All Chapters of Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku: Chapter 81 - Chapter 90
145 Chapters
Bab 81
Soni langsung berdiri, lalu pergi tanpa ada niat untuk berkata jujur padaku. Aku gemas sendiri dibuatnya, ingin menarik bajunya dan memintanya berkata jujur. Namun, itu hanya ada dalam khayalan. Meskipun sudah tahu pekerjaan dia, rasanya belum puas jika tidak mendengarnya langsung. Dan aku belum berhasil membuatnya berkata jujur. Hari semakin siang, aku sudah kembali melakukan aktivitas rutin di setiap harinya. Shanum dan Soni sudah tidak ada di rumah, mereka pergi ke sekolahnya masing-masing. "Assalamualaikum!" "Waalaikumsalam. Eh, Ibu? Sini, masuk, Bu." Wanita yang telah melahirkanku itu masuk. Aku menyuruhnya duduk di kursi plastik yang ada di sampingku. "Gimana dengan tokomu, Num?" tanya Ibu."Alhamdulillah, Bu. Semakin hari semakin rame.""Soni masih kuliah?" tanya Ibu lagi. Ada yang tidak biasa dari Ibu. Tidak kulihat wajah masam dan kata-kata pedas yang kudengar dari bibirnya saat mengatakan nama suamiku. Apa sekarang hati Ibu sudah luluh? "Kuliah, Bu. Setiap pagi dia
Read more
Bab 82
"Kenapa tidak kuliah?" "Maaf, Mbak.""Aku nanya, Son. Bukan menyuruhmu minta maaf."Terdengar helaan napas dari pria yang saat ini sedang duduk di depanku. Masih di tempat yang sama, aku meminta penjelasan dari dia yang rela meninggalkan kuliahnya demi untuk bekerja. Shanum aku titipkan terlebih dahulu pada Safira, yang kini tengah bermain di taman, tepat di seberang kedai kopi ini. "Soni."Pria itu melihatku, lalu menunduk kembali. "Kenapa harus bolos?" tanyaku untuk kesekian kalinya. "Maaf, jika aku sudah membuatmu kecewa, Mbak. Tapi, ini pilihanku. Aku ... aku, berhenti kuliah."Aku memundurkan tubuh ke belakang, menatap dia dengan perasaan kecewa. Berhenti dia bilang. Itu artinya, dia tidak menyelesaikan kuliahnya? Hanya untuk bekerja? "Apa, Son?" tanyaku lagi. Dia menganggukkan kepala, lalu kembali bicara seperti tadi. "Kenapa?" "Aku ingin bekerja, Mbak.""Bukannya dari kemarin pun kamu sudah bekerja? Apa kuli panggul di pasar, itu bukan pekerjaan?"Kini giliran Soni
Read more
Bab 83
"Sebenarnya, kedai ini sudah kami buat beberapa bulan ke belakang. Tapi, baru bisa buka satu bulan ini, karena ada berbagai hal yang menjadi faktor penghambatnya. Salah satunya dana. Aku, dan teman-teman yang lain, bekerja mengumpulkan uang, hingga akhirnya Mama memberikan modal. Tidak banyak memang, tapi jika digabung dengan modal dari teman-teman yang lain, sudah cukup, dan ... inilah hasilnya. Kedai kopi ini bisa buka dan disukai banyak orang," ujar Soni panjang lebar. Wajahnya terlihat senang ketika memperkenalkan tempat ini sebagai usaha dia yang dibuat bersama kawannya. Soni kembali bicara. Dia menjelaskan kenapa pergi pagi dan pulang larut malam. Tidak lain karena memang harus menjaga kedai ini yang semakin malam malah semakin ramai. Apalagi, tempat yang begitu estetik dan instagramable, membuat tempat ini sering dijadikan tempat membuat konten oleh para anak muda penggila sosial media. Hasilnya pun tidak sia-sia. Soni bilang, semakin hari, semakin malam, kedai semakin rama
Read more
Bab 84
"Dasar bocah." Aku tersenyum seorang diri mengingat kejadian tadi di kedai kopi. Bagaimana aku akan lupa, jika tadi Soni sangat kesenangan luar biasa. Bahkan dia sampai berjingkrak riang, lalu dengan refleks mengangkat tubuhku. Pemicunya tidak lain karena aku yang menyuruh dia melegalkan pernikahan kami agar tercatat di negara. Jangan tanyakan wajahku tadi, sudah sangat merah bak kepiting rebus, kata Safira. Sorak pengunjung kedai membuatku merasakan malu setengah mati. Apalagi, setelahnya aku harus menjelaskan kepada Shanum, atas pertanyaan yang dia lontarkan. "Kenapa Om Soni gendong-gendong, Bunda?" Dan aku berpikir keras untuk mencari jawaban yang pas dan pantas.Sekarang, aku sudah kembali ke rumah. Duduk di kursi plastik dengan pandangan lurus ke depan. Melihat jalanan yang ramai oleh kendaraan, juga beberapa orang yang keluar masuk toko elektronik Haji Darmin. "Bunda .... Ayah telepon, nih!"Aku mengalihkan pandangan pada putriku yang berjalan seraya membawa ponsel. Shanu
Read more
Bab 85
"Merajuk. Tali tasnya mau putus, tadi minta sama ayahnya, gak dikasih. Aku janji mau memperbaiki, tapi tadi keburu banyak pembeli. Akhirnya, begitulah. Nangis, ngunci diri di kamar," ujarku menjelaskan pada Soni. Soni mengetuk pintu kamar Shanum. Dia membujuk keponakannya itu agar mau keluar. Namun, tidak berhasil. Hingga akhirnya, Soni menjanjikan untuk membelikan tas baru pada Shanum, hingga pintu pun terbuka menampilkan wajah sembab penuh air mata. "Uh ... jelek banget ini muka. Apus air matanya, ah. Om, gak mau beliin kalau masih ada air mata kayak gitu. Malu, udah gede masih nangis. Anak sekolah mah gak boleh nangisan," ujar Soni seraya mengusap sisa air mata di wajah putriku. Setelah dipastikan Shanum tidak menangis lagi, Soni mengajak putriku untuk pergi. Katanya jalan-jalan sore sambil mencari tas baru. Aku mengikuti langkah kaki mereka dan berhenti di depan ruko. Aku menarik folding gate, untuk menyudahi mencari rezeki di hari ini."Sudah, Mbak? Ayo, kita berangkat!" "Ka
Read more
Bab 86
"Kamu, kok di sini?" "Karena kamu di sini, Mbak," jawabnya dengan seulas senyum. Aku berdiri, berjalan berdampingan dengan Soni yang masih setia memayungi kami menggunakan jaketnya. "Deketan dikit, Mbak, bahumu kehujanan.""Gak apa-apa," kataku. Namun, Soni tidak mengizinkan tubuhku terkena air hujan. Dia menarik bahuku, hingga refleks tanganku melingkar di pinggangnya. Aku mendongak, melirik ke sebelah kiri di mana pria yang usianya lebih muda lima tahun dariku tengah tersenyum senang dengan pandangan lurus ke depan. Tatapan kualihkan pada kaki kami yang berjalan bersamaan. Rintik air hujan mengiring detak jantung yang tiba-tiba berpacu lebih kencang. Apakah arti dari semua ini? Aku tidak tahu. "Kita neduh dulu, Mbak." Soni berujar ketika kami sampai di pos kecil di pinggir TPU. Aku menarik napas dalam-dalam, seraya melepaskan tangan yang sedari tadi melingkar pada pinggangnya. "Kamu tahu dari mana aku di sini?" tanyaku kemudian. "Feeling aja, Mbak. Ternyata, benar ada di
Read more
Bab 87
Aku kembali ke tempat pengambil kopi, lalu membawa minuman hangat yang sama ke meja yang berbeda. "Mbak, karyawan baru?" tanya seorang pria pemesan kopi."Iya," ujarku singkat, lalu kembali. Hampir dua jam aku menjadi pelayan di kedai kopi ini. Sesekali aku melirik Soni yang tengah meracik kopi bersama satu temannya. Dan dua teman lainnya bertugas sebagai pengantar pesanan. Kakiku sudah lumayan pegal, tanganku pun demikian. Pengunjung yang sudah mulai berkurang, membuatku kembali disuruh duduk oleh Soni. Namun, aku tidak mendengarkan apa kata dia. Aku tetap bekerja, dan akan berhenti ketika benar-benar sudah lelah. "Mbak, Mbak ini istrinya atau kakaknya si Soni, sih? Perasaan tiap manggil, pake kata 'Mbak' terus?" tanya seorang wanita berjilbab itu padaku. Aku tersenyum seraya menundukkan pandangan. Kemudian mata ini melirik Soni yang terlihat malu-malu dengan pertanyaan kawannya itu. "Panggilan sayang, Mirandah!" tutur pria di samping Soni. Wanita yang dipanggil Miranda itu m
Read more
Bab 88
"Tuh, yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Ke mana aja, kamu ini, Num?" Ibu nyerocos dengan bibir yang bergoyang ke sana kemari. Namun, dengan santainya aku membuka helm, menyimpannya di atas motor, tanpa menjawab pertanyaan Ibu. Kemudian menyalami kedua orang tuaku itu satu persatu, dan berulah duduk di bale-bale bersama mereka. Di sana pun ada Shanum yang tengah bermain kasir-kasiran seorang diri. "Dari mana?" tanya Ibu untuk yang kedua kali. "Dari ....""Dari kedai kopi dulu, Bu. Tadi, aku yang minta Ranum ke sana. Maaf, harusnya aku tidak libatkan Ranum dalam pekerjaanku," ujar Soni menjawab pertanyaan Ibu. Padahal, bukan itu jawaban yang hendak aku ucapkan. Namun, pria itu malah bicara demikian."Oh, yasudah." Aku mengerutkan kening melihat Ibu yang hanya menjawab singkat seraya berlalu. Biasanya tidak seperti itu. Ibu biasanya selalu nyerocos, jika ada yang tidak sepaham dengannya. Namun, kali ini dia berbeda. Meskipun aku datang telat, juga bersama Soni, tidak aku
Read more
Bab 89
Adzan maghrib berkumandang. Beda dengan saat di ruko, di sini Soni salat ke mesjid bersama Bapak. Kedua lelaki itu sudah pergi, dan di sini pun para wanita mulai menunaikan ibadah salat berjamaah.Tiga rakaat sudah kami tunaikan, sekarang aku dan Ibu tengah duduk bersila masih dengan menggunakan mukena. Sedangkan Shanum, dia berguling di atas ranjang Ibu yang lebih besar dari kasur milik kami di ruko. "Num. Boleh, Ibu bicara padamu?" tanya Ibu setelah beberapa saat diam. "Tentu, Bu. Ibu, mau bicara apa?" "Ini tentang pernikahanmu dan Soni. Sudah kalian daftarkan ke KUA?" Aku menggelengkan kepala. "Rencananya besok, Bu. Apa, Ibu keberatan?" Kini giliran Ibu yang Menggelengkan kepala. Dia mengambil tanganku, lalu menepuk-nepuknya pelan. "Tidak, Num. Justru, Ibu mendukung keputusan kamu ini. Maaf, ya jika ada kata-kata Ibu yang mungkin melukai perasaan kalian. Terutama Soni. Harus Ibu akui, Ibu keliru. Ibu berdosa pernah menyuruh kamu bercerai dari dia.""Sudah kami maafkan. Kalau
Read more
Bab 90
"Ranum, Soni, Bapak mau ngomong jujur sama kalian. Ini tentang rahasia yang tadinya Bapak pendam sendiri, tapi kali ini akan Bapak bicarakan pada kalian. Bapak takut tidak ada umur, jika tidak bicara sekarang."Suasana mendadak tegang ketika Bapak berucap demikian. Aku menatap lekat pria cinta pertamaku itu. Begitu pun dengan Soni dan Ibu. Kecuali Shanum. Putriku itu masih bermain di kamar. Terdengar dari suara dia yang bernyanyi di dalam sana. Hari masih pagi, tapi kami dibuat penasaran dengan apa yang akan Bapak sampaikan sekarang ini. "Tentang apa, Pak?" tanyaku tidak sabar. "Tentang ... uang."Aku lebih tidak mengerti. "Sebenarnya, uang yang Bapak berikan padamu saat itu, juga yang Bapak belikan pada beberapa rak di rukomu, itu bukan tabungan Bapak dan Ibu. Melainkan, dikasih Ibu Utami, ibunya Soni."Mama?Aku dan Soni saling pandang. Tidak pernah menyangka jika modal yang kudapat dari ibu mertua. Ibu pun demikian. Wanita itu menatap tak percaya pada suaminya. "Kapan?" tanya
Read more
PREV
1
...
7891011
...
15
DMCA.com Protection Status