Semua Bab BESANAN DENGAN MANTAN: Bab 11 - Bab 20
85 Bab
11. Drama
"Maaas! Sini naik cepetan!" Sarita berteriak dari atas. Mas Arif lekas bangkit. Pria itu setengah berlari menaiki tangga. Nona pun mengikuti ayahnya menyusul sang ibu. "Bungaaa, jangan main-main pisau!" Terdengar suara Mas Arif berseru. "Biarkan aku mati saja, Yah. Toh aku gak pernah dianggap juga," balas Bunga di sela isakannya. "Ding, kita lihat ke atas, yuk! Sepertinya Bunga berbuat nekat," ajakku dengan menarik lengan Gading. Gading melepas pegangan tanganku. "Biar saja, Bu. Itu bukan urusan kita," tolak Gading acuh tak acuh. "Kalo sampai terjadi apa-apa dengan Bunga bagaimana?" "Itu kemauan dia. Kita bisa apa?" sahut Gading datar. Sama sekali anak itu tidak tersentuh. Aku menghela napas. "Ibu tahu kamu sangat gedeg melihat kelakuan Bunga, tapi ada benihmu di rahimnya." Gading melengos. "Kamu sudah cukup salah dengan melakukan perzinahan kemarin. Sekarang jangan buat dosa lagi dengan menutup mata pada kondisi Bunga." Aku menasihati dengan lembut. "Bungaaa!" Teriakan dar
Baca selengkapnya
12. Terpaksa Menikah
Aku tersenyum mendengarnya. Akhirnya ada sedikit kepedulian Sarita pada Bunga. "Terserah keluarga Bunga saja. Kami pihak laki-laki menurut saja.""Minggu ini konveksiku lagi banyak dapat orderan. Kalo memang keduanya mau diijabkan sebaiknya minggu depan saja." Sarita mengusulkan."Kami nurut, Mbak." Aku menyetujui."Dan ingat, ijab qobulnya jangan di sini. Tetangga kami akan curiga nanti." Sarita kembali memberi syarat."Boleh diselenggarakan di rumah saya." Aku memberikan penawaran.Pembicaraan sudah menemukan ujungnya. Aku dan Gading pun pamit undur diri. Apalagi waktu kian beranak malam.Dalam perjalanan pulang Gading memilih duduk di depan. Tidak di belakang menemaniku seperti saat berangkat. Anak itu memilih bungkam. Hingga sampai rumah Gading benar-benar tidak bersuara."Sudah pulang?" sambut Galang ketika membukakan pintu untuk kami. Aku tersenyum mengiyakan. Sementara Gading menerobos Galang dan langsung melenggang menuju kamarnya. Lelah membuatku menghempaskan tubuh di sofa.
Baca selengkapnya
13. Rengekan Nona
Acara benar-benar berlangsung dengan sederhana. Penghulu memberikan wejangan sepatah dua patah kata untuk mempelai. Setelah itu para saksi dan Pak penghulu baru menikmati hidangan yang aku siapkan.Sementara Sarita langsung berlalu menuju kamarnya Galang. Dirinya sama sekali tidak melirik sajian yang sudah aku tawarkan. Wanita itu tampak cemas dengan keadaan putri sulungnya. "Aku juga mau lihat kondisi Nona, Bu," pamit Gading ketika kutawari makanan."Kamu temani istrimu makan dulu," suruhku saat melihat Bunga duduk sendirian. "Kasihan mungkin dia sudah kelaparan.""Tapi aku cemas dengan keadaan Nona, Bu." "Cemaskan saja istrimu. Dia lagi hamil muda. Kasihan kalo sampai kelaparan," tukasku sedikit memaksa.Gading mendesah pelan. Anak itu memang penurut. Walau pun sangat ingin melihat keadaan Nona. Namun, Gading tidak membantah. Pria yang kini resmi menyandang status suami itu mendekati Bunga. Gading mengambil makanan ala kadarnya. Lalu duduk di samping Bunga untuk makan bersama. B
Baca selengkapnya
14. Kisah Masa Laluku
Aku dan Galang mengantar kepergian kakak beradik itu hingga pintu. Masing-masing mengendarai motor. Ketika kami masuk terdengar suara Mas Arif. Ternyata pria itu sedang berbicara dengan Pak penghulu dan adik kandungnya.Mas Arif tampak menyerahkan amplop pada Penghulu tersebut. Tidak lama pria berpeci itu berpamitan pada kami. Mas Arif dan adiknya mengantar Pak Penghulu sampai ke luar. Ternyata pria itu sudah memesan taksi untuk pak penghulu. Aku dan Galang menuju ruang tengah kembali. Rupanya Nona dan Sarita sudah pindah duduk di situ. Gadis itu menyandarkan kepalanya pada pundak sang ibu."Mas, Nona minta pulang terus ini," kata Sarita begitu melihat suaminya kembali."Makan dulu, Mbak," tawarku hangat. Sementara Galang sudah melangkah pergi ke meja makan sendiri."Kami gak lapar," sahut Sarita tidak bersahabat."Tapi Mas Arif dan adiknya pasti lapar," balasku terus berusaha sabar."Betul, kami memang sudah lapar." Mas Arif menimpali omonganku. Sarita mencibir. Namun, wanita itu b
Baca selengkapnya
15. Antara Aku, Arif, dan Sarita
"Rif, itu ada Sari." Aku menunjuk gadis yang sedang melirik kami dengan judes itu. Sarita lalu bergegas melajukan kakinya ke rumah Arif yang letaknya persis di depan rumah kakekku.Arif menengok sekilas. "Biar saja. Paling juga mau ketemu emakku," tanggapnya cuek. Pemuda itu kembali menggambar pada kertas. Kami sedang bahu membahu membuat layang-layang untuk dijual. Hasilnya akan dibagi dua untuk tambahan uang jajan kami. Namun, seringkali Arif memberikan lebih. Alasannya tidak lain karena aku sering kekurangan uang. Adikku ada dua masih kecil-kecil. Bapak harus mencukupi kebutuhan kami sekeluarga plus kakek nenek seorang diri Padahal tugasku hanya membantu Arif saja. Karena di sini yang berbakat memang dia. Bahkan pemuda itu yang memodali usaha jualan layang-layang ini. "Rif, kok tiap bagi hasil kamu selalu ngasih lebih ke aku, kenapa?" tegurku sembari memotong kertas-kertas yang sudah digambari itu.Arif menghentikan gambarnya. Dia melemparkan senyum untukku. "Gak papa, kan kam
Baca selengkapnya
16. Juragan Ngarso
Aku menutup mulut saking terkejutnya. "Bapak di penjara?""Ssst! Ngomong opo, kamu itu?" Kakek langsung menyergah, "nyuwun sewu, tolong njenengan semua pulang, Nggih! Biar mantuku ndak kesesaken," pinta Kakek sedikit mengusir. Para tetangga yang kebanyakan ibu-ibu itu lekas membubarkan diri. Mereka pulang ke rumah masing-masing."Mas ... Mas ...." Perlahan Ibu sudah mulai terlihat sadar. "Mak, mana Mas Abdul?" tanya Ibuku pada Nenek."Sing sabar, Ti." Nenek cuma bisa mengelus rambut Ibu."Mas Abdul ...." Ibu meratap sedih."Rini.""Nggih, Mbah Kung," responsku begitu dipanggil."Jaga adikmu! Embah mau ke rumah Juragan Ngarso," pamit Kakek menyebut pemilik pabrik tahu tempat Bapak bekerja."Nggih, Mbah." Aku mengiyakan dengan patuh.Kakek lekas berlalu. Pria sepuh itu akan menempuh jarak sekitar satu setengah kilometer hanya dengan berjalan kaki. Karena kami memang tidak punya kendaraan. Bulan lalu sepeda satu-satunya kepunyaan kami dijual Bapak untuk berobat adikku yang paling kecil
Baca selengkapnya
17. Perjodohan
Aku tersentak mendengar pernyataan pria beruban itu. Sebagai anak berumur delapan belas tahun tentu saja kata-kata bapak itu sungguh menakutkan. Apalagi saat orang itu tersenyum lebar. Di mataku dia terlihat seperti menyeringai. Persis serigala yang siap menerkam mangsanya. Refleks tanganku memegang lengan Kakek."Coba lihat rumah ini, Nduk!" Tangan laki-laki itu menyapu sekeliling. "Kamu akan tinggal di rumah besar ini kalo kamu bersedia--""Mbok sing eling, Yang." Lelaki muda itu langsung menyela, "Eyang ini sudah sepuh. Sudah gak pantes nikah lagi. Apalagi calonnya masih bocah begini," cerocos pemuda itu menggebu-gebu.Kepalaku refleks mengangguk. Memberikan dukungan pada omongan cucu pria tua itu."Owalah, Le ... Le." Juragan Ngarso tertekekeh geli. Hal itu tentu saja membuatku dan cucunya dilanda binggung. "Yo sopo sing mau nikah? Wong Eyang ki wis tua, sudah waktune mikir akhirat. Mosok kepengen nikah," tuturnya sembari memukul pundak cucunya dengan gemas."Lah terus sapa yang
Baca selengkapnya
18. Cucu Juragan
"Nggih, insya Allah, Gan." Kakek mengangguk, "kalo begitu kami permisi dulu.""Oh ya ya. Biar nanti si Parjo tak suruh ngantar kalian."Juragan Ngarso menepati janjinya. Pria itu menyuruh sopirnya untuk mengantar kami. Saat itu untuk pertama kalinya aku merasakan naik mobil. Bukan kendaraan umum seperti bus atau colt pick up. Seperti orang kampung kebanyakan lainnya, baik aku dan Kakek terkena mabuk.Kakek bahkan langsung muntah begitu kami turun dari mobil. Aku sendiri merasakan sakit kepala yang lumayan berat. Beruntung ada Arif yang menolong. Dia baru saja pulang sekolah bersama Sarita."Kamu tolong Embah saja, Rif," suruhku saat Arif menggandeng."Oh iya." Arif sigap menuntun Kakek."Rif, kita jadi belajar kelompoknya kan?" Sarita mengingatkan."Maaf, Sar, hari ini aku lagi malas ngajari kamu," jawab Arif tanpa tedeng aling-aling."Ish ... kamu!" Sarita cemberut. Gadis itu menghentakkan kakinya. Dia berlalu, tetapi tidak menuju motornya. Melainkan rumah Arif."Arif, Marini lagi k
Baca selengkapnya
19. Ide Arif
"Cuma alasan itu, kamu tidak menyetujui perjodohan ini?" Aku memberanikan diri bertanya pada Ginanjar.Ginanjar langsung menatapku tajam. "Kamu bukan tipe aku."Aku lumayan tersentak mendengar jawaban Ginanjar. Tidak ada basa-basi sama sekali. Itu cukup melukai hati seorang wanita seperti aku."Kamu juga bukan tipe aku." Aku membalikan ucapannya dengan gesture tenang, "hanya saja aku gak bisa menolak perjodohan ini. Karena ini kunci satu-satunya bapakku bisa keluar dari penjara.""Ada banyak cara untuk mengeluarkan bapakmu tanpa kita harus menikah dulu." Ginanjar menukas langsung."Jika itu bisa, lakukanlah!" Aku menanggapi dengan kalem, "akan kupenuhi perintah kamu.""Itu soal gampang," sahut Ginanjar terdengar meremehkan, "dua hari lagi, Eyangku akan datang ke rumah kamu buat tanya keseriusan kamu. Dan kamu harus tegas menolaknya, karena kalo tidak ...." Ginanjar tidak melanjutkan ucapannya. Matanya terlihat memandang sesuatu.Aku menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Ar
Baca selengkapnya
20. Tidak Berjodoh Dengan Arif
Jawaban Arif terdengar begitu manis. Namun, hatiku tidak membenarkan."Kelihatannya kamu gak suka dengan ideku, Rin?" terka Arif sedikit menunduk untuk menatap mataku."Apa itu gak berisiko, Rif?" tanyaku ragu."Apa pun risikonya kalo kita jalani berdua, Insya Allah tidak akan berat," balas Arif terdengar begitu percaya diri. "Kamu mau kan hidup bersama denganku?" Dia bertanya dengan serius.Aku hanya mengangguk kecil."Maka jangan pernah ragu jika kita mau bersatu." Arif pun merengkuh tubuhku. Tangannya mengusap pelan punggungku. Ketika rasa nyaman menjalari hati, aku menyandarkan kepala ini pada dadanya. Namun, semesta sepertinya tidak menyukai tingkah laku kami. Langit langsung memuntahkan isi. Hujan deras turun tanpa bisa dicegah. Kami berdua berlari-lari menembus hujan menuju rumah.*Waktu melompat dengan begitu cepat. Omongan Ginanjar terbukti. Dua hari kemudian, dia datang bertandang bersama dengan kakeknya. Para tetangga tampak takjub melihat kendaraan yang dibawa Juragan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status