All Chapters of Menikah dengan Tetangga Jutek: Chapter 31 - Chapter 40
136 Chapters
Bab 17a
Langkah Gilang terhenti saat melihat Daniar, sekretaris atasannya, sedang bersolek di depan meja kerjanya. Wanita itu terbiasa merapikan dandannya di meja kerjanya ketika baru datang. Tak seperti staf lainnya, Daniar memang terlihat paling kinclong. Selain Sebagian besar karyawan di situ adalah lelaki, karyawati lainnya memang tidak terlalu heboh seperti Daniar dalam bersolek. Di dekatinya meja sang sekretaris itu. Sepertinya, ada kesempatan untuk mengorek keterangan dari pacar Fajar ini. Apakah status mereka masih berpacaran, ataukah sudah putus!“Siapa bilang kami putus?” Daniar terkekeh begitu mendengar pertanyaan dari Gilang. “Maksud kamu apa?” Gilang menggebrak meja Daniar. Gadis dengan rambut sedikit kecoklatan karena diwarnai yang selalu modis dicatok hingga ujungnya kruwel-kruwel itu terlonjak kaget. “Hei! Kamu kenapa, Lang?” teriak gadis itu saat Gilang hendak menjauh.“Nggak ada!” Gilang meninggalkan meja Daniar begitu saja. Menyesal juga dia menumpahkan kekesalan barus
Read more
Bab 17b
“Agak jauh Mbak. Sharing sama tetangga kampung. Kebetulan dia kerja di Jakarta juga,” jawab Sekar. Untungnya, Gilang memang tetangganya. Paling tidak, jika bukan tetangga, dia juga bisa mengakui sebagai teman satu SMA. Tidak bohong kan?“Temanmu nggak bisa masak juga?” Ups! Hampir saja Sekar mau bilang, kalau temannya cowok. Untung belum kelepasan. “Masak sekarang gampang, Sekar. Kamu tinggal pengen menu apa, bumbunya sudah banyak dijual,” ujar Tini serius. “Maksudnya, bumbu yang dipasar itu ya, Mbak? Yang dikemas di kantong plastik?” Sekar ingat bumbu jadi kemasan plastik yang sering dibawa ibunya dari pasar. Ada bumbu gule, bumbu kare, atau apa aja. “Itu bisa. Tapi, itu tidak awet. Yang awet banyak di supermarket.” Tini merogoh saku roknya, lalu mengeluarkan hapenya. Setelah mengusap layar itu dan menemukan apa yang dicari, Tini menunjukkan tampilan hp nyapada Sekar. “Pake bumbu kayak gini saja bagi pemula. Ini bumbu anti gagal.” Tini tersenyum penuh percaya diri. Sekar mangg
Read more
Bab 17c
Gilang diam-diam mengikuti Daniar yang baru saja meninggalkan kantor. Gilang sudah siaga di atas motornya saat Daniar hendak naik ke taksi online dari depan lobi kantornya. Motor yang dikendarai Gilang mengikuti taksi itu, hingga berhenti di pusat perbelanjaan yang tak jauh dari kantornya. Untungnya, ada parkir motor di pelataran pusat perbelanjaan. Gilang memarkir begitu saja motornya di area kosong, karena Gilang ingin segera cepat membuntuti Daniar yang masih tampak berdiri menunggu seseorang. Dengan langkah hati-hati, Gilang mendekat ke arah pintu utama pusat perbelanjaan itu di mana Daniar berdiri. Posisinya sengaja membelakangi Daniar meskipun ekor matanya masih terus mengawasi perempuan dengan dandanan modis itu. Hingga tak lama, terlihat pria yang sudah familiar di mata Gilang menghampiri sekretaris atasannya itu. Ada rasa kesal saat Gilang melihat lelaki itu. Lelaki yang selalu beruntung menjadi saingannya. Hingga dia pun rela merogoh kocek untuk melunasi hutang ibunya Se
Read more
Bab 18a
Gilang menatap Sakina. Begitu pula sebaliknya. Pemuda itu terdiam. Tapi, kemudian ingat kalau dia harus segera pergi sebelum Fajar melihat keberadaannya. Dia ingat kalau Fajar sangat posesif. “Sekar, ayo kita pergi!” Gilang menarik tangan Sekar. Namun, wanita muda itu menepiskannya. Sekar masih menatap Sakina dengan nanar. Marah bercampur kesal. Karena wanita itu masih saja berhubungan dengan suaminya. “Kin, kita duluan,” pamit Gilang. Dia sudah melihat Fajar yang sudah beranjak dari duduknya. Sepertinya lelaki itu memahami ada kegaduhan di luar restoran. “Tunggu!” Fajar sudah berdiri di ambang pintu restoran. Lelaki itu berjalan mendekat. “Selamat ya atas pernikahan kalian. Kamu menang,” ujar Fajar sambil menepuk pundak Gilang. Tentu saja Gilang gelagapan. Sakina di depannya juga kebingungan. Gilang? Menikah? Dengan siapa? Kalian? Berarti orangnya ada di sini. Lalu siapa?Sakina menatap Gilang, Fajar dan Sekar bergantian. “Kamu sudah menikah, Lang? Kok kamu nggak bilang? Sama
Read more
Bab 18b
Gilang menghembuskan nafasnya dengan kasar. Untung nasi goreng pesanan mereka sudah matang. Kalau tidak, Gilang akan semakin lama terjebak dalam mencari argumentasi yang tak berujung. Usai menyantap makan malam, keduanya jalan beriringan menuju parkir motor. “Kamu yakin tidak jadi belanja?” Gilang mengingatkan sebelum mereka pulang. Sekar menggeleng lemah. Dia memang tidak mau belanja bahan makanan bareng Gilang. Itu terlalu ribet. Dia pun malas mendengarkan komentarnya jika nanti Sekar terlihat bodoh di mata Gilang. Lelaki itu bakal tak segan untuk membullynya. Parkiran itu sudah sangat penuh dibanding saat Gilang masuk tadi. Padahal hari semakin malam, dan itu bukan hari libur. Gilang terpaksa menggeser-geser motor lain agar motornya bisa keluar. Memang kejam Jakarta!“Pegangan, Sekar!” perintah Gilang saat hendak menjalankan motornya.Kedua tangan Gilang terulur ke belakang mencari tangan Sekar. Lalu dilingkarkan kedua tangan Sekar ke pinggangnya. Gilang pun menggeser tubuhnya
Read more
BAB 19a
“Mas, ka—kamu mau apa?” tanya Sekar saat Gilang sudah semakin mendekat mengikis jarak ke arahnya. Sekar bergeser mundur. Gilang sedang marah. Sekar tak ingin memberikan hak Gilang jika lelaki itu masih marah. Semakin Sekar mundur, lelaki itu semakin maju. “Jangan, Mas....” Sekar mendorong dada bidang itu menjauh darinya. Tapi, tenaga Sekar tak kuat untuk benar-benar membuat pria itu menjauh darinya. Mata perempuan itu menatap Gilang dengan tajam, meski dalam hatinya dia merasa takut. Sementara, sorot mata Gilang semakin menunjukkan kemarahan. “Kamu menolakku, ha?” bisik lelaki itu. Wajah pria itu semakin mendekat. “Mas, .jangan lakukan. Kamu sedang marah. Ini ibadah. Aku tak mau dipaksa,” cicit Sekar. Tangannya masih berusaha mendorong tubuh Gilang menjauh. Tapi, pria itu bergeming. Dia tak memedulikan ucapan Sekar. Dia terus maju dan mendekat, hingga mengikis jarak antara keduanya. “A—ku tidak mau kalau masih ada Sakina dalam pikiranmu,---” Lirih Sekar berucap. Mendengar kat
Read more
Bab 19b
“Tapi secara agama kamu istriku. Aku berhak meminta hak darimu. Kecuali kalau kamu mau dilaknat malaikat sampai pagi! Aku yang berhak menentukan. Bukan kamu!” Geram lelaki itu berkata. Sekar yang sudah pindah duduk di kursi belajar itu menoleh. Ia membalas tatapan tajam lelaki itu, meski dalam hatinya sudah tahu, tak pantas dia membalas tatapan itu. Tapi, hatinya sudah kesal. Pria itu terlalu arogan. Apakah dia harus terus-terusan mengalah pada pria itu? Satu jam berlalu. Sepasang manusia berlainan jenis itu masih bergeming di tempatnya masing-masing. Gilang masih duduk di ranjang. Sementara Sekar masih duduk di kursi belajar. Sesekali Sekar menyusut lelehan air matanya. Dia tak kuat lagi menahan rasa sakit itu. Sisi lain hatinya mengakui memang dia yang salah. Dia yang memulai perdebatan itu. Tapi, sisi hati lainnya, dia menginginkan Gilang juga mengakui kesalahannya. Akankah pernikahan seumur jagung ini harus kandas karena ego masing-masing? Gilang sesekali melirik ke arah Sek
Read more
BAB 19c
Gilang terbangun saat suara azan subuh sayup terdengar. Tangan kirinya mencari-cari sosok yang semalaman berada dalam dekapannya. Rasa bersalah membuatnya sulit mengatakan maaf, dibayarnya dengan sentuhan fisik, berharap Sekar akan luluh. Mata pria itu mengerjap. Dipindainya kamarnya. Tak ada Sekar. Padahal, semalaman dia tertidur sambil memeluk gadis itu. Kapan Sekar bangun? Gilang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi saat Sekar hendak keluar. “Bajunya di mana dijemur?” tanya Sekar. Gilang tertegun sejenak. Raut muka Sekar seperti mereka tak pernah terjadi apa-apa. Lalu, pandangan Gilang tertuju pada ember yang penuh dengan cucian yang sepertinya sudah selesai dicuci. “Nanti biar aku yang jemur habis dari masjid. Tempat jemurnya ada di atas,” ujar Gilang.Sekar hanya mengangguk. “Harusnya kamu nggak usah nyuci sepagi ini. Kita bisa nyuci bareng-bareng nanti,” tambah Gilang saat dia selesai wudhu, sambil mengelap wajahnya yang basah. Lelaki itu kemudian ganti dengan baju
Read more
Bab 20a
Sepulang kerja, aku langsung menuju tempat kerja Sekar. Sebenarnya, aku sejak dulu sudah tahu kantor dan kos-kosan Sekar, karena Bulik Ndari, tetanggaku sekaligus ibunya Sekar sudah sejak bocah itu diterima bekerja di Jakarta selalu mewanti-wantiku untuk mengawasi. Dalam hati, dongkolnya bukan main. Bocah ini sangat merepotkan bagiku. Tapi gimana lagi, ibunya Sekar sudah kayak orang tuaku sendiri juga. Ini semua gara-gara persahabatannya dengan mamaku. Mengenai perasaanku ke Sekar? Aku juga bingung. Dia sudah kuanggap sebagai adikku. Aku tak pernah memiliki rasa apapun padanya. Tapi, memang mama dan kakakku reseh ingin menjodohkanku dengannya sejak lama. Sebenarnya, rencana itu sejak lama tak pernah kutanggapi. Umurku masih muda. Aku tak ingin terlibat cinta di usia remaja. Apalagi, dalam hatiku tertambat rasa pada gadis lain. Sakina, gadis paling cantik dan jadi primadona di sekolah. Beruntungnya lagi, saat aku kuliah di Bandung, rupanya dia pun kuliah di bumi priangan. I
Read more
Bab 20b
“Ngga ada. Aku pengen konsultasi aja,” ujarku ngeles sambil menggeleng. Aku takut kalau aku mengatakan yang sesungguhnya, dia akan menolak ajakanku. “Itu namanya buang-buang uang. Kalau nggak sakit, ya nggak usah ke klinik. Di Jakarta itu apa-apa mahal.” Nah kan? Apa aku bilang. Aku malah dinasehatinya. Padahal, aku sudah lebih lama dan berpengalaman di sini. Aku menatap gadis itu setelah menghentikan sejenak tusukan siomayku. Gadis itu mengunyah siomaynya sampai pipinya menggembung. “Ke klinik nggak perlu menunggu sakit dulu. Mencegah lebih baik dari mengobati,” ujarku enteng. Segera kulanjutkan menusuk siomay dengan garpu. Siomayku sudah hampir habis. Ingin rasanya nambah, tapi tidak! Nanti perutku bisa penuh. Aku ingin mengajak Sekar jajan makanan yang lain lagi setelah dari klinik. Sebenarnya, rencanaku mengajak Sekar ke klinik sudah lama. Sejak aku memutuskan akan menikah dengannya. Aku sebenarnya yakin, Sekar itu cantik kalau terawat. Tapi, gimana mau terawat kalau merawat
Read more
PREV
123456
...
14
DMCA.com Protection Status