All Chapters of Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku: Chapter 91 - Chapter 100
145 Chapters
Bab 91
Kuembuskan napas kasar seraya masuk ke dapur. Beberapa saat aku duduk merenung memikirkan perkataanku tadi. Ada rasa tidak enak karena telah membuat Soni kecewa. Aku pun tidak tahu dengan perasaan ini. Tadi, aku menggebu mengatakan tentang dia yang terlibat dalam uang sogokan itu. Tapi, sekarang justru aku merasa menyesal mengucapkan kata yang mungkin menyakiti hatinya."Bunda, iketin rambut aku," pinta putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. "Mau iket berapa?" tanyaku menyuruh dia duduk di kursi kosong di sampingku. "Satu aja, biar cepet."Aku pun mulai menyisir rambut Shanum dan mengikatnya. Saat tengah memasangkan pita, Soni datang dan menghampiri kompor. Dia bertanya pada putriku ingin membawa bekal apa hari ini ke sekolah. Dia hanya bicara pada putriku, dan mengabaikan diriku."Mau susu kotak sama biskuit aja, Om," ujar Shanum singkat. "Apa lagi?" tanya Soni kembali. "Emh ... buah anggur, kalau ada!" Putriku menutup mulut, karena tahu sebenarnya tidak ada buah itu di
Read more
Bab 92
"Mah, Mama, kok gak bilang sama Ranum, kalau Soni cuti kuliah. Aku juga tidak tahu jika Soni punya usaha dengan teman-temannya."Mama mengulas senyum manis seraya menyesap teh manis yang aku buatkan. Dia duduk di kursi plastik seraya memegang gelas. Sesaat setelah Soni berangkat, Mama datang seraya membawa tas bergambar kuda poni untuk putriku. Katanya, Mas Sandi cerita jika Shanum minta dibelikan tas baru. Bukannya dia yang datang, malah menyuruh Mama. Ayah macam apa, Mas Sandi itu? Sekarang, aku sedang membicarakan Soni dengan wanita yang melahirkannya ini. "Iya, Num. Waktu itu dia mohon-mohon sama Mama, buat ngijinin cuti kuliah. Sekaligus, minta modal untuk usaha. Tadinya, Mama pun tidak setuju. Mama mau, dia tetap kuliah sambil bekerja. Tapi, Mama bisa apa kalau Soni memang sudah niat banget berhenti," ujar Mama menjawab pertanyaanku. Aku manggut-manggut. Sebenarnya, aku pun ingin mempertanyakan tentang uang yang sudah dia berikan pada Bapak. Namun, kurasa tidak perlu. Aku
Read more
Bab 93
"Sha, ikut Bunda, yuk!" Aku berteriak dari lantai bawah. "Ke mana, Bunda?" tanya Shanum melihatku seraya menyembulkan kepala. "Ke toko kain kakek dan nenek. Bunda mau beli kain!" Tidak berapa lama, Shanum turun. Aku langsung menutup toko, biar bisa pergi dengan leluasa. Jarak ruko dengan toko Ibu memang lumayan jauh. Namun, tidak urung bagiku dan Shanum untuk jalan kaki menyusuri pasar yang ramai. Banyak yang kami bicarakan selama perjalanan. Apalagi, Shanum yang selalu ingin tahu, menanyakan segal yang dilihatnya."Bunda, apa bedanya pasar, dan supermarket?" tanya Shanum di sela langkah kami. "Bedanya, supermarket itu berada di dalam ruangan, sedangkan pasar, dia letaknya di tempat terbuka seperti ini. Tuh, lihat. yang jualannya, pake meja-meja besar gitu. Ada yang pake roda juga." Aku menunjuk beberapa pedagang di sekitar kami. "Ada yang duduk di tanah juga, Bunda," tutur Shanum menunjuk nenek-nenek penjual sayur dalam nampan. Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai di de
Read more
Bab 94
"Mbak, segini cukup apa tidak untuk satu bulan?" tanya Soni seraya duduk bersila berhadapan denganku. Di tengah-tengah kami, ada uang sebanyak lima juta rupiah yang diberikan Soni padaku. Setelah saling ledek gara-gara baju yang kubeli kekecilan di tubuh suamiku itu, Soni langsung mengajakku bicara. Rupanya, dia ingin memberikan penghasilan selama satu bulan usaha yang baru dirintisnya. Menurutku, ini lumayan besar. Apalagi untuk sebuah kedai kopi yang baru buka, penghasilan segitu per satu orang, sudah lumayan. "Mbak, gak cukup, ya?" tanya Soni lagi mengibaskan tangan di depanku. "Cukup, Son. Insya Allah akan cukup. Emh .... Ini, kok dikasih ke aku semua, buat kamu mana?" "Aku tidak perlu uang, Mbak. Tapi, kasih sayang.""Soni ...." Aku menatapnya tajam.Dia nyengir, lalu memeluk lutut dengan masih berada di depanku. Kepalanya menggeleng tanda tidak menginginkan uang yang masih bertumpuk di lantai. "Untuk bensin." Aku kembali berucap. "Lah, gampang buat bensin mah, Mbak. Enta
Read more
Bab 95
"Baru bangun, Mbak?"Aku menghentikan langkah kaki ketika seseorang di bawah sana menegurku. Soni. Dengan rambut basah dan wajah segarnya tersenyum seraya menata barang. Aku tidak melanjutkan langkah. Memilih duduk di anak tangga seraya memperhatikan dia. Sudah bisa kutebak, jika Soni baru saja pulang dari pasar. Sudah beberapa kali aku melarang dia agar berhenti kuli, tapi Soni tidak mau mendengarkan. Dia selalu kekeh dengan pendiriannya. "Hari ini, jadi ke pestanya Devano?" Soni kembali berujar. Aku mengangguk seraya mengikat rambut ke atas. Namun, masih enggan beranjak dari tempat dudukku sekarang. Mata ini masih memperhatikan dia yang bolak-balik mengambil barang dari belakang."Mbak, minyak goreng tinggal lima kardus lagi, terus ... mie instan, kopi kemasan sama makanan ringan, juga sudah pada mau habis.""Iya, aku sudah memesannya kembali. Mungkin nanti siang atau sore akan datang. Pagi ini, 'kan kita mau ke pestanya Devano, jadi tokonya tutup aja sampai kita pulang dari sa
Read more
Bab 96
"Tidak becus! Kenapa harus anakku yang celaka? Kenapa bukan kamu saja yang tiada!" "Sandi!!" Aku yang berada bersama Shanum di dalam kamar rawat inap, akhirnya memilih keluar saat mendengarkan keributan di sana. Berbagai umpatan dan cacian Mas Sandi berikan pada Soni yang tadi mengalami kecelakaan bersama putriku. Menurut penuturan Soni, tadi motor yang dikendarainya bertabrakan dengan mobil yang melaju dari arah berlawanan. Mobil yang menyalip kendaraan lain, ditambah wajah Soni ketutupan rambut Shanum yang tertiup angin, membuat pandangan dia tertutup. Alhasil, kecelakaan tidak dapat dihindari. Dan sekarang, putriku terkapar lemas di atas ranjang rumah sakit."Sandi, sudah hentikan. Jangan terus menyalahkan adikmu. Celaka tidak ada yang tahu, ini musibah, Nak." Mama menghendaki kemarahan Mas Sandi yang begitu emosi pada Soni. Pria yang tak lain suamiku itu hanya menunduk lesu di atas kursi roda. Soni tidak mengalami luka serius, dia hanya shock dengan beberapa luka ringan di
Read more
Bab 97
Aku langsung menghampiri Shanum, lalu menanyakan bagian mana yang sakit. Kekhawatiranku bertambah, saat putriku terus menangis menunjuk bagian kepala yang terluka. "Mas, minta dokter untuk segera memeriksa bagian dalam kepala Shanum, aku takut ada cidera di dalamnya," ujarku seraya terus memenangkan buah hatiku. "Baiklah, aku akan menemui dokter untuk ini." Mas Sandi keluar dari kamar Shanum, untuk menemui dokter yang menangani putriku. Sedangkan aku, menenangkan putriku dengan dibantu Ibu. "Gimana, Mas?" tanyaku saat Mas Sandi datang seorangpun diri. Tidak ada dokter yang mengikutinya. "Mereka akan segera datang untuk memeriksa Shanum. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa dengan putriku. Jika ada yang serius, aku tidak akan memaafkan Soni."Hatiku menciut, dadaku berdenyut ketika Mas Sandi mengucapkan kata ancaman pada Soni. Sesalah-salahnya dia, Soni itu suamiku. Ada rasa kasihan dan tidak terima saat Mas Sandi berkata kasar kepada suamiku itu. Kecelakaan ini bukan inginnya. Dia
Read more
Bab 98
"Coba lihat di toilet, Num." Aku menuruti perintah Mama dengan langsung berjalan ke arah kamar kecil. Kosong. Tidak ada Soni di sana. Aku menggelengkan kepala ke arah Mama yang sekarang sudah berdiri di belakangku. "Oh, mungkin ke mushola, Num. Kan, sudah adzan subuh," ujar Mama lagi. Aku berpikir sejenak, lalu mengembuskan napas lega. Ya, mungkin Soni sedang salat subuh berjamaah. Rasa khawatirku sedikit berkurang setelah tahu kemungkinan besar Soni ada di tempat yang aman. Aku pun pamit pada Mama untuk pergi ke mushola. Bukan untuk menyusul Soni, melainkan untuk menunaikan ibadah salat subuh, karena aku tidak membawa mukena jika harus salat di kamar Shanum. Dua rakaat sudah aku tunaikan, kini mataku celingukan mencari sosok Soni. Namun, ternyata di sini pun tidak ada. Aku keluar dari mushola dengan hati yang tak tenang. Mungkinkah Soni sudah kembali ke kamarnya, atau sebenarnya dia tidak ada di tempat ibadah itu? "Pak, maaf ganggu sebentar. Apa, Bapak lihat laki-laki yang
Read more
Bab 99
"Om Soni ... Bunda juga tidak tahu di mana Om Soni, Sha." "Loh, kok Bunda bicara seperti itu? Memangnya Om Soni di mana, Bunda?" Shanum kembali bertanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Ya Tuhan ... cengengnya aku menurun pada putriku. Baru saja aku menjawab tidak pasti tentang Soni, mata Shanum sudah mulai berair. Dia begitu khawatir pada omnya itu. "Sayang ... kok, malah nangis? Kemarin, Om Soni di sini sama Shanum. Tapi ... dia pergi, dan gak bilang-bilang sama Bunda. Mau Bunda lihat ke rumah, tapi tidak ada yang jagain Shanum di sini. Bunda, jadi bingung." Aku menoleh ke arah putriku yang kini air matanya sudah melewati pipi. Segera aku menghapusnya, menghibur dia agar tidak lagi bersedih. "Bunda ....""Iya, Sayang?" "Bunda pulang saja, lihat Om Soni. Kasihan dia Bunda, kakinya tertimpa motor.""Shanum, ingat?" tanyaku memastikan. Pasalnya, kemarin pas di bawa ke sini, putriku sudah pingsan sejak dari tempat kejadian. "Ingat, Bunda. Om Soni meringis, terus Shanum lupa l
Read more
Bab 100
"Ranum!!""Mbak!"Teriakan kedua pria itu membuatku menghentikan tangan yang sudah berhasil menampar kedua pipi Mas Sandi. Dadaku naik turun seiring amarah yang masih memuncak. Telapak tangan memanas setelah barusan bersentuhan dengan kulit tebal Mas Sandi.Tak kusangka, pria yang dulu aku hormati, kujunjung tinggi, kini merendahkanku dengan sadar. Dia, ingin membeli seorang istri dari suaminya. "Ranum, kenapa kamu datang ke sini dan tiba-tiba menamparku?" tanya Mas Sandi dengan wajah merahnya. Aku mengambil gelas berisikan air, lalu menumpahkannya dengan sengaja ke wajah pria itu. Dia kembali berteriak mempertanyakan maksud dari perbuatanku ini. "Kenapa kamu bilang? Kamu ingin tahu kenapa aku seperti ini? Karena aku jijik padamu! Jangan mentang-mentang kamu punya banyak uang, kamu bisa seenaknya membeliku dengan hartamu!"Mas Sandi buru-buru menutup tas berisikan uang yang dia tawarkan pada Soni. Tangannya begitu cepat mengemasi barang-barang yang dia tawarkan sebagai imbalan ji
Read more
PREV
1
...
89101112
...
15
DMCA.com Protection Status