All Chapters of Aku Istri Kekasih Sahabatku: Chapter 51 - Chapter 60
182 Chapters
Bab 51 Aku dan Aksa tidak berjodoh
Aku di temani oleh kesunyian malam. Biasanya jam delapan malam, di desa ini sudah jarang orang masih keluyuran. Rumah yang berjarak tidak dekat antara satu dengan yang lain membuat kondisi malam terlihat sedikit horor. Lampu yang terpasang di jalan untuk menerangi desa, tidak banyak. Untung saja banyak rumah-rumah yang memasang lampu di teras. Aku berdiri untuk mengambil handphone yang ada di atas meja. Di perjalanan pulang tadi, Utami kembali membalas pesanku. Hanya saja aku tidak ingin membuka. Sesungguhnya saat ini aku sangat malas untuk balas berbalas pesan dengan Utami. Apalagi membahas tentang pertunangannya dengan Aksa. Aksa adalah suamiku. Dia menjadi lelaki asing pertama yang aku cintai. Bagaimana mungkin aku mencarikan baju untuk pertunangannya? Dunia ini sungguh sangat aneh. Sebelum melihat notofikasi lain, aku membaca terlebih dahulu pesan dari Utami. Pesan ini masuk saat aku di dalam bus tadi. Ini juga pesan terakhir yang dikirimkan Utami untukku hari ini. [Kamu mau ng
Read more
Bab 52. Lebih Baik Sendiri
*** Aku sudah dua hari berada di kampung. Aku sengaja menonaktifkan handphone. Tidak ingin jika nanti Utami menghubungi melalui panggilan biasa. Dia pasti heran, kenapa aku tiba-tiba hilang kabar. Terserah, saat ini aku sedang tidak peduli. Sekarang perasaanku lebih penting untuk dijaga. Jangan sampai hanya karena ingin membuat Utami bahagia, aku rela menyakiti diri. Aku sedang duduk di rumahan kecil yang digunakan oleh ayah saat ingin beristrahat. Di sini, aku bisa melihat jelas pemandangan desa karena lokasi yang berada di ketinggian. Tadi, selesai sholat shubuh, ayah mengajaku untuk ke kebun. Aku langsung menyetujui, karena ingin jalan-jalan, meskipun harus berjalan kaki sangat jauh. Aku ingin menghirup udara segar dan sejenak menjauh dari hiruk pikuk kota. Satu jam lebih perjalanan, kami akhirnya tiba. Jika memakai kendaraan motor pasti akan lebih cepat. Hanya saja, jalan menuju kebun yang bebatuan besar, tidak bisa di lewati oleh motor dan sepeda. Aku ke sini hanya berdua denga
Read more
Bab 53 Telepon dari Utami
Satu jam lebih perjalanan. Aku dan ayah akhirnya tiba di Rumah. Aku salut dengan ayah yang sepertinya tidak merasakan capek. Padahal perjalanan kami pulang pergi ke kebun sangat jauh dan harus di tempuh dengan kaki. Aku yang usianya masih kepala dua saja, sudah merasakan sangat lelah. Usia ayah sudah lima puluh tahun lebih. Jika melihat umur, harusnya yang capek itu ayah, bukan aku. Mungkin karena ayah sudah terbiasa jalan kaki sejauh ini, jadi tidak merasakan capek. “Kalian sudah datang. Yuk, masuk. Ibu sudah buatkan sarapan.” Sambil berdiri di pintu, ibu berkata saat melihat kami. “Ayah pulang pasar dulu baru makan. Takutnya kesiangan bawa hasil kebun di Pasar,” ujar Ayah setelah minum. Beliau langsung mengangkat kembali karung yang berisi banyak tomat. “Ayah tidak makan dulu? Sedikit saja, untuk pengganjal perut,” tutur ibu mencegah ayah yang sudah ingin berjalan. “Nanti saja, Bu. Kalau ayah ke pasar kesiangan. Takutnya tidak ada penjual yang mau membeli hasil kebun ayah.” Sete
Read more
Bab 54 Menyendiri di Bahwah Air Terjun
“Iya, Bu. kemarin aku tidak sempat izin ke Utami,” ujarku. Tangan kembali memasukan bubur ayam ke dalam mulut. “Loh kenapa? Pantas saja Utami tidak tahu kalau kamu sudah di sini. Tidak boleh begitu, Nak. Dia kan teman kamu.” Ibu berkata dengan pelan sambil melihatku. “Iya, Bu!” Aku tidak ingin menjawab panjang dan melebar. Ibu bisa saja akan menduga jika kami sedang ada masalah. Meskipun dugaannya benar. Emm, lebih tepatnya aku yang punya masalah bukan Utami. Kalau Utami, dia sekarang justru sedang merasa senang. Karena tidak lama lagi akan bertunangan dengan Aksa. Siapa yang tidak bahagia, jika lelaki yang dicintai mengatakan ingin menjalin hubungan lebih serius? Kini tidak ada lagi percakapan antara aku dan ibu. Aku memilih diam dan ibu hanya melihatku yang sedang makan. Hingga makanan yang ada di piring habis, aku pun minum untuk melepas dahaga. Sekaligus ingin membersihkan sisa makanan yang masih ada di mulut. “Bu, aku keluar dulu ya!” pamitku pada ibu yang masih berada di
Read more
Bab 55. Keraguan Ayah dan Ibu
Aku duduk di sini kurang lebih satu jam. Aku akhirnya berdiri untuk pulang, tidak ingin membuat ibu panik dan mencariku. Biasanya ketika aku keluar rumah lebih dari satu jam, ibu pasti mencari. Beginilah jika menjadi anak tunggal. Kasih sayang ayah dan ibu hanya berfokus padaku. Kaki kini melangkah. Aku kembali terpesona dengan udara segar yang ada di desa. Jika berjalan di kampus jam begini, wajah sudah akan gosong. Memang sih, aku tak perlu takut dengan kulit yang gosong, karena tidak akan nampak. Kulitku yang gelap akan tetap berwarna sama. Saat membuka pintu rumah, ternyata ibu dan ayah sedang duduk di ruang tamu. Aku juga selalu mengagumi kebersamaan ayah dan ibu. Saat ibu sedang duduk sendiri, biasanya ayah akan menghampiri. Begitu pun sebaliknya. Tetap terlihat mesra meskipun usia pernikahan mereka sudah terbilang lama. “Nak, duduk di sini. Ibu dan ayah ingin bicara.” Ibu berkata lembut sambil melambaikan tangannya. Lalu tangan itu menyentuh tempat duduk. Lewat gerakan tang
Read more
Bab 56. Berbicara dengan Utami
Beberapa detik terdiam, bibir pun tergerak untuk berkata. “Oh iya, Ayah. Aksa pernah cerita ke aku. Katanya ayah dan ibu menelponnya. Dia tidak angkat karena hendphonennya sedang dalam mode diam. Jadi Aksa nggak tahu kalau ayah dan ibu menelpon.” Aku berkata dengan tenang sambil tersenyum pada ayah. “Kenapa tidak menelepon balik saat tahu kami menghubunginya? Kami ini orangtuamu, Nak. Sebenarnya sikap Nak Aksa kurang sopan.” Aku diam tak berkutik. Memang benar yang di katakan ayah. Alasanku hanya membuat ayah dan ibu semakin curiga dengan pernikahan kami. Tetapi tidak mungkin aku tidak menanggapi. Hal itu juga akan membuat tanya dalam benak mereka. “Benar yang dikatakan ayahmu, Nak. Kami memang tidak mengharapkan untuk di hormati. Kami memahami, mungkin Nak Aksa tipe anak yang agak pendiam dan sulit beradaptasi dengan orang baru. Kami memberitahu kamu tentang ini agar kamu bisa cerita ke Nak Aksa. Jangan sampai dia melakukan ini juga ke orang lain. Kalau panggilan sudah lebih dari t
Read more
Bab 57. Pesta Pertunangan
*** Kini langkah kaki memasuki ruangan yang dipakai sebagai tempat pesta pertunangan Aksa dan Utami. Tempat ini di hias dengan sangat indah. Hampir di setiap sudut ruangan terdapat bunga yang beraneka warna. Ruangan ini diterangi banyak lampu indah yang membuat nuansa terlihat megah. Sedari tadi aku mencari kursi. Namun, tidak menemukan. Mungkin pesta pertunangan ini di desain seperti ini, tidak ada kursi yang digunakan untuk duduk. Semua tamu undangan tetap berdiri. Aku heran dengan pesta yang di buat oleh para orang kaya. Kenapa kebanyakan tidak menggunakan kursi? Padahal tidak semua orang bisa tahan untuk lama berdiri. Tak semua orang juga bisa makan dengan nyaman sambil berdiri. Tetapi, ya sudahlah. Mungkin memang desain acara seperti ini yang dikatakan elegan. Semua tamu undangan yang hadir nampak berkelas, terlihat dari pakaian yang mereka gunakan. Mungkin hanya aku yang datang dengan pakaian sederhana tanpa make up di wajah. Aku hanya memakai gamis polos berwarna maron denga
Read more
Bab 58. Suamiku Untuk Sahabatku
Pandangan Utami tertuju padaku. Sedangkan Aksa, dia diam dan matanya melihat ke arah lain. Aku tidak bisa menebak raut wajah Aksa saat ini. Mungkin dia ingin marah, tetapi tidak bisa. Karena sekarang adalah acara yang sangat sakral untuknya. “Yang bernama Mentari Delisia mohon segera ke atas panggung.” Pembawa acara kembali mengulang kalimat yang sama. Aku menarik napas pelan, lalu menghembuskan. Aku juga memejamkan mata sejenak. Lalu dengan langkah pelan mulai berjalan. Tak ingin membuat orang menduga-duga apa yang sedang terjadi. Aku melangkah sambil menundukan kepala. Jika bisa, saat ini aku ingin menyembunyikan wajah! Aku terus berjalan. Hingga langkah sudah dekat dengan panggung, aku langsung mengangkat wajah dan tersenyum lembut pada Utami. Dia juga ikut mengukir garis indah di bibir. Aku sengaja tidak ingin melihat wajah Aksa. Aku kini sudah berdiri di dekat Utami. Acara telah di mulai. Orangtua Utami memberi sepatah kata, hingga dua orang asing yang tidak pernah aku lihat j
Read more
Bab 59. Mencari Apartemen Aksa
Kini aku telah berada di Rumah. Aku pulang menggunakan taksi. Setelah pesta pertunganan selesai, aku langsung meminta izin pada Utami dan orangtuanya untuk pulang. Aku ingin tidur cepat karena mulai besok akan memata matai Aksa. Rencanaku sudah bulat. Aku harus tahu dimana Apartemen Aksa. Karena hanya di sana, aku bisa bicara dengan puas pada Aksa. Jika di rumah, aku takut suara kami di dengar oleh Pak Candra atau para asisten. Tidak mungkin kami bisa bicara baik-baik. Firasatku mengatakan jika Aksa akan meluapkan segala kesal karena aku hadir di pesta pertunangannya. Detik jam terus berputar. Hari telah berganti. Perkuliahan baru saja selesai. Aku juga sudah selesai sholat ashar. Tanpa menunggu lama, aku langsung memesan kendaraan online yang bisa ditumpangi. Aku rasa uang lima ratus ribu di dompet, sudah cukup untuk membayar biaya kendaraan yang mau mengantarku mengikuti Aksa. Rencananya aku akan mengikuti Aksa dari belakang. Sedikit grogi karena ini pertama kali aku memata-matai s
Read more
Bab 60. Aku Juga Bisa Marah
Aku masih diam tak berkutik, hanya memandang mata Aksa yang melihatku tajam. Ya Allah, kuat kan aku untuk berbicara dengan laki-laki ini! Gerakan bibir ini, agar fasih berucap! Aku sudah berada di hadapannya. Tidak mungkin pulang sebelum mengeluarkan semua gundah dihati. “Dari mana kamu tahu apartemenku? … Dan kenapa kamu datang ke sini?” Aksa kembali berkata. Nada suara yang pelan namun penuh ketegasan. Tatapannya masih sama, penuh amarah. Aku harus bisa. Jangan sampai Aksa menutup pintu dan aku tidak punya kesempatan lagi untuk berbicara dengannya. Apalagi dia sudah tahu kalau aku mengetahui tempat tinggalnya yang lain. “Aku ingin bicara serius dengan kamu, Aksa. Ini penting dan semua harus kita bicarakan,” tuturku sambil menatap Aksa. Aku tidak boleh lemah di hadapan lelaki ini. Jika itu terjadi, aku yakin dia akan puas menertawaiku dalam hatinya. “Kita? Aku tidak ingin berbicara denganmu. Lebih baik sekarang kamu pulang! Aku tidak punya waktu berbicara dengan perempuan seperti
Read more
PREV
1
...
45678
...
19
DMCA.com Protection Status