All Chapters of DINODAI SUAMI SENDIRI: Chapter 31 - Chapter 40
106 Chapters
Part31
Ini si Zein, kenapa sampai hati banget sih. Bisa-bisanya dia bilang mau pergi dan meninggalkan aku. Pake berlagak khawatir lagi. Kalau nggak mau melihat aku tinggal sendiri di rumah, ya tetap di sini dong. "Kamu ngomong apa sih, Zein? Tega amat, kamu mau ninggalin aku. Mana, omongan kamu yang panjang lebar waktu itu. Katanya mau buat aku jatuh cinta. Dan akan berusaha bertahan sampai kontrak selesai," rengekku manja."Tyas....""Katanya kamu udah jatuh cinta sama aku. Bakal setia menanti, dan nunggu aku berubah pikiran dan jatuh hati. Mana?""Yas....""Atau jangan-jangan, yang Refan bilang itu bener, kamu cuman manfaatin aku doang, biar bisa hidup enak dengan morotin uang aku. Jahat banget sih, kamu.""Tyas.... ""Apa kamu tiba-tiba berubah pikiran karena ucapan Refan tadi? Kamu kan tau, dia cuman mau manas-manasin kamu aja. Udah pernah baca kan, kisah orang ketiga kek gitu? Dia itu pebinor, Zein. Pebinor.""Yas....""Aku nggak pernah kepikiran banding-bandingin kamu sama Refan. Teta
Read more
Part32
"Tapi, kalau Refan tetap kekeuh masukin aku ke penjara, gimana?"Et, tar dulu. Jadi, dia tadi cuman mau pamit ke penjara? Bukan balik ke rumah Ibunya, atau balikan lagi sama Bela? Set dah. Mana udah jujur sejujur jujurnya lagi. Pake acara meluk sampe ada yang berdiri. Dikerjain lagi aku sama si Zein. Hish... si Zein. Emang nggak pernah ya, biarin aku mempunyai harga diri sedikit pun. Aku melepaskan pelukan, dan langsung membetulkan posisi duduk. Sedikit menjauh, dan menghadap ke depan. "Kok di lepas?" Wajahnya kelihatan kecewa. "Geli, ada yang ganjel." Aku beralasan. "Nakal kamu, ya. Udah pintar godain suami." Dia memencet dan menggoyang-goyangkan hidung mancungku yang asli tanpa operasi plastik. "Jadi kamu takut nih, kalau Refan benar-benar masukin kamu penjara? Kalau takut, kenapa nggak nurutin permintaan dia aja?" Aku mulai berani menantang. Sedikit sewot. "Nggak lah, buat apa. Sampai kapanpun, aku tetap nggak akan nyerahin istri aku yang cantiknya kelewatan ini, balik lag
Read more
Part33
Aku terbangun pagi-pagi sekali, saat kulihat Zein sudah tak ada di sampingku. Kebiasaan! Dia pasti bangun lebih dulu, dan mengerjakan pekerjaan dapur, guna melayaniku. Aku langsung bergegas ke kamar mandi, saat ada yang terasa nyeri di bawah sini. Aw! Aku memeganginya. Terasa perih dan seperti ditusuk-tusuk. Dibawah guyuran shower yang membasahi sekujur tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki, kulihat ada noda darah di pahaku. Wah, aku terkejut. Rupanya rasa nyeri yang kurasakan tadi nyeri di perut akibat datang bulan. Baru teringat kalau di pertengahan bulan seperti ini memang adalah jadwalnya. Menang banyak dong si Zein tadi malam. Kami berkendara selepas sarapan. Zein fokus menyetir, sambil sesekali memandangiku dengan tersenyum. Mungkin merasa hepi, karena udah bolak-balik berhasil memaksaku untuk memberikan haknya. Maksa lho ya, maksa. Kami sampai di kantor, saat Bino lagi-lagi menunggu di ruanganku. Kali ini nggak berani lagi jalan beriringan dengan kami. "Naik darah, sa
Read more
Part34
"Ngapain sih, Zein? Lagi chat an sama Bela?" sinisku, sambil garuk-garuk piring kosong pake garpu. Ngilu, ngilu dah. Kesel! "Ya, enggak lah, Yas. Buat apa? Kan nomornya udah aku blokir," sahutnya dengan santuy. "Masa sih? Sejak kapan kamu blokir nomor dia?""Udah lama. Sejak aku tau dia punya pacar baru.""Beneran?" sindirku. "Sebelum kita nikah dong?""Bener, Yas. Kalau dia masih bisa ngubungi aku, ngapain juga dia repot-repot datang ke rumah, terus nanyakin alamat kantor. Kan tinggal nelpon, terus janjian di luar. Kaya kamu sama mantan waktu itu.""Oh, nyindir... Udah berani, ya? Udah nggak takut lagi sama aku?""Masih takut lah, Yas.""Takut apa? Takut aku masukin penjara?""Takut nggak dikasi jatah, Sayang."Hish... aku melotot. Dia tertawa. Manis banget lagi. "Trus, itu kamu ngapain?"Dia kembali menatap layar ponsel, kemudian mengetak-ngetik sesuatu dengan kedua jempol besarnya. Dih, jempol aja segede itu, apalagi... betisnya ya. "Lagi kepikiran nulis dialog. Mumpung ingat,
Read more
Part35
"Kenapa, Zein? Kok tumben nanyakin si sontoloyo? Mmm... jangan-jangan kamu cemburu lagi sama dia?" ujarku, penuh percaya diri. "Emang nggak boleh?" sahutnya dengan lembut. Tapi tetap aja terdengar ketus. Pasti itu hati lagi hareudang banget. "Tuh, kan bener. Zein cemburu. Pasti kamu udah cinta mati sama aku. Ya, khan?""Iya, aku cemburu. Abis, kamu deket banget sama dia.""Ish... seneng deh, kalau suami bayaranku ini lagi cemburu." Kucubit lengannya dengan jemari lentikku. "Oh, jadi sengaja, gitu?""Ya, enggak lah Zein. Childish banget. Iyyuh...""Kok malah seneng liat aku cemburu.""Iya, dong. Merasa di lope-lope in aja. Tapi nggak sama si sontoloyo juga kali, Zein. Merendahkan harga diriku banget," keluhku. "Lho, kenapa?""Ya kali aku sampe naksir sama dia. Udah jorok, jarang mandi, minta traktir terus. Iyyyuh... nggak masuk kriteria banget deh pokoknya."Kulihat Zein tertawa. "Iya, iya. Aku percaya. Tipe kamu kan yang ganteng kaya aku gini, kan?"Mmmm....he eh in ajalah. Biar
Read more
Part36
Dia telah selesai memakai celana pendek dan kaos tipis. Lalu duduk di sisi ranjang menghampiriku. "Duh, seksinya juragan istri," godanya. "Woiya dong.""Bagus banget bajunya. Ntar kalau udah gajian, aku beliin lagi yang kek gini ya. Buat gantiin yang dikasi Zahra kemarin.""Boleh. Makasih, Zein.""Kamu mau warna apa?""Terserah kamu aja, Zein.""Oh, oke!""Yuhuuu....""Lagi ngapain?"Mmm....modus dimulai..."Biasalah, lagi baca cerbung di kbm. Yang kalau udah lagi seru-serunya, di suruh pindah ke aplikasi. Kesel tau!" sindirku. Padahal aku tahu sendiri, bahwa seorang penulis itu perlu dihargai. Meskipun dia belum bisa menjual buku, tapi para readers bisa menghargainya dengan cara membeli koin. Nggak melulu minta next dan tamatin di efbi. Jangan kesindir ya, gaes. Secara keturunan ningrat kaya aku gini paling alergi sama yang gratis-gratis. Pengen suami aja, aku sampe rela beli. "Yas, Yas. Pelit amat sih jadi orang." Dia memencet dan menggoyang-goyangkan hidung mancungku. Tuh, mu
Read more
Part37
Duh, cepat sekali waktu berjalan. Tiba-tiba udah hari Senin aja. Saat aku dan Zein yang kemarin menginap di rumah Papi, langsung berangkat kerja dari sana. Zein selalu geleng-geleng kepala kalau mengingat aku ngerjain dia dua malam di rumah Papi. Aku godain, tanpa dia bisa melakukan apa-apa. Rasain. "Awas kamu, ya. Tunggu aja nanti seminggu lagi," godanya waktu itu. Aku terkikik geli. Ancamannya bikin aku ser-seran. Kira-kira dia mau ngapain lagi? Halah, paling begitu-begitu doang. Udah biasa kali, Zein. Hihihi... Senang deh, kalau liat Zein lagi ngambek. Lucu banget. Nggak nyangka, dengan sikapnya yang biasa kelewat dewasa, bakalan terlihat seperti anak-anak saat nggak dibeliin mainan. Au, ah. Pokoknya gemes aja. Seperti biasa dengan rangkulan tangan yang begitu mesra, kami berjalan memasuki gedung perkantoran. Zein mengantarku hingga ke ruangan, baru setelah itu keluar menuju meja kerjanya di ruangan yang berbeda.Hari ini tim editor bakalan kerja berat. Banyak naskah dari peme
Read more
Part38
Kuabaikan dulu pesan dari Refan. Aku langsung menghubungi si Bino sontoloyo. [Halo, Yas.][Bino!] teriakku. [Apaan.][Gerak cepat, Bin. Si Refan udah mulai ngancem aku.][Ngancem apaan?][Ya, ngancem mau laporin suami aku.][Lah, kapan?][Barusan.][Gini aja deh, kamu baik-baikin aja dia dulu. Ntar malam aku bilang sama Om aku buat bergerak. Jadwal dia udah ketebak kok.][Baik-baikin gimana? Ogah ah! Enak aja.][Buat ngulur waktu, Yas. Emang kamu mau, si Zein masuk penjara?][Ya enggak, lah. Tapi harus malam ini, ya? Aku nggak mau kalau Zein sampai salah paham, dan menganggap aku istri nggak setia.][Iya, lho, Yas. Iya. Aku langsung ngubungi Om aku nih.][Emang Om kamu pangkatnya apa, Bin?][Pramuka, Yas. Pramuka! Berisik banget sih.][Eh, dasar sontoloyo. Ketimbang nanya doang juga. Ya udah cepetan.][Iya, iya.].Aku kembali membuka chat yang dikirimkan Refan tadi. Gilak aja. Baru ditinggal sebentar aja udah banyak banget isi chatnya. Si alan tuh Si sontoloyo. Nyuruh-nyuruh aku bu
Read more
Part39
Apa-apaan ini si Zein. Mau main-main sama aku? Udah bosan gitu, mentang-mentang udah berhasil mendapatkan semuanya. Oke, kita lihat aja nanti, ya. Aku mengemudikan kembali mobil super mewahku yang nggak kalah keren, sama punya Bang Rohman. Pengacara kondang yang kerap menggunakan mobil sport lamborgithu. Dengan kecepatan penuh ala-ala pembalap dunia, aku melajukan kendaraan dengan emosi tingkat dewa. Biar cepat sampai dan bertemu dengan Zein di rumah. Benar aja, sesampainya di rumah, kulihat Zein sedang memanaskan air di atas kompor. Buat apa? Apa jangan-jangan dia sakit, terus masak aer, biar mateng. Maksudnya, buat mandi air panas. Bego banget, sih. Kalau mau mandi air panas kan bisa pakek shower di kamar mandi yang ada di kamar aku. Aku mendekat dan melihatnya menuang air panas tadi ke dalam cangkir. Oh, lagi menyeduh teh rupanya. "Zein," panggilku. Dia melihat sekilas, lalu kembali fokus mengaduk gula di dalam cangkir. "Buat aku mana?" Aku berbasa-basi. Dia diam saja, lalu
Read more
Part40
Aku mengubek-ubek gawai mahalku, kemudian menemukan nomor Zahra di sana. Untung kemarin aku sempat memintanya, kalau sewaktu-waktu diperlukan. Kan, bener. Butuh juga akhirnya. [Halo, Zahra?][Iya, Mbak?]Duh, mau berbicara apa nih? Langsung aja, atau basa-basi dulu? Akhirnya akupun memutuskan untuk berbasa-basi saja. Nanya kabar Ibu, kabar dia, ayam peliharaan udah gede apa belum, token listrik aman atau enggak, uang STM udah dibayar apa belum. Dan akhirnya... [Punya nomor Bela, nggak?][Ada, Mbak.]Oke fix. Aman! Setelah Zahra mengirimkan nomornya, aku langsung bergerak cepat. Tak lupa kuiisikan pulsa Zahra seratus ribu. Biasalah, horang kaya. Mana mungkin ngisi pulsa marebu. Gengsi dong. Aku juga nggak mau merasa berhutang budi sama adik ipar, yang mungkin hanya sementara ini. Yah, walaupun sekarang ini aku mulai menyukai sikapnya. Baik, sih. Akupun langsung menekan layar memanggil, berharap dia langsung menerimanya. [ Halo, selamat malam. Dengan siapa, dimana? Paswordnya, Buk
Read more
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status