บททั้งหมดของ Baby CEO: Kehamilan yang Tak Diinginkan: บทที่ 11 - บทที่ 20
56
11. Penawaran Bernada Ancaman
“Dia yang menyentuhmu semalam?” tanya Arvin saat tinggal berdua dengan Eva di ruang istirahatnya, lantai tiga rumah sakit Mitra Sejahtera. Eva memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam demi menjaga kewarasannya yang tak seberapa. Melihat Hans berkeliaran di sekitarnya saja sudah membuat masalah, terlebih pria itu dengan gamblang mengakui perbuatan biadabnya di depan Arvin. “Ev, aku bisa membantumu mengurus masalah itu. Meskipun—” “Tidak perlu.” “Eva, aku ikut bersalah karena tidak bisa melindungimu. Seandainya semalam aku mengantarmu, hal buruk itu tidak akan terjadi.” “Tidak ada seandainya dalam hidup ini, Dokter. Anda tidak perlu merasa bersalah untuk hal itu. Bahkan, jika Anda tetap bersama saya, mungkin sekarang Anda ikut menerima akibatnya.” Arvin melepas kacamata tebal dan meletakkannya di meja dengan sedikit keras, mulai frustrasi bicara dengan gadis keras kepala yang berwajah dingin di hadapannya. “Apa yang terjadi antara saya dan laki-laki itu, tidak ada hubungannya de
Read More
12. Bagaikan Ular Berbisa
Warning! Adult Content! “Jadi, maksudmu aku harus mendekati Eva untuk mengawasi gerak-geriknya?” tanya Liliana, gadis dengan mini dress ketat warna merah yang menggoyangkan gelas anggur berisi cairan merah keunguan di tangannya. “Betul. Aku ingin tahu dia hamil atau tidak.” Tawa sumbang terdengar detik berikutnya. Liliana menghabiskan minuman dengan kadar alkohol cukup tinggi itu dalam sekali teguk. Ada rasa cemburu yang menggugah emosinya karena Felix membicarakan wanita lain. “Kamu pikir aku akan bersedia melakukannya? Naif sekali pemikiranmu itu.” “Kamu tidak akan bisa menolaknya, Li. Aku tahu itu.” “Siapa bilang? Kita tidak ada hubungan apa pun sekarang. Aku tidak akan menuruti kehendakmu seperti dulu.” Liliana meletakkan gelasnya dengan sedikit kasar dan beranjak dari sana. Namun, Felix tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Pria dengan kemeja biru tua itu menarik tangan Liliana dan memaksanya duduk di pangkuan. “Apa yang—” Liliana terkejut dan bersiap protes, tet
Read More
13. Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
Eva keluar dari ruang pertemuan dengan langkah yang terasa begitu berat. Seluruh tabungan yang dia tawarkan, tidak bisa menandingi orang yang bertekad membeli panti asuhan. Terlebih, pria itu menjanjikan relokasi di tempat baru yang lebih luas, mewah, dengan segala fasilitas pendukung.“Maafkan Ibu, Nak. Ibu tidak tahu lagi bagaimana menyelesaikan masalah ini. Kamu tahu, mengumpulkan uang sebanyak itu tidak akan mudah. Lagipula, harga yang mereka tawarkan juga cukup menguntungkan. Kita akan bisa membuat kenangan yang lebih indah di tempat baru."Kalimat Mariana kembali terngiang-ngiang, membawa ingatan Eva pada masa kanak-kanaknya di tempat itu belasan tahun yang lalu."Aku tidak tahu kenapa rasanya sesakit ini. Hanya panti ini tempatku pulang saat merasa putus asa hidup di ibu kota. Setelah diratakan dengan tanah, semua kenangan itu juga akan sirna," gumam Eva, berusaha menahan air mata dengan menengadahkan kepala. Dadanya terasa sesak. Dia sudah berencana akan mengundurkan diri dari
Read More
14. Positif Hamil
"Tapi kamu tahu Eva tidak pernah mencintai Hans. Pernikahan seperti apa yang akan mereka—""Aku tahu, tapi itu di luar kendaliku.""Hey!" Liliana menjauhkan diri dari dekapan Felix, menatap pria itu dengan kening berkerut. Berbagai tanya memenuhi kepala, berusaha memahami sosok yang tidak memiliki hubungan asmara dengannya selain teman berbagi peluh bersama. Masing-masing menjadi candu untuk satu sama lain."Sebagai sahabat, aku hanya ingin membantu Hans mendapatkan gadis kesayangannya. Dan sebagai seorang pria, aku berniat bertanggung jawab karena sudah menjebak mereka. Bisa dibilang, Eva hamil karena kesalahanku, kan?"Liliana mendengus sambil membuang muka. Bola matanya memutar karena jengah."Jika kamu merasa bersalah, kamu tidak akan bertindak lebih jauh dengan melibatkan panti asuhan. Dasar bedebah licik!"Bukannya tersinggung, Felix justru tertawa. Pembahasan itu semakin melebar, termasuk mengenai rencana mereka ke depannya. Felix yakin, lambat laun Eva pasti mulai menunjukkan
Read More
15. Diabadikan dengan Kamera
"Sial!" Hans menendang pintu di depannya, membuat asisten pribadinya terhenyak dan langsung siap siaga. Pun sama dengan seorang sekretaris di belakang meja yang langsung berdiri dengan kepala tertunduk. Keduanya tak berani bersuara, membiarkan atasannya mengucapkan sumpah serapah sambil memasuki ruangannya. Sosok Hanson Dirgantara yang terkenal ramah dan selalu tenang, tak lagi terlihat. Pria itu menjadi temperamental dan tidak bisa mengendalikan emosinya karena sakit hati terhadap Eva. Terlebih, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Arvin memeluk Eva. "Apa kurangku sampai kamu lebih memilih pria itu, hah?!" Hans melepaskan dasi yang terasa mencekik lehernya dan membuang benda itu ke lantai sambil berteriak sekuat tenaga. Egonya terluka, kembali mengingat penolakan Eva malam itu di rumahnya. Detik berikutnya, barang-barang di atas meja disapu dengan kedua tangan dan membuat suara gaduhnya terdengar sampai keluar ruangan. Bram, asisten pribadi Hans harus menarik napas dalam
Read More
16. Keras Kepala
"Maaf, Ayah tidak menyetujui kepindahanmu." Arvin bicara lewat telepon selularnya karena tidak bisa menemui Eva secara langsung. Bagaimanapun juga, dia tidak akan melanggar larangan ayahnya."Tidak apa, Dok. Mungkin memang aku harus memikirkan aborsi seperti yang Anda sarankan tempo hari.""Eva—""Selagi masih belum terlalu besar, sepertinya risikonya belum terlalu fatal. Saya masih ingin menjadi dokter," sela Eva dengan suara bergetar. "Anda masih menyimpan hasil visum milik saya, Dok?"Arvin meremas kertas kosong di atas meja, tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi kali ini. Eva kembali berpikir akan menyingkirkan bayinya. Gadis itu juga tetap menjaga jarak, menggunakan saya dan Anda, menunjukkan mereka tidak terlalu akrab."Kamu bisa mengundurkan diri dari program ini dengan alasan kesehatan. Aku akan coba bicara dengan Ayah nanti malam.""Tidak perlu, Dokter." Kali ini Eva yang menyela kalimat Arvin, membuat pria itu terpaksa menahan napasnya."Saya tahu Dokter Faaz pasti m
Read More
17. Merasa Dipermainkan
Saat Eva berbalik, Hans sudah pergi lebih dulu. Punggungnya menghilang ditelan pintu belakang rumah sakit yang sesaat lalu menjadi tujuannya. "Apa yang dia katakan barusan?" Tubuh Eva luruh, bersimpuh di tanah dengan rumput hijau yang terasa sedikit basah. Meski tak mengatakannya dengan jelas, tapi Eva bisa memperkirakan objek yang dimaksud pria itu. Tangan kanannya meremas perut sambil menggigit bibir bawahnya. Dia tidak sampai hati menyingkirkan benih Hans meski kebencian begitu mendalam. "Apa yang harus aku lakukan?" Satu bulir air mata membasahi wajah Eva. "Menyingkirkan anak ini, sama saja aku menghancurkan tempat yang selama ini sudah menjadi rumah untukku." Tanpa membuang waktu lebih lama, Eva berlari keluar dari rumah sakit dan menghentikan taksi. "Dirgantara Artha Graha, Pak. Sekarang!" pinta Eva dengan wajah panik luar biasa. Dia harus bertemu dengan Hans dan meminta pria itu tidak mengusik panti. Perjalanan dua puluh menit yang terasa begitu lama bagi Eva. Terlebih, wa
Read More
18. Sebuah Pengakuan
"Apa Anda bermimpi dengan mata terbuka, Tuan Hans Dirgantara?" sindir Eva yang menatap penuh kebencian kepada pria blasteran di depannya. "Aku bermimpi?" Hans menyilangkan tangan di depan badan. "Mungkin dulu iya, tapi sekarang mimpiku akan menjadi kenyataan. Kamu tidak bisa menghindariku, bukan?" "Karena kamu menggunakan cara kotor untuk menjebakku!" Suara Eva terdengar semakin sengit. "Jika tidak begitu, kamu tidak akan pernah menjadi milikku, Eve." Eva membuang muka, ingin sekali menyuarakan sumpah serapah yang rangkaian katanya sudah tersusun di kepala. Tapi entah kenapa, dia terlalu lelah untuk berbicara dengan pria bebal seperti Hans Dirgantara. "Katakan alasannya. Kenapa kamu memilihku?" "Tidak ada alasan. Aku hanya ingin bertanggung jawab karena ada anakku di rahimmu." "Apa kamu akan melakukan hal yang sama jika wanita lain yang ada di posisiku?" Eva menahan gemuruh yang menggerogoti kewarasannya. Jika bukan karena surat tugas dari rumah sakit yang berkaitan dengan sert
Read More
19. Kesepakatan
“Dokter Eva, ada yang mencari Anda.” Seorang perawat yang bekerja untuk Dirgantara Artha Graha memasuki klinik dan langsung menghampiri Eva. “Mencariku?” “Ya. Beliau menunggu di depan.” “Beliau?” Eva menutup catatan medis yang tengah diperiksa, meraih jas putih miliknya dengan kening berkerut. “Siapa yang ingin menemuiku siang-siang begini?” Langkah Evalia terhenti di depan pintu kaca, menatap wajah cantik yang terlihat gelisah. “Nyonya Kuina?” panggilnya lirih. Suaranya bergetar dan degup jantung yang lebih kencang dari sebelumnya. Ini pertemuan keduanya dengan wanita yang sudah menolongnya malam itu. “Apa kabar, Eva?” Kuina memeluk Eva, dia justru terpaku seperti manekin kaku. Tangannya tetap terulur di samping badan, sama sekali tidak membalas perlakuan hangat wanita itu. “Bisa ikut denganku sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan.” Eva tak lantas menjawab, melirik jam dinding di samping kanannya. Lima menit sebelum jam istirahat datang. “Hanya sebentar saja,” bujuknya deng
Read More
20. Pernikahan
"Kamu terlihat sangat cantik, Sayang," puji Kuina sambil mengamati pantulan wajah Evalia yang terlihat di cermin. Tidak butuh waktu lama bagi wanita konglomerat itu untuk mempersiapkan pernikahan sederhana seperti yang diminta menantunya. Dokumen yang siap hanya dalam hitungan jam, gedung resepsi pernikahan yang dilakukan tertutup dan hanya dihadiri keluarga dekat, termasuk urusan make up artist dan semuanya. Kuina benar-benar bisa mendapatkannya hanya dalam hitungan jam. Tentu saja dengan bayaran yang sepadan. “Kamu terlihat tegang sekali,” ujarnya sambil duduk di samping Eva, menarik tangan gadis itu yang sekarang tertutup sarung tangan pengantin warna putih, senada dengan gaun mewah yang melekat di tubuhnya. “Ada yang bisa Mama bantu? Atau, ada yang kamu butuhkan?” Sikap hangat Kuina hanya mendapat gelengan kepala sebagai jawaban. Evalia banyak diam setelah menandatangani perjanjian dengan wanita itu. “Baiklah. Kalau begitu Mama akan lihat keadaan di luar. Jika kamu membutuhkan
Read More
ก่อนหน้า
123456
DMCA.com Protection Status