambil berlalu ke kamarnya. Meski kesal karena dia membawa-bawa Arum, tapi setidaknya aku bisa bernapas lega karena dia tak curiga. Andai tadi ketahuan, bisa-bisa aku langsung diusir dari sini. "Membayangkannya saja aku udah merinding," ucapku sambil menatap botol kecil yang sempat kumasukan ke dalam saku. "Kamu harapanku satu-satunya. Semoga setelah ini Mas Haris akan berpaling dari Arum dan kembali padaku," Kupegang teh itu dengan tangan normalku, sementara untuk memutar roda, aku menggunakan lengan sebelah kiri. Meski terasa kaku, namun aku seperti sudah terbiasa sekarang. Aku mendekat pada Mas Haris, dan menyerahkan air minum itu di setelahnya. Setelahnya aku tersenyum, dan memanggil Mas Haris yang seperti tengah melamun.
Read more
Bab 40
"Bu, sepertinya memang Arum sudah bahagia." Terdengar suara Mas Haris di kamar ibunya."Iyakah? Sabar, Nak, mungkin kalian memang tak berjodoh." Mas Haris, sampai kapan kamu akan memikirkan Arum terus? Kenapa kamu tak bisa melihatku? --Pov Haris Kini setiap pulang kerja, kegiatanku bertambah dengan melihat Arum. Wanita itu, kini terlihat semakin bahagia. Setiap hari, selalu ada Kinos di setiap sorenya. Apakah mereka benar-benar akan bahagia? "Sepertinya Arum memang sudah bahagia, Bu," ucapku kala aku berada di kamar Ibu. Aku memang lebih dekat dengan Ibu dari pada Bapak. Dan lagi, Ibu lebih bisa diajak curhat. Bapak sedari awal memang menyayangkan kami yang bercerai, karena beliau memang sudah menyukai Arum. Bahkan dulu, beliau tak menyakai Rumi sebanyak menyukai Arum. Dari sini aku sadar, Arum juga telah banyak memberikan hal positif bagi keluargaku. Meski umur pernikahan kami hanya sampai di empat bulan. "Iyakah? Sabar, Nak, mungkin kalian memang tak berjodoh."Ucapan Ibu b
Read more
PREV
123456
...
10
DMCA.com Protection Status