Semua Bab Gairah Terlarang Calon Mertua: Bab 61 - Bab 70

​Denzel berdiri tegak, menjadi perisai bagi Audrey. Pelukannya pada bahu Audrey sangat kuat, menunjukkan keseriusan dan sisi posesifnya pada wanita itu. Kata-kata Denzel pada Velove, yang membongkar pengkhianatan Velove dengan Trustin, membuat Audrey terkejut sekaligus lega. Denzel telah memilih dirinya dan tidak lagi menyembunyikan kebenaran, bahkan di hadapan Velove.​Velove kini terdiam, wajahnya yang semula penuh kesedihan manipulatif kini tampak memerah menahan malu dan amarah. Matanya menatap tajam ke arah Audrey, menyiratkan kebencian yang mendalam.​Audrey, meskipun berada di balik perlindungan Denzel, memilih untuk tidak diam. Ia melangkah sedikit ke samping Denzel, membiarkan Velove melihat cincin janji di jarinya yang berkilauan.​"Nyonya Velove," Audrey memulai, suaranya tenang namun mengandung kekuatan. "Saya menghormati peran Anda sebagai Ibu Aiden. Tapi tolong, jangan gunakan anak Anda sebagai senjata untuk mengancam pria yang sudah membiayai hidup Anda selama bertahun

​Tatapan Aiden kini tertuju pada Audrey. Matanya memohon dan menuduh secara bersamaan. "Kamu boleh marah dan balas dendam padaku Audrey, tapi jangan hancurkan keluarga ku.. Selama ini Papa dan Mama baik-baik saja, mereka tidak pernah bertengkar.. Tidak mungkin kalau tiba-tiba mereka harus berpisah! Kamu boleh membalas ku, atau sebaliknya..." Aiden menjeda kata-katanya, memperhatikan manik mata Audrey bergantian, seolah mencari sisa-sisa cinta lama mereka."Sebaiknya kita lanjutkan pertunangan kita, aku akan membuat Stella pergi dan gak muncul dihadapan kita lagi, aku janji gak akan lagi menyakitimu, bagaimana?!" suaranya pelan, terdengar penuh harap, sebuah tawaran terakhir untuk kembali ke zona nyamannya.​“Aiden! Jangan keterlaluan!” teriak Denzel, amarahnya hampir meledak melihat Aiden menawarkan hal gila itu.​Sementara Audrey kini menatap mata Aiden yang benar-benar terluka. Rasa bersalah sempat menyentuhnya, tetapi ia mengingat air mata yang ia tumpahkan karena pengkhianatan Aid

Audrey segera turun dari taxi begitu mobil itu berhenti di depan pintu lobi apartemennya. Jantungnya berdebar kencang, memacu adrenalin, bukan lagi karena rasa takut pada Giselle, melainkan karena rasa bersalah pada Denzel. Kaki-kakinya seolah memiliki energinya sendiri, mendorongnya untuk berjalan lebih cepat. Audrey tahu betul Denzel mengikutinya, tetapi tetap berjalan menjauh adalah satu-satunya pelarian yang ia miliki, sebuah tindakan yang mungkin sia-sia, namun penting untuk menegaskan bahwa ia masih memiliki kendali atas keputusannya. Walaupun Audrey tahu ia telah menghancurkan rencana Denzel dan menolak komitmen mereka di depan umum.​'Denzel, maaf... Aku nggak bisa. Mungkin kita memang harus berakhir... Aku nggak cukup berani menghadapi mereka, aku sudah cukup membalas Aiden, aku gak ingin kamu mendapat banyak masalah saat kita bersama,' batin Audrey. Perkataannya di depan media tadi, meskipun menyakitkan Denzel, adalah perlindungan diri yang ia pilih untuk dirinya sendiri da

Denzel memeluk tubuh Audrey begitu erat. Napasnya masih terasa memburu, menyentuh rambut Audrey, tetapi amarahnya telah mereda, digantikan oleh kepuasan yang mendalam dan ketenangan yang begitu posesif. Tubuh mereka berkeringat dan saling menempel, berbagi kehangatan setelah melepaskan amarah yang bercampur gairah brutal. Denzel sama sekali tidak berniat untuk melepaskan Audrey, seolah takut wanita itu akan lenyap jika ia melonggarkan pelukannya. ​"Audrey.. Jangan lakukan ini lagi.." lirih Denzel, suaranya serak dan lembut. Dia mencium puncak kepala Audrey, menikmati aroma tubuh wanitanya. ​Audrey menyandarkan kepalanya di dada Denzel yang atletis. Jari-jarinya mengusap lembut bekas cakaran yang tidak sengaja ia tinggalkan di dada pria itu. Ia merasa lemas, emosinya terkuras habis, tetapi hatinya terasa aman dalam pelukan Denzel. ​"Kenapa kamu harus melakukan semua ini? Kenapa kamu marah.." bisik Audrey, suaranya sangat kecil, hampir tidak terdengar. ​Denzel mengeratkan pelukannya

​Saat sinar matahari mulai masuk melalui tirai jendela apartemen, dua tubuh masih tampak terikat dalam pelukan erat di bawah selimut. Tapi mata Denzel akhirnya terbuka lebih dulu, ia terbangun, bibirnya tersenyum memperhatikan Audrey. Denzel menarik wanita itu lebih dekat, mencium lembut puncak kepalanya, menghirup aroma rambutnya yang khas.Kepuasan setelah dua kali menghukum Audrey dengan penuh gairah membuat Denzel merasa dunia ini benar-benar miliknya.​Audrey akhirnya menggeliat, perlahan membuka matanya yang sayu. Ia menatap dada Denzel, menyentuh kulitnya yang hangat dan berotot. “Denzel..”​"Sudah bangun, baby?" tanya Denzel, suaranya dalam dan serak, penuh kelembutan yang kontras dengan kekejaman yang ia tunjukkan di ranjang.​"Hmm..." Audrey bergumam, ia mendongak dan mencium dagu Denzel. "Aku lapar. Dan.. Tubuhku sakit semua.. Kamu kejam.."​Denzel tertawa kecil, suara tawanya rendah dan seksi. "Itu hukuman yang pantas karena mencoba lari dari suamimu. Dan tubuh yang sakit