All Chapters of Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku: Chapter 101 - Chapter 110
145 Chapters
Bab 101
"Aku tidak ingin membebanimu, Mbak. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri, tanpa ingin melibatkanmu.""Salah," ujarku. "Jika kamu menganggapku istri, sebesar apa pun masalah yang datang, serumit apa pun cara penyelesaiannya, harusnya kamu tetap cerita. Bukan pergi sesuka hati, membuat semua orang khawatir. Telpon Mama, dia masih mencarimu." Aku berucap tanpa jeda. Seperti seorang anak yang diperintah ibunya, Soni mengambil ponsel, lalu menghidupkannya. Dia langsung menelepon Mama, mengatakan kalau dia baik-baik saja. Setelahnya, aku mendengarkan alasan kepergian dia dari rumah sakit. Seperti dugaanku, dia memang disuruh Mas Sandi untuk mencari uang biaya rumah sakit Shanum. Ancamannya, jika Soni tidak bisa mendapatkan uang itu, maka dia harus meninggalkan aku. Mas Sandi memang pintar menjebak seseorang dalam kesengsaraan. Ancaman dia membuat Soni semakin merasa bersalah dengan kondisi Shanum. Juga, dia yang enggan meninggalkanku, harus bisa mendapatkan uang dengan cara ap
Read more
Bab 102
Mas Sandi sakit? Bukankah tadi dia baik-baik saja? Apa hanya pura-pura?Benakku dipenuhi berbagai kemungkinan yang terjadi pada Mas Sandi. Namun, aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Aku memilih kembali fokus pada Shanum, demi untuk kesembuhannya. Mama sudah pergi, dan sekarang tinggallah aku dan Shanum di sini. Sepi. Tidak ada teman ngobrol selain putriku. Ingin meminta Soni ke sini, tapi kasihan. Dia belum sembuh betul, juga dia yang sedang banyak pikiran. "Huft ...." Aku mengembuskan napas kasar. Putriku masih anteng dengan mainan yang diberikan Mama tadi. Dia sama sekali tidak terganggu olehku yang mondar-mandir ke sana kemari. "Bunda ...." Aku menoleh, lalu menghampiri Shanum. "Kenapa, Sayang?" "Kapan kita pulang?" tanyanya lagi. "Setelah dokter yang menyuruh. Sekarang, Shanum istirahat, ya? Biar kepalanya tidak sakit, dan biar bisa cepat pulang," kataku membujuknya. Shanum menyimpan mainannya, lalu merebahkan diri dengan tidak melepaskan tanganku. Matanya mengerjap
Read more
Bab 103
Sebelumnya, aku tidak pernah melakukan ini pada dia. Sekarang, aku harus menebalkan muka untuk meminjam uang pada sahabatku sendiri. "Bantuan apa? Mau makan, makanan rumah? Siap, aku bawain! Apa lagi? Baju, celana, tas, alat makeup, atau apa?" Aku berdecak sebal mendengar rentetan ucapan Safira yang malah terkesan menggodaku. Mengajakku becanda, padahal sekarang ini sedang serius. "Fir.""Apa? Ngomong aja, Num?" "Aku butuh uang. Bisa bantu, gak?" kataku seraya memejamkan mata. Aku menggigit jari setelah berucap demikian. "Ya ampun, Ranum .... Bukankah tadi aku sudah bilang akan bantu? Kenapa baru bilang sekarang? Kamu, tuh pura-pura ada, pura-pura bisa, padahal menyimpan luka. Berapa, Num? Kalau ada, aku kasih semuanya.""Emh ... sepuluh, ada gak?" "Sepuluh apa? Sepuluh rebu?""Safira ....""Oke, ada. Aku transfer sekarang, ya?" Aku tersenyum lebar. Akhirnya, aku bisa sedikit bernapas lega. Untuk biaya besok, akan aku pikirkan lagi. Yang terpenting, biaya untuk hari ini sudah t
Read more
Bab 104
"Alhamdulillah .... Shanum pulang juga ke rumah!" ujarku ketika turun dari mobil Bapak. Seperti kata dokter tadi, sore ini Shanum sudah boleh pulang. Dan di sinilah kami berada. Di ruko yang sudah menciptakan banyak kenangan di setiap harinya. Dengan digendong Soni, Shanum dibawa masuk, lalu ditidurkan di kasur lipat yang selalu dipakai Soni ketika tidur. Anakku tak banyak bicara, namun wajahnya menyiratkan rasa bahagia.Sesekali, Bapak menggoda Shanum, karena berhasil pulang setelah tadi sempat dibohongin tidak akan pulang. "Karena Shanum sudah sampai rumah, Nenek sama Kakek pulang dulu, ya?" ucap Ibu pada putriku itu. Shanum mengangguk. Aku pun mengantar kedua orang tuaku sampai mereka hendak masuk ke mobil. "Pak, Bu, maafkan Ranum, ya? Uang kalian Ranum pinjam, dan entah kapan akan dikembalikan. Tapi, Ranum janji, kok, akan segera membayarnya, jika nanti sudah ada." Aku berucap seraya menautkan jari-jemari. Ibu memeluk pundakku, dia pun mengusap-usap lenganku dengan mengataka
Read more
Bab 105
Aku berhenti bicara saat Soni memelukku. Dengan gerakan cepat, Soni meninggal tempat duduknya dan menghampiriku. Di sinilah aku berada. Di dalam dekapan pria yang tak lain suamiku.Anehnya, amarah yang tadi datang tiba-tiba, kini mereda seiring dengan tangan Soni yang mengusap-usap pundakku. Dagunya, tepat berada di ubun-ubunku dengan tubuh yang tidak berjarak. Kami benar-benar sangat dekat. "Maaf, Mbak. Aku janji, tidak akan pergi ke pasar dulu sampai kaki ini sembuh. Aku janji, aku janji," ujar Soni masih tidak melepaskan pelukannya. Tanganku yang tadi berada di meja, kini melingkar pula di pinggang Soni. Entah dorongan dari mana hingga aku bisa seberani ini. Namun, ini sangat nyaman. Aku bahkan sangat menikmati momen ini. Kami berpelukan dan tidak lagi saling berteriak menyalahkan satu sama lain. Kata maaf yang Soni ucapkan pun menjadi obat pereda emosi yang tadi sempat mengudara. "Bunda, kenapa ...?" Aku dan Soni saling melepaskan diri saat Shanum datang. Wajah putriku terl
Read more
Bab 106
Satu bulan telah berlalu dari kecelakaan Shanum dan Soni, kini hari-hariku kembali berjalan normal. Begitu pun dengan anak dan suamiku. Mereka sudah pada rutinitas awalnya. Meskipun, ada perbedaan yang begitu mencolok dalam aktivitas harian kami. Shanum yang trauma naik sepeda motor, mengharuskan aku bolak-balik setiap pagi meminjam kendaraan untuk mengantarkan anak itu ke sekolah. Mama, sempat menawarkan agar aku memakai mobilnya, namun aku tolak. Biarkan aku memakai barang orang tuaku, daripada nanti diledek Mas Sandi. Ah, pria itu. Semakin hari dia semakin menyebalkan. Ada saja kelakuan dia yang membuatku naik darah. "Mbak."Aku mengangkat kepala melihat pada Soni yang baru saja datang."Ini," ujarnya lagi menyodorkan dua buku kecil kepadaku. Aku tersenyum menatap buku tipis berwarna merah dan hijau itu. Akhirnya, setelah mengikuti rangkaian proses itsbat nikah, bolak-balik ke pengadilan untuk sidang, aku mendapatkan dokumen negara yang amat penting bagi pasangan suami istri.
Read more
Bab 107
Beberapa saat kami saling bicara, bertukar pikiran dan menumpahkan kegundahan, aku pun pamit pulang. Semalam, aku sudah janji pada Shanum akan membawa dia ke tempat peristirahatan terakhir Cahaya, seperti janjiku waktu itu. Jika dia sembuh, aku akan membawanya ke rumah baru kakaknya itu. "Bunda, kok sepi, ya?" ujar Shanum saat kami memasuki kawasan pemakaman. Aku terkekeh pelan. "Kalau rame itu, di pasar, Sha.""Tempat bobok kakak, di mana?" Shanum kembali bertanya seraya celingukan ke sana kemari. Aku mengajaknya turun. Mengambil bunga segar yang tadi kami beli di jalan. Dengan menenteng plastik berisikan bunga, kami berjalan melewati banyak batu nisan untuk sampai ke tempat di mana Cahaya dikuburkan. Setelah beberapa menit berjalan, kami pun sampai, dan Shanum langsung berjongkok di samping peristirahatan kakaknya itu. "Bunda, aku boleh ngomong sama kakak, gak?" Aku mengusap pipi Shanum yang sudah mulai memerah, lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Gadis kecil itu mengus
Read more
Bab 108
"Pak, ayo bantuin, Pak!" Aku berteriak pada supir taksi yang membawa Mas Sandi ke tempat ini. Aku segera menghampiri dia dengan diikuti Shanum di belakangku. Aku menggoyahkan tubuh Mas Sandi, tapi tidak ada reaksi. Pria yang memakai sweater rajut itu menutup mata dengan posisi sebelah tangan merangkul nisan Cahaya. "Ayo, Pak bantuin!" ujarku lagi. Supir taksi dan beberapa pria yang kebetulan ada di sini, membantu menggotong Mas Sandi hingga kini dia berada di mobil yang aku bawa. Sengaja aku menyuruh orang-orang untuk memasukkan Mas Sandi ke mobilku, agar memudahkan membawa dia ke rumahnya. Tanpa menunggu lagi, aku pun segera menjalankan mobil meninggalkan pemakaman. Dalam perjalanan, aku menyuruh Shanum untuk menelepon Mama. Memberitahukan dia bahwa putranya pingsan di samping kuburan."Bawa ke mana, Mah?" tanyaku dengan mata fokus ke ponsel. "Ke rumah sakit aja, Num. Mama sekarang sedang siap-siap ke sana.""Oke, tapi jangan lama-lama, ya?" ujarku yang langsung dijawab cepat
Read more
Bab 109
"Loh, Shanum mana?" Aku bertanya pada Soni yang baru saja sampai. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, tapi Soni malah pulang sendirian. Dia tidak bersama Shanum, putriku yang entah ada di mana. "Shanum menolak untuk pulang. Dia ingin menemani ayahnya." "Di rumah sakit?" tanyaku lagi. "Di rumah. Mas Sandi sudah sadar, dia minta dirawat di rumah saja, menolak tinggal di rumah sakit meskipun untuk beberapa hari saja."Aku manggut-manggut. Soni menghenyakkan bokong pada kursi plastik di sebelahku, lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Aku mengerutkan kening ketika dia menyodorkan benda pipih miliknya itu padaku. "Lihat video Shanum. Tadi, dia memintaku merekam kata-katanya, agar kamu percaya."Aku tidak menjawab. Mengambil ponsel Soni, lalu mengerucutkan bibir saat memutar video Shanum. Putriku izin menginap di rumah ayahnya, dan memintaku untuk tidak khawatir. Di samping dia, ada Mas Sandi yang mengusap-usap rambut panjang putriku. "Kakakmu itu aneh. Dia bilang
Read more
Bab 110
Kulirik jam sudah pukul setengah lima pagi. Adzan subuh sudah berkumandang di setiap tempat ibadah. Aku, di sini masih bergelut dengan rasa yang tak bisa dijelaskan. Mata ini sudah terbuka dari beberapa waktu lalu, tapi tubuh masih membeku di atas peraduan yang sempat memanas. Ah, aku malu membayangkan apa yang terjadi malam tadi. Dalam guyuran air hujan yang membasahi bumi, di sini aku pun dihujani oleh ribuan kata cinta dari dia yang bergelar suami. Tuturnya, sentuhannya, begitu terasa nyata menaburi benih cinta di taman hati. Aku dibuat lupa jika dia adalah mantan adik iparku, hingga yang kurasakan, dirinya seorang pujangga bergelar suami. "Ekhem!"Buru-buru aku memejamkan mata saat suara deheman seorang pria mendekat. Ada gerakan darinya yang memperbaiki letak selimut hingga menutup sampai ke batas leherku. Aku bergeming. Mengatur napas setenang mungkin agar dia tidak menyadari kepura-puraanku ini. Soni. Pria itu kembali keluar dengan menutup pintu. Sedangkan aku, di sini ma
Read more
PREV
1
...
910111213
...
15
DMCA.com Protection Status