Semua Bab STATUS GALAU SUAMIKU: Bab 31 - Bab 40
84 Bab
Part 31–Tangis Haru
Bukan kebahagiaan sempurna yang kuberikan, justru beberapa waktu lalu hati ini sempat kembali goyah setelah pertemuanku dengan Lidya. Aku terpaksa kembali berbohong pada Nurma tentang kami yang sering membuat janji dan bertemu diam-diam. Bukan untuk mengenang masa lalu, tapi untuk mendengarkan curhatannya yang sedang sedih karena tengah bermasalah dengan Adrian.Saat itu, kuakui perasaan ini kembali terbagi karena seringnya kami menghabiskan waktu berdua. Hanya saja, aku kembali tertampar pada kenyataan setelah melihat Nurma menangis diam-diam.Suatu malam, mata ini terbuka karena rasa haus yang mendera. Tanpa sengaja, aku melihat Nurma sedang menangis di atas sajadahnya. Kuputuskan untuk tetap berpura-pura tidur. Hingga akhirnya, hati ini seperti diremas-remas saat mendengar dia mendoakan segala kebaikan untukku, bukan untuk dirinya.Barulah aku tahu bahwa sebenarnya Nurma sudah sadar tentang hati ini yang
Baca selengkapnya
Part 32–Minta Bantuan?
"Bicara soal apa?" tanyaku penasaran."Tolong panggilin," pintanya lagi."Ya udah. Mas panggil Bapak dan Ibu dulu kalau gitu," kataku seraya mengusap pipi bayi yang masih meminum ASI itu dengan punggung telunjuk."Makasih, ya, Mas. Maaf nyuruh-nyuruh.""Apa, sih, Dek? Orang cuma panggilin Bapak doang. Kenapa harus minta maaf segala?" Aku tertawa kecil seraya bangkit berdiri. "Bentar, ya. Kayaknya Bapak tadi pergi ke kantin sama Ibu."Nurma mengangguk dan tersenyum tipis.Aku pun sama. Senyum ini mengembang melihat wajahnya semakin hari semakin terlihat lebih cerah. Tak seperti saat dia masih berada di antara hidup dan mati. Pucat, dan itu membuatku takut. Takut mata itu tertutup selamanya.Aku berjalan cepat menuju kantin untuk mencari keberadaan Ibu dan Bapak. Namun, belum terlalu jauh kaki ini melangkah, sosok keduanya sudah lebih dulu muncul. Bapak dan Ibu mendekat padaku dengan membawa satu kantong plastik putih."Baru aja aku mau cari Bapak sama Ibu," kataku saat melihat keduanya
Baca selengkapnya
Part 33–Hadiah yang Tertunda
Semakin hari kondisi Nurma semakin membaik dan akhirnya dokter pun memperbolehkan dia pulang. Syukuran kecil-kecilan sudah dipersiapkan oleh Mama dan Papa untuk menyambut kepulangan sang menantu dan cucu.Pengajian pun diadakan setelah isya. Tak ayal, kami dan beberapa tamu pengajian sama-sama menyeka air mata haru. Bersyukur karena akhirnya Nurma masih diberikan umur panjang.Nurma memang dikenal sebagai pribadi yang baik dan ramah oleh para tetangga di sini. Meskipun, dia termasuk warga yang jarang ikut berkumpul untuk menggosip bersama ibu-ibu. Nurma baru akan berkumpul jika ada undangan untuk menghadiri acara yang diselenggaan RT saja."Mas Aldi."Aku yang baru selesai menyalami para tetangga pun menoleh. Pak RT tersenyum ramah seraya menepuk pundak ini."Saya ikut senang Nurma bisa kembali ke tengah-tengah kita.""Iya, Pak. Terima kasih bany
Baca selengkapnya
Part 34–Dijual?
"Persiapan buat apa, Dek?"Bapak mendelik tajam mendengar pertanyaanku.Aku berpaling. Lebih enak memandang Nurma yang selalu menyungguhkan senyum manisnya."Buat syukuran hari ulang tahunku, Mas.""Ulang tahunmu?" Aku terdiam sejenak berpikir. "Oh, iya. Sebentar lagi 'kan kamu ulang tahun, ya." Aku menepuk jidat.Aku memang belum pernah sekalipun merayakan ulang tahun Nurma atau memberi hadiah spesial. Bahkan selalu lupa tanggal kelahirannya. Jauh berbeda dengan Nurma. Setiap kali aku bertambah usia, dia pasti memberikan kejutan di tengah malam. Meskipun begitu, dia tak pernah protes atau marah."Maaf, ya, Dek. Mas lupa.""Memangnya apa yang pernah kamu ingat tentang Nurma? Enggak ada!" tukas Bapak."Pak," tegur Nurma lembut.Aku hanya berdehem pelan dengan perasaan tak enak. Bagaimanapun juga, aku tak bisa marah atau membantah karena yang dikatakannya itu benar. Aku terlalu sibuk dengan masa lalu. Hingga membuatku abai dengan kehadiran wanita yang setia dan sabar mendampingi."Ya su
Baca selengkapnya
Part 35–Ke mana?
Waktu terasa berjalan cepat. Kini, usia bayi kami sudah hampir satu bulan. Dulu aku senang karena setiap pulang kerja, ada senyum dan pelukan hangat Nurma yang menyambutku. Senyum yang mampu menghilangkan penat dan lelah. Kini, tak hanya senyum dan pelukan dia, semangatku untuk segera tiba di rumah semakin meningkat sejak kehadiran Alan —putra kecil kami.Aku selalu tak sabar ingin menggendong dan menciumi pipi chubbynya. Kehadiran Alan berhasil membuatku semakin yakin tentang perasaanku untuk Nurma yang selama ini masih abu-abu.Entah sejak kapan pastinya. Kini, setiap hari aku dilanda rindu melihat senyum dan wajah Nurma saat aku sedang bekerja. Hal itu membuat sikapku terhadap Lidya berubah drastis. Semakin tak acuh walau dia masih membutuhkan teman curhat.Bukan tidak ingin menolong atau memberi dukungan. Hanya saja, aku tidak mau hal itu merusak keharmonisan rumah tanggaku lagi. Sudah cukup aku di
Baca selengkapnya
Part 36–Mobil Hitam
"Hapenya di sini. Lah, orangnya di mana? Apa lagi pergi keluar sama Ibu, ya?" gumamku seraya meletakkan ponselku dan ponsel Nurma di meja. "Benar. Palingan lagi pergi sama Ibu. Mending aku mandi dulu, deh. Biar pas dia pulang udah wangi."Usai membersihkan diri, tak lupa kusemprotkan parfum hadiah dari Nurma dulu. Kutatap bayangan diri sendiri melalui cermin sambil tersenyum."Enggak kalah ganteng, kok, sama si dokter tukang caper itu," gumamku seraya menyugar rambut tebal ini.Apa dia berpikir kalau Nurma akan jatuh hati karena kebaikan dan wajah blasterannya itu? Dasar tukang mimpi. Dia mungkin bisa berpura-pura baik dan peduli, lalu berhasil merebut hati Bapak, tapi tidak dengan hati Nurma.Nurma milikku dan akan selamanya begitu. Tidak mungkin pria itu sanggup bersaing karena Nurma cinta setengah mati padaku. Buktinya, apa pun kesalahan yang kulakukan pasti selalu dimaafkan.Namun, itu dulu. Sekarang, aku tidak akan mengulangi kebodohan itu lagi. Ketulusan cinta dan pengabdiannya
Baca selengkapnya
Part 37–Kabur?
Mama dan Papa sudah duduk menunggu di kursi teras saat aku tiba di rumah. Dengan napas sedikit ngos-ngosan, kuhampiri mereka yang menatap khawatir."Gimana? Sudah ada info, Di?""Kata Pak Joko, tadi siang dia sempat lihat mereka pergi dijemput mobil hitam, Ma," jawabku seraya membuka kunci, lalu masuk diikuti keduanya."Mobil hitam? Siapa yang jemput? Terus, mereka mau ke mana?" cecar Mama yang sedikit membuatku kesal."Kalau tahu, mana mungkin juga aku nyariin mereka, Ma.""Iya, ya. Terus gimana, dong?" tanya Mama khawatir."Tenang dulu. Siapa tahu mereka lagi ada perlu atau pulang ke kampung. Tapi lupa ngabarin. Sudah coba telepon bapaknya belum?" kata Papa.Aku menggeleng."Sekarang kamu telepon. Barangkali saja memang bapaknya yang jemput Nurma karena rindu."Aku mengangguk, lalu
Baca selengkapnya
Part 38–Jangan Bohong
Ada saja yang menghambat perjalananku. Bukan hanya ban mobil yang bocor dua kali. Bahkan mesin mobilnya pun tahu-tahu mendadak mati. Terpaksa aku menelepon mobil derek dan membawanya ke bengkel. Cukup memakan biaya besar juga menyita waktu. Untung saja, aku baru gajian.Sekitar pukul tujuh pagi, aku baru tiba. Kuparkirkan mobil di lahan kebun kosong yang letaknya tak jauh dari rumah Nurma. Langkah ini sempat terhenti sejenak di depan pagar saat melihat lampu terasnya menyala.Hatiku berbisik bahwa mereka tak ada, tapi aku dengan cepat menggeleng dan mencoba tetap berpikir positif. Mungkin saja mereka masih tidur karena lelah."Assalamu'alaikum!" Kuketuk pintunya, lalu mengintip ke dalam rumah melalui jendela. Sayangnya gorden yang tertutup rapat menghalangi pandangan."Dek? Ini mas, Dek. Buka pintunya!" Lagi. Kuketuk pintu ini dengan sedikit lebih keras daripada tadi."Ibu! Bapak! Assalamu'alaikum!" seruku, tapi tak ada sahutan sama sekali.Bagaimana ini? Jika benar mereka tak ada, ak
Baca selengkapnya
Part 39–Adu Jotos
Satu hantaman berhasil mendarat di pipinya. Membuat wajahnya berpaling dan terhuyung beberapa langkah ke belakang."Katakan di mana istriku, Widi! Kamu bersekongkol dengan Bapak untuk memisahkan kami kan, huh?"Kucengkeram kembali kerah kemejanya, lalu memukul lagi beberapa kali sambil terus menanyakan keberadaan Nurma. Dokter Widi tak tinggal diam. Giliran aku yang terjengkang ketika dia balas memukul dan mendaratkan tendangannya di perut."Kamu benar-benar sudah kelewatan! Aku dari tadi sudah coba sabar, ya! Pergi kamu dari rumahku sekarang juga!" hardiknya dengan tatapan tajam dan telunjuk mengarah ke pintu.Aku tersenyum sinis, lalu kembali menatapnya tajam. "Aku enggak akan pergi sebelum kamu katakan di mana istri dan anakku!"Aku menoleh ke belakang saat mendengar langkah kaki orang. Para tetangga mulai berdatangan karena mendengar keributan kami.
Baca selengkapnya
Part 40—Sesal Tiada Guna
"Untuk apa? Untuk menertawakanku yang terlihat bodoh?" ujarku seraya menatapnya dingin.Pria dengan luka lebam di wajahnya itu terkekeh pelan, lalu berjalan mendekat. Dia berdiri tepat di hadapanku dengan raut wajah tenangnya walau aku memasang raut wajah masam."Kamu berutang maaf padaku." Dia tersenyum tipis seraya menyentuh sudut bibirnya yang sedikit sobek.Aku mendecih, lalu menatapnya sinis. "Aku enggak akan minta maaf. Pukulan itu pantas kamu dapatkan karena sudah berani mencintai istri orang."Dokter Widi tertawa kecil tanpa mempedulikan luka di bibirnya, lalu menatapku lagi."Mencintai seseorang itu wajar karena itu hak setiap manusia. Tapi menjadi enggak wajar kalau kita nekat merebutnya dari orang lain."Kami saling bersitatap tegang karena perkataannya berhasil memantik emosi lagi. Namun, dahiku sontak mengernyit ketika melihatnya justru tertawa kecil seraya menggeleng."Kamu tenang saja. Jangan diambil serius kata-kataku barusan.""Ck, enggak lucu!" Aku menepis tangannya
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234569
DMCA.com Protection Status