Dia telah selesai memakai celana pendek dan kaos tipis. Lalu duduk di sisi ranjang menghampiriku. "Duh, seksinya juragan istri," godanya. "Woiya dong.""Bagus banget bajunya. Ntar kalau udah gajian, aku beliin lagi yang kek gini ya. Buat gantiin yang dikasi Zahra kemarin.""Boleh. Makasih, Zein.""Kamu mau warna apa?""Terserah kamu aja, Zein.""Oh, oke!""Yuhuuu....""Lagi ngapain?"Mmm....modus dimulai..."Biasalah, lagi baca cerbung di kbm. Yang kalau udah lagi seru-serunya, di suruh pindah ke aplikasi. Kesel tau!" sindirku. Padahal aku tahu sendiri, bahwa seorang penulis itu perlu dihargai. Meskipun dia belum bisa menjual buku, tapi para readers bisa menghargainya dengan cara membeli koin. Nggak melulu minta next dan tamatin di efbi. Jangan kesindir ya, gaes. Secara keturunan ningrat kaya aku gini paling alergi sama yang gratis-gratis. Pengen suami aja, aku sampe rela beli. "Yas, Yas. Pelit amat sih jadi orang." Dia memencet dan menggoyang-goyangkan hidung mancungku. Tuh, mu
Duh, cepat sekali waktu berjalan. Tiba-tiba udah hari Senin aja. Saat aku dan Zein yang kemarin menginap di rumah Papi, langsung berangkat kerja dari sana. Zein selalu geleng-geleng kepala kalau mengingat aku ngerjain dia dua malam di rumah Papi. Aku godain, tanpa dia bisa melakukan apa-apa. Rasain. "Awas kamu, ya. Tunggu aja nanti seminggu lagi," godanya waktu itu. Aku terkikik geli. Ancamannya bikin aku ser-seran. Kira-kira dia mau ngapain lagi? Halah, paling begitu-begitu doang. Udah biasa kali, Zein. Hihihi... Senang deh, kalau liat Zein lagi ngambek. Lucu banget. Nggak nyangka, dengan sikapnya yang biasa kelewat dewasa, bakalan terlihat seperti anak-anak saat nggak dibeliin mainan. Au, ah. Pokoknya gemes aja. Seperti biasa dengan rangkulan tangan yang begitu mesra, kami berjalan memasuki gedung perkantoran. Zein mengantarku hingga ke ruangan, baru setelah itu keluar menuju meja kerjanya di ruangan yang berbeda.Hari ini tim editor bakalan kerja berat. Banyak naskah dari peme
Kuabaikan dulu pesan dari Refan. Aku langsung menghubungi si Bino sontoloyo. [Halo, Yas.][Bino!] teriakku. [Apaan.][Gerak cepat, Bin. Si Refan udah mulai ngancem aku.][Ngancem apaan?][Ya, ngancem mau laporin suami aku.][Lah, kapan?][Barusan.][Gini aja deh, kamu baik-baikin aja dia dulu. Ntar malam aku bilang sama Om aku buat bergerak. Jadwal dia udah ketebak kok.][Baik-baikin gimana? Ogah ah! Enak aja.][Buat ngulur waktu, Yas. Emang kamu mau, si Zein masuk penjara?][Ya enggak, lah. Tapi harus malam ini, ya? Aku nggak mau kalau Zein sampai salah paham, dan menganggap aku istri nggak setia.][Iya, lho, Yas. Iya. Aku langsung ngubungi Om aku nih.][Emang Om kamu pangkatnya apa, Bin?][Pramuka, Yas. Pramuka! Berisik banget sih.][Eh, dasar sontoloyo. Ketimbang nanya doang juga. Ya udah cepetan.][Iya, iya.].Aku kembali membuka chat yang dikirimkan Refan tadi. Gilak aja. Baru ditinggal sebentar aja udah banyak banget isi chatnya. Si alan tuh Si sontoloyo. Nyuruh-nyuruh aku bu
Apa-apaan ini si Zein. Mau main-main sama aku? Udah bosan gitu, mentang-mentang udah berhasil mendapatkan semuanya. Oke, kita lihat aja nanti, ya. Aku mengemudikan kembali mobil super mewahku yang nggak kalah keren, sama punya Bang Rohman. Pengacara kondang yang kerap menggunakan mobil sport lamborgithu. Dengan kecepatan penuh ala-ala pembalap dunia, aku melajukan kendaraan dengan emosi tingkat dewa. Biar cepat sampai dan bertemu dengan Zein di rumah. Benar aja, sesampainya di rumah, kulihat Zein sedang memanaskan air di atas kompor. Buat apa? Apa jangan-jangan dia sakit, terus masak aer, biar mateng. Maksudnya, buat mandi air panas. Bego banget, sih. Kalau mau mandi air panas kan bisa pakek shower di kamar mandi yang ada di kamar aku. Aku mendekat dan melihatnya menuang air panas tadi ke dalam cangkir. Oh, lagi menyeduh teh rupanya. "Zein," panggilku. Dia melihat sekilas, lalu kembali fokus mengaduk gula di dalam cangkir. "Buat aku mana?" Aku berbasa-basi. Dia diam saja, lalu
Aku mengubek-ubek gawai mahalku, kemudian menemukan nomor Zahra di sana. Untung kemarin aku sempat memintanya, kalau sewaktu-waktu diperlukan. Kan, bener. Butuh juga akhirnya. [Halo, Zahra?][Iya, Mbak?]Duh, mau berbicara apa nih? Langsung aja, atau basa-basi dulu? Akhirnya akupun memutuskan untuk berbasa-basi saja. Nanya kabar Ibu, kabar dia, ayam peliharaan udah gede apa belum, token listrik aman atau enggak, uang STM udah dibayar apa belum. Dan akhirnya... [Punya nomor Bela, nggak?][Ada, Mbak.]Oke fix. Aman! Setelah Zahra mengirimkan nomornya, aku langsung bergerak cepat. Tak lupa kuiisikan pulsa Zahra seratus ribu. Biasalah, horang kaya. Mana mungkin ngisi pulsa marebu. Gengsi dong. Aku juga nggak mau merasa berhutang budi sama adik ipar, yang mungkin hanya sementara ini. Yah, walaupun sekarang ini aku mulai menyukai sikapnya. Baik, sih. Akupun langsung menekan layar memanggil, berharap dia langsung menerimanya. [ Halo, selamat malam. Dengan siapa, dimana? Paswordnya, Buk
Aku dan Zein masing-masing terdiam. Hatiku yang tadi berapi-api mulai meredam. Tak biasanya memang aku melihat Zein sampai seperti ini. Dia yang biasanya bersikap lebih dewasa dariku, tiba-tiba saja merajuk dan hampir mengeluarkan air mata. Apa ada sesuatu yang salah telah kuperbuat, hingga membuatnya jadi seperti ini. "Emang aku salah apa, Zein?" Aku memberanikan diri meraih tangannya. Dia tak menampik. Membiarkan tanganku tetap menyentuhnya. Lalu kutarik dia untuk duduk di sebelahku. "Kok jadi kamu yang marah?" tanyaku lagi. "Seharusnya kan aku. Kamu dong yang bujuk-bujuk aku. Aku masih emosi ini lho."Ah, elah. Emosi aja pamer. Cari perhatian banget aku. "Iya. Maaf," ucapnya kemudian. "Aku memang nggak punya hak untuk marah sama kamu, Yas.""Tuh, kan. Ngambek lagi. Kalau marah tu ngomong. Jangan diem aja," rengekku manja. "Memangnya, aku boleh marah sama kamu? Aku kan cuman suami bayaran. Sampai kapanpun kamu juga nggak akan luluh dan jatuh cinta sama aku." Dia kembali membuan
[Oke. Aku percaya. Kali ini aku biarin dia. Anggap aja hadiah permintaan maaf karena udah pernah ninggalin kamu. So, kita impas, kan?][Mmm... makasih, sayang. Aku jadi makin cinta deh sama kamu. Dah dulu ya, sayang. Aku mau kerja dulu.][Oke, besok kita ketemuan ya? Aku akan jemput kamu di kantor.][Oke, babe. Kamu boleh dateng kapan aja kok ke kantor.] Kantor polisi maksudnya. Ya kali kamu bisa datang setelah masuk penjara malam ini. [Oke, bye.].Aku menepuk jidatku sendiri. Membayangkan hancurnya perasaan Zein mendengar kata-kata sialan itu. Dasar sontoloyo kurang ajar. "Kamu salah paham, Zein. Yang kamu dengar bukan kenyataan. Cuman sandiwara," bujukku."Mmm... aku tau. Semua yang kamu lakukan memang sandiwara. Termasuk pernikahan kita.""Zein! Kok kamu ketus gitu sih. Liat sini! Jangan buang muka kek gitu." Aku memegang pipi dan memutar kepalanya agar dia melihatku. Mata itu, kembali menatapku. Membuat bulu mataku kembali merinding disko. "Refan bakalan masuk penjara. Dia b
Akhirnya kesalah pahaman antara aku dan Zein sudah berakhir. Bukan Bela yang menghubungi dia. Tapi Zahra yang mempertanyakan langsung pada Zein. Zahra segan menanyakannya langsung sama aku. Apa karena takut pulsanya aku minta balik ya? Dasar si Bela bibit pelakor, bisa-bisanya dia langsung mengadu sama Zahra dan Ibuk, bahwa aku habis melabrak dan marah-marah sama dia. Terpaksa deh, aku minta maaf ke Zein dan menyuruhnya untuk menyampaikan sama Ibuk, bahwa itu semua kesalah pahaman. Iyyuh! Merendahkan diriku banget. Untung malam itu Zein pinter, langsung mengambil hatiku dengan sikap manisnya. Kalau enggak, langsung aku samperin aja itu si minus akhlak. Bikin aku yang sehat walafiat ini jadi naik darah dibuatnya. ."Tengkyu banget, ya Bin. Kamu tuh emang bespren aku. Nggak sia-sia aku ngandalin kamu buat tugas yang satu ini," pujiku, saat makan siang di kafe biasa di seberang kantor. Dengan suamiku juga tentunya. "Yoi, Yaz. Gini-gini aku juga punya hati kali, Yas. Mana tega aku lia